Satu

16 3 1
                                    

Kota Seoul masih pagi. Pukul 06 : 45.
Saat di mana taman kota di kawasan Yongsan ramai dengan orang-orang yang berolahraga. Bersepeda, senam ringan, atau mungkin berlari-lari seperti pemuda berjaket abu-abu di sana.

Wajah pemuda itu hampir tak kelihatan karena tertutup oleh hoodie besar jaketnya. Tak ada yang tau bahwa di balik hoodie itu ada paras tampan dengan rahang tegas namun kedua pipi yang sedikit berisi. Maskulin tapi menggemaskan. Hanya sedikit pria Korea yang punya kontur wajah seperti itu.

Dan Park Young Seon beruntung memilikinya.

Hampir tiga puluh menit lamanya Young Seon berkeliling, berharap bisa membakar lemak yang mengendap di pipi dan perutnya akibat kebanyakan makan ramen beberapa malam terakhir.

Dadanya yang sesak menjadi alarm bahwa ia harus berhenti. Nafasnya tajam dan paru-parunya terasa kering. Young Seon butuh udara. Langkahnya berangsur pelan dan dengan kasar ia membuka tutup kepalanya agar kulit kepala yang telah mandi keringat itu bisa ikut bernafas.
Saat itulah Young Seon sadar ia di area timur taman yang berhadapan dengan sebuah gedung kembar nan tinggi dengan arsitektur rumit.

Sebenarnya itu gedung perusahaan perniagaan, tapi warga Seoul mengenalnya dengan sebutan The Dancing Dragon Tower karena arsitekturnya yang amat rumit dan bernilai seni tinggi serta rancangan jendelanya yang menyerupai sisik naga. Young Seon menyukai setiap kerumitan dari detail bangunan itu. Sangat amat menyukai. Hingga setiap pagi setelah berolah raga seperti ini, ia akan berhenti di sudut taman yang berhadapan dengan si gedung.

Mengambil tempat di sebuah kursi taman dari besi yang mulai berkarat karena usia dan mengeluarkan buku sketsa kecil serta pensil dari saku jaketnya, Young Seon mulai kegiatan rutinnya setiap kali selesai lari pagi. Melanjutkan gambar Dancing Dragon Towernya dengan berpedoman pada objek nyata. Menggambar setiap sudut gedung dengan goseran detail agar menciptakan tampilan yang semirip mungkin bahkan hingga ke ventilasi jendela.

Di tengah keramaian Young Seon tenggelam dalam dunia yang ia ciptakan sendiri, menikmati setiap detik dengan bahagia dengan ujung bibir tersenyum puas.
Ya, salah satu kebahagiaan Young Seon di dunia ini adalah menggambar dan menikmati seni dari sebuah bangunan.
Ia lupa kapan pertama kali sebuah bangunan membuatnya jatuh hati. Mungkin saat ia sekolah dasar. Kala itu Young Seon hanya sebatas mengambar gereja di dekat-dekat rumahnya di buku gambar. Ia menggambar bangunan apapun di sekitarnya yang ia anggap unik. Sampai akhirnya, semakin lama buku gambarnya semakin banyak dan ia sadar ia telah jatuh cinta.

Cinta itulah yang membuatnya memilih jurusan arsitektur saat kuliah. Lalu ia lulus dengan baik, kemudian ia meninggalkan Busan, kampung halamannya, untuk pindah ke Seoul. Kini ia hidup dengan bekerja di sebuah perusahaan konstruksi sebagai drafter yang tugasnya mendampingi arsitek utama dan bekerja dengan bahagia menapaki mimpinya.

Singkat kata, kini cintanya pada dunia arsitektur sudah terlalu dalam. Setiap kali Young Seon membuat goresan di buku sketsanya, ia merasa sedang berhadapan dengan mimpinya.
Dan mimpi Young Seon yang terbesar ada di depannya sekarang. The Dancing Dragon Tower. Suatu hari Young Seon ingin membuat maha karya sehebat ini dengan keahliannya sendiri.

Suatu hari.

Dengan tangannya sendiri.

Kesenangan membawa Young Seon tenggelam terlalu jauh dalam hingga ia lupa bahwa waktu kadang kala berjalan lebih cepat dari yang manusia kira. Di ujung timur sana matahari sudah tinggi, membuat udara pagi perlahan berubah panas. Saat itulah Young Seon sadar bahwa
ia harus mengecek jam tangannya.

07 : 15

Sial. la terlambat, Iagi.
Selalu seperti ini.

Secepat peluru Young Seon melesat dari kursinya. Berlari sepanjang jalan dari taman menuju apartmen.

I'm the BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang