Bagian Enam

31 0 0
                                    

• Bercerai •

Embun baru menyadari jika di luar mendung ketika bel pulang sekolah menyadarkannya dari lamunan. Beberapa murid bersiap pulang dan melangkah bersama ke luar kelas, termasuk Bita yang sedari tadi setia duduk di sampingnya menunggu keadaan pintu hingga tak terlalu ramai.

"Langsung pulang, Bun?" Bita bertanya, tak menghentikan gerakan Embun yang menutup resleting tasnya.

"Iya," jawab perempuan itu.

Bita diam sebentar. "Eum... Bun, jalan bentar yuk?"

Yang ditanya menoleh, ikut terdiam. "Ke mana?"

"Lagi pengen es krim, deh. Cari kedai es krim, yuk?"

Embun menimbang-nimbang sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. Mereka beranjak dari tempat duduk, berjalan ke luar kelas dengan cengiran lebar dari Bita. Embun ikut tersenyum. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaket kelasnya, dan mulai mencari kontak Jean.

"Oh-Kak?"

Langkah mereka terhenti. Lebih tepatnya Bita yang menghentikannya. Membuat mau tak mau Embun mendongak dari benda digenggamannya.

Jean di sana. Menarik tubuh dari dinding kelas Embun, ia tersenyum menyapa. "Udah?"

Embun sontak melihat Bita. Meminta tanggapan yang tidak dimengerti. "A-Aku..."

"Kenapa?" Tanya Jean.

Bita menggeleng. Perempuan dengan rambut pendek sepundak itu menghela napas pasrah. Memang sulit mengajak Embun main akhir-akhir ini. Mengingat dirinya sudah tak tinggal lagi dengan orang tuanya, membuat dirinya pun harus bisa bersikap baik dan tidak merepotkan orang lain. Bita paham meskipun Embun tak berniat cerita.

"Mau pergi, ya?" Jean kembali bertanya. Tidak menyelidik, bahkan terdengar ramah.

Tapi tetap saja, Bita tak enak.

"Nggak kok, Kak." Bita kembali menatap Embun. "Gue pulang duluan ya, Bun," katanya. "Kak," pamitnya.

Kemudian perempuan itu berlalu. Meninggalkan sepi pada Jean dan Embun yang masih diam. Embun sadar banyak hal, ia banyak berubah. Cita-citanya sekarang adalah belajar yang benar dan jangan pernah terusik, karena jika kedua hal itu tak terlaksana, Embun tidak tahu lagi harus berpegangan pada apa.

Jean memerhatikan sedari tadi. Ekspresi Embun yang berubah. Laki-laki itu menghembuskan napas panjang, kemudian menarik pelan bahu Embun untuk berjalan di sisinya. "Ayo!"

Jam berlalu dengan lambat, menyisakan suara-suara bising memenuhi kota. Bekasi hampir saja jadi tempat tersesak kedua setelah Jakarta ketika Embun datang ke sana. Tak ada yang bisa dinikmati, karena mungkin saja, kepindahannya ke kota asing itu berupa keterpaksaan Ibu karena tak sengaja mendengar sewaktu SMP Embun di-bully.

Pem-bully-an yang sampai sekarang hanya terbesit di benaknya. Embun tak pernah menangis karena mereka. Ibu yang menyuruhnya untuk bertahan pada kekurangan dirinya. Salah satunya, ketika nama Ayah tak mampu diucapkannya dengan lantang.

Sebab Embun memang tak mampu mengingat sosoknya, jadi untuk apa dirinya menyebut orang yang telah di surga?

Hampir di seperempat jalan, salah satu dari mereka baru membuka suara. "Ke POM dulu, ya," kata Jean.

Tanpa menunggu jawaban, motor Jean telah berbelok ke POM Bensin yang sore itu tidak ramai dikunjungi. Setelah Jean menghentikan motornya, Embun melompat turun. Membuat reflek kepala Jean menoleh, ekspresi datarnya kini berubah terkejut.

Sampai sekian detik kemudian, setelah motor di depan Jean bergerak maju setelah diisi penuh, dan kini gantian Jean yang bergerak maju sambil membuka tangki bensin di depannya, Embun baru tersadar. Tanpa menghiraukan Jean, gadis itu langsung berlari ke minimarket yang ada di sana.

RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang