2

310 60 12
                                    


***

"Kok ada orang nyebelinnya konsisten kayak dia."

Dika menjadi orang terakhir yang harus menutup pintu ruang musik. Sengaja dibantingnya benda itu keras-keras. Kalau lepas gampang, bapaknya tukang kayu. Tinggal calling-calling, kena gaplok dikit, habis itu pasti dibuatin pintu baru.

"Belasan tahun kita kenal tuh anak, masih begitu-begitu aja kelakuannya."

"Au, lo nemu sepupu di mana, sih?!" Iyo menyenggol Ajun. Berjalan beriringan menyusuri koridor yang sudah kosong. Tak terlihat batang hidung anak-anak ekskul. Barangkali semua sudah pulang ditilik dari gelapnya langit sekarang. Mendung mengudara. Sebentar lagi mungkin hujan.

"Deres ini mah." Ucan mendongak selepas tiba di lapangan. Rintik-rintik mulai membasahi. Semakin lama, semakin banyak. Bobby telah lebih dulu berlari ke pinggiran, melindungi diri dari basah air hujan. Melihat itu, Ucan dan yang lain jadi ikutan minggir.

"Udaaah gas aja, hujan air ini bukan hujan batu!" Iyo memberi saran.

Ucan melengos. "Sama aja, ujung-ujungnya bikin sakit."

Iyo merapalkan kata cupu tanpa suara kemudian beralih kepada tiga temannya yang lain. "Plis, temenin gue main hujan," pinta Iyo dengan tampang melas. Berharap diberi simpati lalu dituruti.

"Lo nggak ngerti hujan begini tandanya apa?" Ajun duduk di lantai, bersebelahan dengan Bobby. Dia membuka tas, mengeluarkan buku kecil beserta pena. Iyo menggeleng nggak tahu. "Tandanya semesta sedang mengajak gue bercinta melalui kata-kata," ungkapnya.

Iyo mengumpat jijik, lantas berpindah ke Bobby yang entah mendapat permen kaki dari mana. Mungkin dari dalam tasnya yang menyimpan banyak barang rongsokan. Cowok itu mengerti kalau sedang dijadikan target, jadi ditariknya keluar batang permen itu untuk mengatakan, "Gue nggak cocok main di air."

Tinggal Dika harapan Iyo satu-satunya. Dika juga nggak sejahat itu buat menolak. Dia tahu Iyo sangat suka bermain air. Selain karena dulu lahir pakai metode water birth, dulu Iyo dibikinnya waktu hujan (menurut pengakuan papi sama maminya Iyo begini), jadi apa pun yang menyangkut air bikin cowok itu sentimental merasa kembali pada kenangan-kenangan itu.

"Sori, Yo. Besok seragamnya masih dipakai." Tapi Dika nggak punya pilihan lain. Mending nolak Iyo daripada pulang-pulang kena sembur.

Punggung Iyo langsung menurun lesu. Karena tak mungkin basah-basahan sendiri, dia terpaksa bergabung dengan yang lain, mengurungkan niatnya main air. Kelimanya duduk berjejer dengan kegiatan masing-masing.

Ajun merangkai puisi.

Ucan bermain gim.

Bobby mengemut permen sambil iseng menadahi air dengan satu tangan lalu menyipratkannya ke Dika—tentu dibalas tempelengan kesal dari cowok tersebut.

Iyo menopang dagu menatap langit-langit, meminta maaf sebab tak bisa mensyukuri nikmat hujan hari ini. Kalau pulang sejak tadi, mungkin dia bisa hujan-hujanan bareng mami sama papi.

"Gue kepikiran." Ajun tiba-tiba bersuara setelah kesulitan menulis bait terakhir karena omongan Abin berputar-putar di kepalanya. "Jangan-jangan omongan dia ada benernya."

"Bukan jangan-jangan lagi, emang bener omongannya," timpal Ucan, beralih sebentar dari layar ponsel. "Inget nggak waktu kita ikut seleksi lomba buat pertama kali? Yang nilai kita kan Pak Yudi, terus baru sampai pertengahan lagu udah suruh berhenti."

"Hooh, mana abis itu tiap ketemu kita orangnya langsung kabur." Iyo menyetujui. "Kayak mengalami hal traumatis."

"Emang separah itu ya band kita?" Dika mengusap punggung leher, merasa nggak enak hati hanya dengan mendengar perkataan Ucan dan Iyo. Kesannya MOJOK parah banget sampai bikin orang trauma.

"Bukan band kita yang parah." Bobby mendecap dan dengan santai lanjut mengatakan, "mungkin vokalisnya."

Api menyulut Ajun dalam sekali lahap. "Maksud lo apaan?" Ditariknya kerah seragam makhluk bergigi kelinci tersebut.

"AMPUN BANG JAGO!!!" Bobby refleks menghindar sambil menyatukan kedua tangan meminta maaf.

Iyo memegangi Ajun, membawa cowok itu kembali duduk sembari merentetkan kata sabar berkali-kali. Urusan tak diperpanjang sebab Ajun tahu kelakuan Bobby suka mirip tahi. Jadi, percuma diladeni. Yang ada dia ikutan stress. Nggak ada yang bersuara lagi. Kelimanya diam berkutat pada pikiran masing-masing sampai hujan reda dan adzan magrib berkumandang.

"Salat sekalian, deh." Dika beranjak berdiri. Berhubung masjid sekolah mereka masih dibuka, dia enggan buang-buang waktu.

"Lah, udah pindah lo sekarang?" Ajun bertanya pada Bobby yang nemplok di antara si tiang kembar—Ucan dan Iyo. Perasaan hari minggu kemarin mereka berdua masih ke gereja bareng.

Bobby menoleh.

"Cuci muka, gerah."

Dingin begini, Ajun keheranan namun tetap diam membiarkan manusia itu pergi. Suasana di sekitarnya jadi tenang. Beberapa anggota Sanubari bermunculan menuju masjid. Abin nggak ada, pasti masih di ruang musik.

Perhatiannya tersita oleh seseorang yang sedang mengamati gedung sebelah. Bibirnya bergerak khas orang menggumam, namun Ajun nggak melihat ada manusia lain yang bisa diajak bicara di sana. Hal itu berlangsung cukup lama sebelum akhirnya cowok pendek tersebut memasuki area masjid.

"Dia anak indihom."

Bak jalangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar, Bobby tiba-tiba sudah ada di sampingnya lagi, lengkap dengan wajah serta rambut basah.

"Bisa lihat huntu." Bobby memperjelas.

"Tahu dari mana?" Informasi dari Bobby sering menyesatkan, jadi jangan salahkan Ajun kalau gampang kena trust issue.

"Dari kelas sepuluh udah rame beritanya."

Ajun mengernyit, samar-samar merasa nggak asing. "Oh yang dulu sering kesurupan itu dia?" Karena nggak pernah menyaksikan secara langsung dan dia juga rada skeptis dengan hal-hal mistis, berita itu dia anggap angin lalu saja. Mana tahu kalau itu beneran.

"Seru anjir, tiap dia kesurupan sekolah kita dipulangin lebih awal." Bobby menyipitkan mata. Cowok pendek tadi baris di bagian belakang. Secercah ide muncul melalui bohlam dalam kepalanya. "Apakah harus kupaksa setan-setan itu untuk merasukinya? Xiahahahah—"

"Emang lo bisa rasukin dia?"

"Gue bilang setan."

"Bukannya lo sebangsa mereka?"

Bobby berhenti tertawa, jadi mengusap-usap dada sendiri, meminta diberikan kesabaran. Selang lima belas menit kemudian Dika, Iyo, dan Ucan kembali. Langit sudah benar-benar gelap. Mereka harus segera pulang. Santer terdengar kabar katanya sekolah mereka bekas kuburan dan kerap terjadi hal-hal aneh setiap menjelang tengah malam. Tapi bukan itu yang menakutkan, kenyataan bahwa para orang tua sudah rewel menghujani pesan berisi ancaman pulang membuat kelimanya kelabakan.

Terlebih Ajun ditelepon langsung oleh papanya. Lelaki berkumis itu memberikan ultimatum; dirinya harus sampai rumah sebelum jam tujuh. Nggak ada acara molor-moloran. "Papa mau bicara sama kamu." Begitu akhir pesan yang beliau sampaikan.

Mata Ajun mendadak berkunang-kunang. Jika sudah keluar omongan seperti itu, maka hidupnya sedang ada di ujung tanduk. Pasti sesuatu telah terjadi. Dan dia nggak punya tenaga lagi untuk menghadapi sidang pengadilan malam ini.

[]


Terima kasih sudah mampir dan baca ceritaku^^

Mari bekerja lebih keras lagiiii^^

Mix & MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang