Setelah sebelumnya kita menyepakati berbagai hal pada akhirnya tiba juga pada hari dimana acara tabligh akbar akan digelar.
Sejak pagi kami sudah berada di lokasi. Kalau mereka memastikan semua berjalan lancar, kalau aku disini di stand brand kami memastikan bahwa stand ini sudah rapi. Aku dibantu dengan ketiga teman SMA ku Lara, Anin, dan Syila. Tidak mungkin mengajak teh Oca atau Rima karena pekerjaan disana cukup sibuk. Maklum orderan kami sedang banyak.
Setelah memastikan semuanya beres dan mereka bertiga sudah mengerti apa yang harus dikerjakan aku pun menjauhi stand berharap menemukan Nadin yang dari tadi sudah menghilang. Aku memang tidak berencana tinggal di stand dan akan mengikuti kajian saja.
"Alma mau kemana?" aku menghentikan langkahku ketika mendengar suara dari sampingku.
Aku menoleh dan ternyata disana ada kang Arnav sedang duduk di pelataran gedung. Apakah aku terlalu fokus melamun sambil berjalan sampai tidak menyadari keberadaanya?
"Eh, mau cari Nadin," jawabku.
"Nadin ada di ruang panitia. Kamu kesana aja," ujarnya memberi tahu ku.
Aku melangkahkan kaki mendekat dan duduk di sebelahnya. Jangan memikirkan hal yang aneh karena jarak kami cukup lebar. Bisa untuk duduk 3 orang.
"Malu ah kalau kesana. Yaudah aku tunggu disini aja," ucapku. Aku merutuki kenapa Nadin tidak membaca pesanku dari tadi.
"Mau saya antar?" tawarnya dan dengan refleks ku gelengkan kepala. Yakali aku diantar olehnya, bagaimana nanti pandangan orang lain.
"Gak usah Kang. Makasih," ucapku tersenyum sopan.
"Kamu kenal Nadin udah lama?" tanya dia setelah beberapa saat hanya ada keheningan.
"Sejak bayi," jawabku sambil terkekeh pelan.
"Wow! Lama banget," ucapnya.
"Kebetulan orang tua kami saling kenal," ucapku.
"Pantesan." Kata kang Arnav.
"Kang Arnav sendiri sama mas Ilham udah kenal lama?" tanyaku mencoba melanjutkan obrolan.
"Hampir empat tahun. Kami kenal di organisasi," jawabnya.
Aku menganggukkan kepala mengerti.
"Cita-cita kamu dari dulu emang mau jadi pebisnis ya kaya Papa kamu Al?" tanya kang Arnav.
Aku tertawa kecil sebelum menjawab, "Enggak juga. Cita-citaku pengen jadi pengacara terus berubah pengen jadi dokter. Gitu aja terus tiap tahun berubah."
Kang Arnav ikut tertawa mendengar jawabanku.
"Saya dulu pengen jadi guru. Tapi ternyata takdir membawa saya untuk jadi pegawai di salah satu perusahaan," ceritanya.
"Udah berapa lama kerja disana Kang?" tanyaku.
"Hampir tiga tahun. Sejak saya beres kuliah aja," jawabnya.
"Nanti pas acara kamu mau tunggu di stand atau gimana?" tanya dia kembali.
"Aku mau ikut kajiannya aja deh. Lagi pula disana udah ada pegawai dadakannya aku," jawabku dan dia pun mengangguk.
"Kamu tahu tema pertama kajian hari ini?" tanya kang Arnav.
"Parenting keluarga islami," jawabku.
"Pinter ya." Candanya dan itu membuat jantungku berdebar dengan kencang.
"Bukan Alma kalau gak pinter," ucapku menanggapi candaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Jodoh
SpiritualPertemuan singkat dua insan dalam suatu kajian di antara ratusan manusia. Apakah kisahnya akan berakhir indah? Atau nyatanya hanya sekadar singgah? Meet Almeira, perempuan mandiri, cantik, dan sukses di usianya yang masih terbilang muda. Semuanya...