3 || Pipipipip calon mantu!

18 6 0
                                        

________________________________________

"Dalam tiga, lima, sampai sepuluh tahun lagi. Aku masih akan tetap mengenangmu, dalam keadaanmu yang sekarang bersamaku."

- Aimiya
________________________________________

Sulit sekali mencari ide untuk dituangkan ke dalam tulisan. Sudah berkali-kali aku menulis cerita. Namun, tak ada satupun yang selesai hingga tamat. Selalu saja kandas di tengah jalan. Seperti kisahku bersamanya. Tunggu, bersama siapa? Teman pun tak ada.

Kadang imajinasi di otakku lancar, kadang meringkuk di pojokan. Beginilah jadinya jika menulis tanpa merancang outline, tema, menciptakan tokoh yang pas, dan hal lainnya.

Aku bukannya tidak pernah merancang sebuah cerita sebelum ditulis. Hanya saja setelah semuanya selesai kususun, entah kenapa cerita yang semula tertata rapi di memori ... raib seketika. Wush! Hilang.

Haish! Aku sangat-sangat frustasi! Hanya menulis satu-satunya keahlianku. Jika ini gagal, pupus sudah cita-cita dan harapanku.

Tetiba suara cempreng yang khas membuyarkan lamunanku. "Kai! Kamu kenapa, sih? Dari tadi Ibu panggilin, gak nyaut. Lagi mikirin siapa, hayo? Jangan-jangan ... si ehem!"

"Ibu, apaan, sih? Kan, cerita yang barusan lewat jadi kabur lagi. Ibu ih ...! Aku lagi pusing tau, hiks."

"Lah, kok, jadi nyalahin ibu? Itu mah emang dasar otak kamunya aja yang lola."

"Huaaa! Ibu kok, tega, sih. Kalo ngomong itu ya ...,"

"Suka bener, kan? Iyalah! Perempuan itu selalu benar."

"Iya, iya. Terserah deh."

Aku menatap ibu. Bilang tidak, ya? Pasalnya, ibu ingin aku menjadi seorang penceramah. Aish! Jangankan berbicara di depan umum, berbicara dengan diri sendiri di depan cermin saja rasanya malu. Apalagi aku tak paham agama. Ibu ada-ada saja! Saat aku bimbang, tiba-tiba muncullah sekelebat bayangan kenangan saat aku baru saja lulus dari SMP.

"Kai, kamu mau gak, masuk ke pondok pesantren?" tanya ibu di suatu sore. Aku yang sedang melahap puding sambil menonton tv, tersedak.

"Uhuk! Uhuk!"

"Eh, eh. Kenapa? Kamu keselek? Nih minum, nih!" Ibu menyodorkan semangkuk air yang langsung kuteguk.

"Iyuuw! Bu, kok, rasa airnya gini? Ini air apaan, deh? Warnanya butek, ih."

"Idih, iya! Ibu lupa! Salah ngasih air. Itu yang kamu minum, air kobokan bekas ibu nyuci tangan. Tadi ibu abis bersihin ikan."

Glek! Ingin kumarah. Namun, takut durhaka. Aku tak tahu harus memasang ekspresi yang seperti apa. Alhasil, aku hanya diam mematung.

"Gak apa kali. Berkah, berkah. Air bekas tangan Ibu, kok. Kan, surga ada di telapak kaki ibu. Kamu jangan marah! Gak boleh."

Bu, itu kan, air kobokan tangan, bukan kaki. Hiks! Aku mengerucutkan bibir. Ya sudah, mau bagaimana lagi?

"Oya, gimana jawabannya? Mau gak?"

Aku termenung sejenak. "Umm, bukannya nggak mau. Cuma, aku belum siap. Boleh gak kasih waktu dulu buat mikir-mikir?"

"Yaudah, Ibu gak maksa, kok. Ibu cuma nanya aja." Kemudian, ibu berlalu. Hatiku mencelos. Ibu tak pernah begitu sebelumnya. Aku tahu dia sedang serius, tapi aku juga belum siap untuk hidup jauh dari ibu. Meninggalkannya sendirian di rumah.

"Kai! Bengong mulu, nih, anak. Jangan gitu, entar kesambet!" Untuk kedua kalinya, ibu membuyarkan lamunanku.

"E-eh, nggak bengong, kok. Cuma sekarang perut Kai lagi mules aja. Mau ke bilik perlindungan dulu, ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AimiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang