Di cintai atau tidak dicintai, bagi seorang nihilist mungkin tidak pernah berarti apapun, aku berpikir tidak masalah untuk hidup seperti ini selamanya sambil berkata bahwa segalanya akan kembali kepada ketiadaan. Tapi tidak bisa kupungkiri perasaan sepi yang menyertaiku dalam setiap tarikan nafas, rasanya tidak sakit, akan tetapi hanyalah rasa tidak enak, sama halnya seperti ketika kita menghirup udara melewati mulut tetapi mengeluarkannya dengan tergesa-gesa, membuat mual dan bulu kuduk merinding oleh perasaan tersebut.
Aku mungkin terlalu gila sehingga aku kadang-kadang terbangun di tengah malam dengan kepala berdengung, sambil menangis tanpa tahu apa yang menyedihkan dan apa yang membuatku menangis, seperti halnya hari ini. Kupikir aku adalah orang tanpa emosi, bisa saja aku menangis bukan karena sedih atau sedang menderita, aku akan menangis untuk sekedar formalitas. Aku juga bisa tertawa dan marah, tetapi aku tidak pernah benar-benar ingin tertawa atau marah, aku hanya mengira-ngira sudah seharusnya manusia dalam suatu keadaan tertentu menunjukkan fluktuasi emosional yang terkait situasinya. Aku tidak marah apabila seseorang memakiku tanpa alasan, karena aku tidak peduli. Namun, sewajarnya manusia harusnya dia merasa gusar dan marah, jadinya aku memilih merespon dengan cara normatif seperti itu juga. Tapi, pada akhirnya perasaanku yang sebenarnya merupakan luapan emosi juga, seperti air sungai yang terlihat tenang di permukaan. Aku adalah orang yang sangat emosional dengan 1001 cara yang berbeda dari kebanyakan orang.
Mungkin, pada saat aku menangis tanpa tahu alasannya aku hanya mengeluarkan sisa emosi negatif, mungkin itu saja dan tidak lebih dari itu. Sejujurnya ketika aku bukan seorang nihilist dan menjalani kehidupan, setiap hari rasanya seperti neraka, tetapi ketika aku tahu bahwa kehidupan ini hanya berlalu begitu saja, baik ada satu juta orang dalam setiap tarikan nafas mati, hari masih berlanjut dan keberadaan mereka akan dilupakan oleh lautan waktu, begitu juga keberadaan ku. Hidup ini tidak memiliki arti, dan itu sama sekali bukan masalah. Aku mungkin ingin menjadi seperti Emil Cioran dengan pemikiran yang berada di ambang kematian tetapi hidup hingga akhir hayat dan mati karena usia tua.
Pemikirannya mempengaruhiku untuk mendakwa kehidupan tanpa arti ini, dengan begitu pula aku akan memutuskan untuk hidup lebih lama dari orang-orang yang kukenal. Seperti halnya ketika aku bertanya-tanya mengapa harus melakukan rutinitas setiap pagi, mandi, makan, tidur, sekolah atau bekerja, dan jawabannya hanya ada satu, itu karena; "Aku telah dilahirkan". Ketiadaan arti pada kehidupan memberikan celah yang pasti, bahwa arti dari kehidupan itu mungkin diciptakan, toh tidak masalah jika kau masih tidak tahu apa artinya, karena apapun yang terjadi hidup masih terus berlanjut, bahkan ketika kita memutuskan untuk mati esok hari.
Jam 3 dini hari, aku terbangun dari tidur nyenyak ku. Melakukan hal-hal yang harus dilakukan sambil bermalas-malasan, seharusnya pukul 6 pagi aku sudah siap berangkat sekolah dengan seragam rapi, tapi pada akhirnya aku selalu berangkat pukul 7, tepat 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Setiap hari selalu berlalu begitu saja, sambil melakukan ini dan itu, aku merasa lelah hanya dengan bernafas saja. Suhu didalam ruangan mungkin sudah melebihi 34 Derajat Celcius, hingga aku bisa merasakan keringat mengalir di sepanjang leher dan celah rambut pendekku. Pada saat itu dikelas yang panas tersebut, tidak ada guru dan anak-anak sedang menikmati waktu istirahat mereka. Sebuah ide untuk mengatasi rasa panas ini muncul dikepalaku. Alih-alih mengibaskan kertas, aku membuka hijabku agar tidak kepanasan, sehingga kepalaku yang pusing oleh rasa panas ini dapat reda.
Betapa leganya ketika sedikit hembusan angin menerpaku, aku merasa dapat hidup kembali. Aku mengangkat jari-jariku diatas keyboard laptop dan mengetik tiap kata yang muncul dikepalaku untuk segera menyelesaikan tugas makalah ini, aku hanya fokus pada layar monitor. Seorang guru pria secara tiba-tiba masuk ke kelas diwaktu istirahat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, untuk menjemput anak bermasalah. Aku terkejut dan mematung, guru pria itu memandangi rambutku dengan helaian pendek yang mungkin terlihat menjijikkan dengan betapa mengkilapnya oleh keringat. Dia menggelengkan kepalanya seolah melihat makhluk najis dan aku tertegun.
Ada banyak hal yang membuatku merasa sesak akan dunia ini, hal yang pertama adalah ketidakbebasan, yang dimaksudkan untuk mengikat semua orang dalam satu faham mengenai pandangan terhadap dunia, dogmatis agama, pada aliran dan keyakinan individual. Ketidakbebasan yang aku katakan ini telah melekat padaku sejak muda, ketidakbebasan untuk berfikir ini membuatku kesepian hingga kupikir aku hanya satu-satunya di dunia ini, meski kenyataannya tidak demikian. Dalam masyarakat yang aku tinggali, nilai tradisional mengakar melewati sumsum tulang belakang mereka, menganggap segala hal baru di masyarakat adalah buruk. Persetan dengan segala pandanganmu, aku juga memiliki pandangan tersendiri, bukan begitu?
Mau berapa kali pun aku mengungkapkan pandanganku, itu tidak ada gunanya. Telinga-telinga bebal itu sama bebalnya dengan sudut pandang ku yang mencoba mendobrak norma masyarakat yang konservatif. Mereka menuntutku untuk menghormati pandangan mereka tetapi ketika aku menuntut balik mereka agar menghormati pandanganku, mereka dengan polos berkata bahwa pandanganku invalid dan aku hanyalah bajingan yang tidak tahu apa-apa. Hormatilah pandangan yang lebih tua dan ikuti mereka. Karena aku masih muda, aku tidak diizinkan melakukan sesuatu berdasarkan keyakinan ku sendiri, berdasar apa yang aku percayai dan aku anggap ideal. Lupakan saja, aku sudah terbiasa dan menjadi gila karenanya, kejadian ini berlalu begitu saja tetapi momen yang telah terjadi menjadi rasa takut dan obsesiku pada kebebasan.
Belakangan ini, aku mulai mengobrol dengan teman laki-laki di kelasku. Kami duduk dikarpet usang membahas hal-hal ringan, seperti masa lalu mereka. Anak-anak yang terlahir dengan telanjang bulat dan polos itu terus tumbuh, beberapa menjadi predator dan sisanya menjadi mangsa dalam darwinisme sosial, yang menganggap bahwa kehidupan masyarakat yang beradab ini dalam hal sosial tidak ada bedanya dengan dihutan rimba. Anak laki-laki itu terus mengoceh seperti anjing menggonggong, mengatakan bahwa dia adalah makhluk jahat dengan wajah bangga. Bahwa dahulu kala ketika dia masih seorang anak tanpa bulu di kemaluannya, dengan keji melakukan perundungan pada seorang anak, yang juga merupakan temanku. Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa jijik dengan mereka yang bertindak seolah tidak bisa lepas dari sifat kebinatangan. Mereka menceritakan bahwa memukulnya, menghinanya, dan membuat dia hidup seolah dineraka adalah hal yang biasa, menceritakan hal itu semudah meminum segelas kopi.
Anak itu, yang diceritakan mereka telah tumbuh menjadi seseorang yang pemarah, sensitif, egois dan narsistik, anak itu ingin dihargai dan dicintai, tetapi tidak ada yang menuntunnya untuk tahu bagaimana cara dihargai dan dicintai. Terkadang dia terlihat tidak menghargai orang lain dan kurang simpati, karena aku tahu bahwa sifat itu muncul karena dia tidak pernah dihargai dan dikasihi, sehingga dia tidak pernah benar-benar bisa memberikan hal seperti itu kepada orang lain yang ada disekitarnya. Aku tidak menyalahkannya, mentolerir nya terus-menerus, tetapi itu adalah aku, dan bukan orang lain. Pada akhirnya, anak itu dibenci banyak orang, namun dia tetap optimis.
Itu sangat menakutkan melihat dia tetap optimis dalam keadaan babak belur. Cioran menuliskan bahwa orang yang bunuh diri adalah orang optimis yang tidak bisa optimis lagi, sedangkan orang-orang sepertiku, yang tidak memiliki alasan untuk hidup juga tidak memiliki alasan untuk mati. Terkadang aku ingin melarikan diri sejauh mungkin, sejauh dimana tidak ada seorangpun yang mengenalku. Aku ingin kabur ke surga, di surga yang jauh disana, dengan kehangatan keluarga, dengan susu dan sepiring sereal setiap pagi. Meski Cioran menuliskan hal itu, ternyata, itu juga tidak menjamin bahwa aku benar-benar tidak memiliki keinginan untuk mati dan menghilang dari dunia ini.
.
Welp!
KAMU SEDANG MEMBACA
Slag Illusion
DiversosKematian disebut sebagai sesuatu yang menakutkan, juga, kembali kepada pelukan kematian adalah kedamaian tidak berarti, seperti bunga putih yang tersapu oleh tsunami. Barangkali itu menyakitkan dan 17 tahun itu hanya sekejap mata, aku harap aku dapa...