Bagian Sepuluh

11 0 0
                                    

• Sejauh •

Ketika Embun tiba di rumah pukul setengah tujuh malam, tidak ada siapapun di rumah itu. Jean belum kembali sejak terakhir kali Embun melihatnya di koridor. Tidak ada yang tahu ke mana Jean pergi. Meski Adji mengatakan bahwa ia akan mencarinya dan menanyakannya satu-persatu ke teman laki-laki mereka, Embun tetap merasa gelisah.

Budhe belum Embun kabarkan. Budhe mengambil jatah cutinya yang tidak dipakai selama satu tahun ini. Wanita itu mengatakan akan mencoba kemoterapi kembali di daerah bogor, dokter yang dulu merawatnya sekarang ditugaskan di sana.

Tentu saja Jean tidak tahu. Ini rencana mendadak. Yang ia tahu, ibunya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan.

Dan itu juga yang membuat Embun khawatir. Apa yang ada di benak saudaranya ketika yang hadir bukan ibunya? Kenapa justru Om Sera?

Berkutat lama pada ponselnya untuk mengetik pesan yang niatnya akan dikirim pada budhenya, pintu depan mendadak diketuk. Embun bergegas ke sana, memutar kunci pintu lalu membukanya. Kepala Adji yang tertunduk menatap sepatu usang yang sedang dikenakannya menjadi pemandangan pertama yang dilihat gadis itu. Sebelum akhirnya mata itu menatapnya, Embun dapat melihat kilauan frustrasi yang susah payah disembunyikan.

"Embun..."

Namun Embun menolak untuk peduli. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencari sosok Jean yang sekiranya dibawa Adji pulang.

"Embun, saya -"

"Mana mas Jean?"

Adji menelan ludahnya dengan susah payah.

"Mana mas Jean, kak?" Suara Embun mulai serak. Matanya memanas merasakan dadanya yang bergemuruh.

"Jean nggak mau pulang." Adji bersuara. Tatapannya menyapu seluruh perhatian Embun. Membuatnya diam. "Dia nggak bisa pulang lebih tepatnya."

Perlahan tapi pasti, degup jantung Embun kembali berpacu dengan cepat. Sesuatu yang tidak beres terjadi pada perasaannya. Perasaan cemas akan apa yang dialami Jean menarik seluruh tubuhnya untuk tidak bergerak.

Apa... Apa yang terjadi pada laki-laki itu? Apa yang sedang dialaminya?

-o-

Jam setengah lima kurang, Embun terbangun dari tidurnya yang sembarang di sofa ruang tamu. Butuh waktu setengah menit untuk menyadari keberadaannya serta selimut yang saat itu membungkus tubuhnya. Saat itu juga ia menemukan laki-laki itu di sana. Di sebrang sana, di sofa panjang ruang tamu yang berbatasan meja kecil di depannya, tubuh Adji terbaring.

Embun diam dalam beberapa saat. Hingga laki-laki itu merubah posisi tidurnya berlawan arah dengannya, Embun tetap diam. Seharusnya Embun membangunkannya. Seharusnya Embun menyuruhnya untuk pulang daripada membiarkan laki-laki itu menjaganya. Namun tak ada sepatah kata yang dikeluarkan laki-laki itu selain niatnya untuk menjaga dirinya satu malam sampai Jean kembali, membuat sesuatu yang terasa aneh itu tiba-tiba kembali melekat pada dadanya.

Maka dalam kebodohannya sendiri, detik yang terasa sangat amat panjang itu, Embun membaringkan kembali dirinya. Pandangannya menyapu wajah Adji yang masih damai memejamkan mata. Alis, mata, hidung, semua hal itu Embun perhatikan dalam diamnya. Ada risiko yang harus diambilnya ketika melakukan itu. Seharusnya Embun tidak melakukannya agar tak terjebak pada perasaan itu lagi.

Satu kesalahan lagi pada hidup Embun.

-o-

Pagi-pagi sekali, masih sekitar jam tujuh ketika Embun sampai di sekolah dan langsung masuk ke toilet perempuan, nama Jean sudah disebut-sebut saat dirinya telah duduk di salah satu bilik.

Embun tadinya tidak ambil pusing mengingat yang dibicarakan siswi-siswi di depan sana hanya sebatas Jean yang diberi skors selama seminggu penuh dan Tobi yang dibiarkan masuk. Tapi lama-kelamaan apa yang didengar Embun lebih serius dari itu.

"Ya, bener sih dia nggak salah. Banyak saksi juga yang bilang kalo dia yang diserang duluan," Salah satu siswi yang sedang menyapukan liptint tipis-tipis di bibirnya menanggapi temannya.

"Ya tapi aneh ga sih, ngeliat Tobi sampe babak belur gitu kayak nggak ngeladenin tonjokan kak Jean?" Yang lain tiba-tiba berkomentar. "Dia kan atlet, pasti bisa dong beladiri?"

"Karena senior kali.."

"Eh, tapi lo tau nggak yang bikin kak Jean marah sama Tobi tuh kenapa?" Siswi lainnya kembali menarik perhatian Embun.

"Kenapa?"

"Apa?"

"Gue denger sih... si Tobi ada hubungan sama ceweknya."

Dalam hitungan detik, Embun langsung membuka pintu bilik nya. Ketiga siswi yang tadinya sedang berkaca sontak menoleh kaget. Embun melirik sekilas, menaruh tasnya di atas wastafel saat mencuci tangan, dan mengambilnya kembali saat melangkah ke luar. Tak ada yang berani mengambil suara.

Langkahnya baru berhenti ketika matanya bertemu tatap dengan Tobi yang juga ingin masuk ke dalam kelas. Memar di area wajahnya tidak dapat disembunyikan. Embun memerhatikan dalam diamnya, di mana mata laki-laki seperti menyembunyikan luka dan kekosongan. Meski begitu, keduanya tak saling menyapa. Tobi kembali mengambil langkah lima detik kemudian, masuk ke dalam kelasnya.

Embun menghembuskan napas pelan. Ia baru saja ingin kembali melangkah jika ponselnya tiba-tiba tidak berdering. Embun merogoh saku roknya, mengambil benda persegi panjang itu dan menemukan nama Budhe di sana.

Untuk beberapa saat, Embun terdiam hingga panggilan itu berakhir. Namun panggilan kedua kembali, membuat mau tak mau gadis itu mengangkatnya. Bersuara sedemikian baiknya agar orang tua itu tak curiga.

"Ada apa 'nduk? Mas mu kok nelpon budhe berkali-kali?"

Suara di sebrang sana sama khawatirnya dengan Embun yang sedang memilah kata untuk menjawabnya.

"Budhe nggak dibolehin megang HP seharian buat fokus sama kemo, dan baru ini doang bisa megang," jelas wanita itu tanpa perlu Embun tanya. Helaan napas pelan terdengar. "Ada apa 'nduk?"

Embun menarik napas panjang sebentar, kemudian membuat lengkung manis di wajahnya. "Oh, itu.. Mungkin mas Jean kaget karena Budhe berangkatnya mendadak," Jawabnya. "Tapi udah aku jelasin kok, Budhe. Karena ini pekerjaan mendesak."

Setelahnya, gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Apa yang diharapkannya sekarang adalah Budhe tidak bertanya macam-macam. Embun tidak ingin berbohong lagi.

"Oh.." Suara Budhe memelan. "Harusnya aku bilang sendiri ke dia. Masmu pasti cemas."

Selagi telinganya mendengar suara budhenya, mata Embun tak sengaja jatuh pada sosok laki-laki yang berdiri beberapa langkah di depannya. Mata pekat itu ikut menatapnya. Dan detik selanjutnya, langkahnya mendekati Embun.

Terlepas dari suara Budhe yang perlahan mulai memudar, Embun sadar degup jantungnya kembali berdetak tak karuan. Dari jarak sepatu mereka yang tinggal beberapa centi, mata Adji terlihat frustrasi ketika menatapnya. Kemudian setelah telepon itu benar-benar tertutup, suara Adji mendominasi sekitarnya. Membawanya kembali pada realita bahwa di dunia ini masih ada beberapa pertanyaan yang seharusnya tidak diajukan seenaknya.

"Sejauh mana kamu menyimpan rahasia itu dari Jean?"

27'05'21

RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang