Part 02

61 9 3
                                    

Maaf ya buat kalian semua yang udah nunggun aku publish wp ini kemarin aku sibuk bangett sama pekerjaan aku. Oh ya sebenernya aku juga sedih karena votenya masih sedikit ayo dong buat kalian yang udah baca wpku kasih vote ya biar aku semakin semangat ngelanjutin cerita ini. Kepikiran buat aku unpub karena aku ngerasa cerita aku udah mainstream bahkan takutnya engga ngefeel.

Selamat Membaca 😉

=======================================


Mereka duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari tempat dudukku. Mereka berlima. Mereka tidak bicara, juga tidak makan, meskipun di depan mereka masing2 ada satu nampan makanan yang tak tersentuh.

Mereka tidak terpana menatapku, tidak seperti kebanyakan murid lainnya, jadi rasanya aman memandangi mereka tanpa takut bakal beradu pandang dengan sepasang mata yang kelewat penasaran.

Tapi bukan ini yang menarik perhatianku.
Mereka tidak terlihat seperti yang lain. Dari tiga cowok yang satu bertubuh besar berotot seperti atlet angkat besi profesional, rambutnya gelap ikal. Yang lain lebih tinggi, lebih langsing tapi juga berotot dan rambutnya pirang keemasan. Yang terakhir kurus dengan rambut berwarna perunggu yang berantakan. Ia lebih kekanakan
daripada yang dua lagi, yang kelihatannya sudah kuliah, atau bahkan bisa jadi guru di sini dan bukannya murid.

Yang cewek-cewek kebalikannya. Yang jangkung tatapannya dingin. Tubuhnya indah, seperti yang kalian lihat di sampul Sports Illustrated edisi pakaian renang sosok yang membuat setiap cewek di dekatnya tidak percaya diri hanya dengan berada di ruangan yang sama. Rambutnya keemasan, tergerai lembut di punggung. Gadis yang
bertubuh pendek seperti peri. sangat kurus, perawakannya mungil. Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dan lancip-lancip.

Namun toh mereka sama persis. Mereka pucat pasi, paling pucat dari semua murid yang hidup di kota tanpa matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si albino. Mata mereka sangat gelap, begitu kontras dengan warna rambut mereka. Mereka juga memiliki kantong mata - keunguan, memar seperti bayangan. Seolah-olah mereka melewati
malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir sembuh dari patah hidung. Terlepas dari hidung mereka, semua garis tubuh mereka lurus, sempurna, kaku.

Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa berpaling.

Aku memandangi mereka karena wajah mereka begitu berbeda, namun sangat mirip, semuanya luar biasa, keindahan yang
memancarkan kekejaman.

Mereka wajah-wajah yang tak pernah kau harapkan bakal kaulihat kecuali di halaman majalah fashion. Atau dilukis seorang pelukis ahli sebagai wajah malaikat. Sulit memutus kan siapa yang paling indah mungkin cewek berambut pirang yang sempurna itu, atau si cowok berambut perunggu.

Mereka semua mengalihkan pandangan dari satu sama lain, dari murid-murid lain, dari segala sesuatu sejauh yang kulihat. Ketika aku memerhatikan, si cewek mungil bangkit membawa nampan kaleng sodanya belum dibuka, apelnya masih utuh - dan berlalu sambil melompat cepat dan indah. Gerakan yang bisa dilakukan di landas pacu.

Aku terus mengawasinya, mengagumi langkah luwesnya yang bagai penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat nampan kotor dan melayang lewat pintu belakang lebih cepat dari yang kupikir mungkin dilakukannya. Mataku tertuju kembali ke yang lain, yang sama sekali tak beranjak.

"Siapa mereka?" aku bertanya pada cewek dari kelas bahasa Spanyolku, yang aku lupa namanya.

Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang kumaksud meskipun dari nada suaraku barangkali ia sudah tahu tiba-tiba salah satu cowok dari kelompok itu memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus dan berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda.

Twilight || MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang