Semua orang mempunyai masa lalu. Namun, bedanya ada kenangan yang ingin selalu diingat, ada pula yang berusaha keras untuk dilupakan.
Tak mudah bagi seseorang untuk mengikhlaskan hal buruk yang menimpa dirinya. Begitu juga dengan Kaira Zefana. Mati...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
________________________________________
"Mungkin raga kita memang baru bertemu Namun, tahukah kamu? Hati kita telah terpaut sejak dulu."
- Aimiya ________________________________________
Aku menatap jam dinding yang tergantung di atas papan tulis. Perutku sudah melilit, tapi bel istirahat tak kunjung berbunyi.
"Bener-bener, ya. Baru tadi pagi diisi, udah laper aja. Sensian amat punya lambung. Punya perut laper mulu, tapi gak punya perut, serem juga."
Secara tak sadar aku mulai meracau. Begini jadinya jika sedang belajar, perut lapar. Otak dan lambung tak sinkron.
"Sstt! Sstt!"
Aku mengerjapkan mata dan menoleh ke sumber suara. Ternyata anak yang tadi pagi membuatku malu! Kenapa dia harus duduk tepat di sebelah kiriku? Aku masih malu mengingat kejadian itu. Haaaihhh!
Dia menyodorkan selembar kertas. Dahiku berkerut. Mau apa dia? Aku membaca tulisan yang tertera di kertas, "Bengong terus. Kenapa deh? Laper, ya? Wkwkwk." Aneh bin ajaib. Kok, dia bisa tahu kalau aku lapar? Aku menoleh lagi seraya mengangguk. Sepertinya dia sedikit tertegun karena tebakannya benar.
Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Secepat kilat dia melemparkannya padaku. Dasar! Untung saja refleks-ku bagus.
Ah, ternyata Bengbeng. Tunggu, maksudnya ... dia menyuruhku makan di kelas saat jam pelajaran berlangsung? Ajaran sesat! Mana bisa begitu? Baru saja membuka bungkus, pasti sudah ketahuan, kan? Aku menoleh lagi sambil mengerutkan dahi. Dia tersenyum aneh. Glek! Firasatku tak bagus!
"Bu! Si anak baru makan di kelas, Bu!"
Astaghfirullah!
"Tuh, Bu! Dia makanin Bengbeng!"
Ya Allah!
"Gak sopan banget, kan, Bu? Hukum aja, Bu! Jangan mandang anak baru. Peraturan tetaplah peraturan."
Allahu Akbar!
Inginku berkata kasar. Ingin kuteriak. Ingin ku menangis. Eh?
Kini, semua mata tertuju padaku. Jelas bukan karena terpesona. Namun, karena jebakan syaiton! Aku tak terima!
"Nggak, Bu! Dia bohong. Saya gak makan di kelas." Aku berdiri dan mencoba menjelaskan. Haha! Dia kira, bu guru akan langsung percaya padanya? Tidak semudah itu, Fergusso!
"Oh, gitu. Terus itu apa yang ada di tangan kamu?" tanya bu guru. Aku melihat tanganku yang sedang menggenggam Bengbeng. Sejak kapan? Kenapa Bengbengnya bisa ada di tanganku? Padahal tadi aku sudah menaruhnya di kolong meja.
"I-ini ... Bengbeng, Bu."
Satu kelas menahan tawa. Ibu ... tolong aku! Aku ternistakan!
"Yasudah, kali ini Ibu maafkan. Besok jangan diulangi lagi, ya?" tutur bu guru lembut. Aku mengangguk pasrah dan meminta maaf walau dia yang salah. Tepat ketika aku duduk, bel istirahat berbunyi.