2. Busur kedua "Dia"

8 0 0
                                    

Ada banyak hal yang membuatku merasa sesak akan dunia ini, yang kedua adalah kesendirian dan kesepian. Aku sangat yakin bahwa aku dicintai, tetapi itu hanya pembodohan pada akalku agar aku dapat menikmati setiap detik dari perasaan tidak berarti ini. Ketika perasaan ini menyelimuti, aku akan menggambar lukisan-lukisan, memberikan seonggok kertas itu arti dan makna. Ketika aku terlelap dalam duniaku, aku akan memikirkan banyak hal dalam berbagai pandangan, seperti halnya bagaimana ketika kamu memandang seseorang telanjang sebagai vulgaritas, tetapi bagiku itu hanya objek belaka. Baik penis atau payudara, itu hanya daging tambahan dan tidak pernah berarti sebagai hal mesum bagiku. Maksudku, aku bisa saja menggambar lukisan telanjang tanpa memandang hal tersebut sebagai mesum, bagiku itu hanya seperti melihat bayi yang baru lahir, dalam keadaan telanjang dan kotor. Apa yang membuat suatu hal terasa mesum hanyalah bagaimana kamu diajari lingkungan untuk memandang hal tersebut sebagai mesum.

Hari ini seperti biasanya, jam berdetak setiap detiknya dan aku merasakan realisasi dari kenyataan itu seperti apa. Tiap detik yang kujalani tidak lebih dan tidak kurang pada kenyataan yang mengimplementasikan bahwa aku hidup, dan untuk mengisi kehidupan itu aku harus melakukan sesuatu, entah itu berisi penderita atau sukacita. Aku membuka mataku, seriak layu berwarna jingga menembus jendela kecilku, menyinari debu yang berterbangan, seperti bulu yang dihambur-hamburkan.

Pintu rumahku diketuk dengan pelan, aku membukanya. Di depan mataku tercermin wajah temanku, teman yang begitu optimis itu. Dia tersenyum lesu dan tidak berdaya seraya berkata "Ternyata, membunuh seseorang itu sama melegakannya dengan kematian, begitu tidak berarti dan tanpa daya". Air mata setengah menggantung dimatanya, wajah yang penuh rasa optimis itu pucat.

"Aku membunuh seseorang. Dia adalah perundung di masa laluku. Dia mulai merundungku lagi, jadi apa boleh buat, aku hanya mendorongnya dengan ringan. Siapa yang tahu dia akan jatuh tersungkur hingga mati, bukan begitu? Aku sudah berubah menjadi lebih kuat, kenapa akhirnya menjadi seperti ini!?" Air mata yang menggantung itu pada akhirnya jatuh bergulir begitu saja. Aku pun tidak dapat menghentikannya.

"Setiap kali dirundung, ibuku tidak pernah menghiburku, dia hanya akan memarahiku dan menyalahkan kenapa aku lemah. Itu tidaklah sesakit seperti ketika dia melahirkaku, hanya membuat kepalaku berdengung dan dadaku sesak seperti sekarat. Hanya itu saja… Sekarang aku sudah berubah menjadi kuat sesuai yang diinginkannya, tetapi lima huruf untuk cinta, aku tidak bisa mendapatkannya. Untuk kita yang tidak pernah dicintai, ada baiknya lenyap dalam ketidakberartian lebih awal. Maukah kamu, ikut denganku? Ayo kita pergi melarikan diri, ke surga yang jauh disana, yang penuh dengan kehangatan keluarga, dengan susu dan sepiring sereal setiap pagi."

Dia mengulurkan tangannya padaku, tangan kurus dan lentik yang penuh memar itu mengambang dihatiku. Itu sore hari yang jingga, dia tersenyum tulus dan lembut, membuatku jatuh hati pada rasa sakitnya yang amat membara seakan membakarku hidup-hidup. Dengan lugu nya aku meraih tangan itu, berkata kepadanya bahwa dia tidak perlu bersedih lagi, aku akan mengikutinya. Tangan kurus itu dingin tetapi untukku, itu adalah kail pelipur lara dari kesepian di sore hari. Pada hari itu, aku mengikuti langkah kakinya, keluar dari rumah dengan tas berisi Nintendo dan dompet. Aku tinggalkan semua kenangan tentang teman dan keluarga, kini tidak ada yang berarti lagi. Hanya kami berdua, berlari dan bermain-main seperti orang gila, pergi jauh, ketempat yang sepi tanpa siapapun untuk mati dan lenyap, hanya menyisakan ingatan bagi orang-orang yang memang ingin mengingatku.

Dalam ingatan itu, barangkali aku ini mungkin adalah manusia tolol karena mencoba memberontak pada asas dan normatif sosial, atau aku juga seorang revolusioner pemikiran pasif yang hancur ditumbuk oleh kesepakatan masyarakat, bahwa pandanganku terhadap dunia itu salah. Aku telah menjalani 17 tahun kehidupan dengan buruk, dan aku menganggap kehidupan itu bukan apa-apa dan tidak berarti apa-apa. Apakah tujuan dari penciptaan manusia? Aku tidak tahu. Orang-orang berkata bahwa kami utusan untuk bumi, tetapi memangnya utusan apa? Haruskah aku berdakwah kepada hewan tentang keberadaan tuhan? Hal-hal seperti itu adalah tabu untuk dipikirkan, tetapi siapa peduli. Aku memikirkan banyak hal, rasa takut untuk berpikir hanya ada bagi mereka yang dari bayi keriput dan jelek seperti anak monyet telah diajarkan nilai-nilai kebenaran yang hanya 'dianggap' benar oleh masyarakat. Nilai normatif yang merupakan kebiasaan, siapa peduli bahwa sebenarnya kebiasaan yang menjadi norma itu merugikan orang lain?

Slag IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang