Pelet Bukan Pelet #1

412 67 29
                                    

Content Warning: Harsh Word(s)

Argani benci hari Senin pagi, tetapi ia cinta Senin di sore hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Argani benci hari Senin pagi, tetapi ia cinta Senin di sore hari.

Hari Senin adalah hari piketnya, Argani tidak mempermasalahkan itu. Hanya saja, teman-temannya yang tidak tahu diri kerap kali membuang sampah sembarangan dan jalan dengan santai saat ia baru saja mengepel. Argani benci dan tidak suka itu. Ia merasa kerja kerasnya tidak dihargai. Sebuah awalan yang buruk untuk memulai sebuah hari. Maka tak bisa pungkiri, Argani membenci Senin di saat pagi.

Akan tetapi, sore hari berbeda dengan pagi hari. Cukup berbeda. Sangat berbeda. Jauh berbeda.

Pemuda dengan nama belakang Biantara itu mencintai sore hari di hari Senin sepenuh hati. Ia mengikuti ekstrakurikuler dan berkesempatan melampiaskan emosinya saat berdebat. Yang paling penting, ia bisa melihat pujaan hatinya―Raksa―yang latihan (lebih sering melatih, sebenarnya).

Seperti saat ini, misalnya.

Ditemani dengan Matahari yang bekerja dengan kekuatan penuh, semua orang yang yang menginjakkan kaki di lapangan itu mengeluh kepanasan. Pasalnya, mereka semua tidak beralas kaki. Lapangan yang dilapisi semen itu seakan-akan menampung setiap cahaya yang Matahari tumpahkan di lapisan atasnya. Mungkin sengaja, mungkin juga memang seperti itu hukumnya.

Kaki Argani terbalut kaus kaki dan sepatu, ia juga tidak berada di tengah lapangan. Ia hanya duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di depan ruang Tata Usaha, tepat berhadapan dengan lapangan. Teduh, hanya sedikit panas.

Para siswa dan kader Tapak Suci di lapangan tentu sangat ingin berteduh, tetapi tidak seperti itu cara mereka berlatih.

"Sikap mawar, hap! Ulang! Sikap mawar, hap!"

Suara kader itu sangat lantang, Argani bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Argani menjadi penasaran, bagaimana ia bisa mengeluarkan suara selantang itu.

"Hormat, gerak! Tegak, gerak! Duduk."

Seluruh siswa pun duduk, lalu disusul oleh para kader yang bersabuk biru dengan beragam tingkatan.

"Ah, berdoa ternyata," gumam Argani. Ia bisa melihat semua orang duduk bersimpuh dan menundukkan kepalanya. Lantunan doanya pun terdengar di telinganya.

Argani pun menikmati tontonan di depannya. Bela diri selalu keren di mata Argani, apalagi ada Raksa yang berdiri di sana dengan sabuk kuning yang terjahit empat melati cokelat. Jika siswa-siswa lain keren di mata Argani, maka Raksa berpuluh-puluh kali lebih keren. Efek cinta yang berkelanjutan, mohon dimaklumi.

"Gan, ayo sini. Udah mau mulai ini diskusinya," panggil salah satu senior Argani di English Club.

Mau tak mau, Argani harus meninggalkan kebiasaannya untuk sementara dan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota English Club. Hari ini pun akan menjadi hari yang panjang, untuk semua orang.

Pelet Bukan PeletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang