13

104 23 8
                                    


***


"Kok bisa sih lo jalan sama Kin?"

Dika memastikan telinganya nggak salah dengar begitu mendapat berita langka dari negeri seberang bahwa kemarin Ajun membolos bersama Kin. Nggak cuma makan siang bareng, tapi juga main ke studio berduaan. Cuma Ajun dan Kin. Gimana nggak terkezut mereka semua. Ajun saja sensi mulu tiap didekati atau disapa makhluk bernama Kinari tersebut. Ini kok tiba-tiba akrab banget.

"Udah gue bilang, mereka Celebek," sahut Bobby.

"Celebek?" Dika menggaruk rambut yang nggak gatal, rasa-rasanya familier dengan kata itu.

"Cinta Lama Belum Kelar."

Ajun mendengkus saja, ogah menanggapi. Buat menceritakan secara lengkap pun malasnya luar biasa. Ya, habis, baru nyebut nama Kin teman-temannya sudah heboh.

Lagi pula menurut Ajun, kejadian kemarin nggak penting-penting amat. Setelah makan siang bersama, mereka pulang sendiri-sendiri. Ajun dengan motornya. Kin dengan... entahlah, gadis itu cuma melambaikan tangan sebagai salam perpisahan di depan kedai mi ayam langganan mereka semasa SMP. Nggak ada perbincangan yang berarti. Mereka makan dalam diam, kecuali Kin yang sibuk mengobrol bersama ibu penjual. Setelah itu, sudah. Semua berakhir.

"Lo kenapa bisa kayak orang musuhan gini sih sama Kin? Kalian ada masalah apa?" Dika bertanya serius, sampai mengabaikan segelas es jeruknya yang diserobot oleh Bobby. Kisah Ajun dan Kin lebih menarik ketimbang buang-buang tenaga untuk menganiaya cowok bergigi kelinci itu. Dika bosan.

Ajun mencibir. "Sejak kapan lo jadi antek-antek pergosipan Iyo," singgungnya, padahal Iyo sejak tadi diam, sibuk menghubungi seseorang yang tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Mendengar itu, Iyo menghadiahi Ajun kepalan tangan meski nggak mengatakan apa-apa.

"Penasaran aja, omongan Si Babi bener atau enggak... kalau kalian pernah pacaran," tutur Dika, melirik Bobby sekilas, "takutnya ngarang lagi kayak yang udah-udah."

"Telanjang sana lo kalau omongan gue bener," cetus Bobby lantas menghampiri Iyo yang berteriak butuh bantuan. Keduanya berdiri di dekat lapangan, beberapa meter dari meja kantin tempat mereka nongkrong sekarang.

Ajun tak langsung menjawab. Mulutnya terkatup dengan lidah yang kelu. Pembahasan soal Kin nggak pernah dia tanggapi dengan serius karena dia terlalu malu untuk menceritakan ke yang lain. Wajar saja jika Bobby terus menebak-nebak dan Iyo kerap menyinggung soal Kin di hadapannya. Kini hal itu bertambah dengan rasa penasaran Dika.

Dika terus mengamati, seakan menuntut jawaban. Ajun jadi merasa terbebani.

"Nomornya nggak aktif."

Kedatangan Iyo menyelamatkan Ajun. Dia langsung bisa bernapas lega, namun tak lama sebab segera tersadar oleh omongan Iyo barusan. "Kok bisa?" tanya Ajun sembari merebut ponsel milik cowok berwajah setengah arab itu. Ajun mencoba menghubungi nomor yang sama, tetapi suara operator mengambil alih.

"Kemarin elo yang bolos sendirian, sekarang Ucan. Besok siapa? Elo, Yo? Kaga ada setia kawannya sama sekali lo pada." Bobby mendumel. Satu roti berukuran besar dia telan bulat-bulat. Pipinya mengembang sempurna.

"Salahin bapak gue." Ajun mengembalikan ponsel Iyo.

Hari ini Ucan nggak masuk. Berbeda dari Ajun yang kemarin masih berbagi kabar, cowok gembil itu nggak memberikan informasi apa-apa. Rumahnya kosong melompong. Ponselnya apa lagi. Mengingat Ucan adalah hamba internet dan nggak bisa hidup tanpa benda elektronik tersebut, mereka jadi lumayan khawatir begitu tahu nomor serta semua media sosial Ucan nggak aktif.

Mix & MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang