Phase 3

7 6 2
                                    

Bulan bertengger indah di langit malam. Arak-arakan awan yang melintas di depannya membuat sinarnya tertutup sebentar.

Di kamar, aku sedang berkutat dengan selembar kertas dan bolpoin di tangan. Tak mau diganggu. Hanya keluar saat makan malam saja. Malam ini, aku bisa leluasa melakukan apapun. Papa dan Mama sedang pergi.

Tadi, saat sampai di rumah ada dua kertas note di depan pintu kamarku. Satu dari Papa, satu lagi dari mama, mengabarkan kalau mereka sedang mengurus pekerjaan keluar negeri. Mungkin lima sampai delapan hari baru bisa pulang. Membacanya, membuatku bersorak riang. Setidaknya selama mereka pergi, aku tidak akan mendengar pertengkaran konyol mereka.

Aku bisa melakukan apapun yang ku suka. Aku bisa melakukan hal-hal yang biasanya tidak bisa kulakukan saat mereka ada.

Lelah dengan coretan tangan, aku memutuskan keluar kamar menuju lantai bawah. Hanya sepi yang ku temui. Tentu saja, hanya ada aku dan Bi Ani yang di ada di rumah sekarang. Lagi pula, jam segini Bi Ani pasti sudah tidur di kamar belakang.

Aku melangkahkan kaki menuju dapur hendak menyeduh susu coklat yang diam-diam menjadi kesukaanku. Kesempatan, mumpung Papa dan Mama tidak ada di rumah. aku bisa leluasa menjelajahi seisi rumah, melakukan trik-trik memasak yang aku lihat di MeTube. Ya, itu juga hobi rahasiaku, hanya kulakukan saat aku sendirian.

Dalam 10 menit, aku sudah membawa baki berisi seblak pedas dan segelas susu coklat menuju ruang keluarga. Ruang yang hampir selalu ku hindari. Namun, selalu menjadi favorit saat aku sendirian.

Aku menyalakan televisi mencari channel yang menurutku bagus, lantas mulai menikmati makanan yang tadi ku buat. Aku tersenyum tipis. Mungkin nanti saat aku sudah pergi, aku akan merindukan saat-saat ini. Kecuali kost yang aku tinggali punya fasilitas lengkap seperti di rumah ini.

***

Lenggang kudapati saat aku baru membuka mata. Jarum jam menunjuk angka empat. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Bagaimanapun tingkahku di luar sana, aku tak pernah melupakan shalat. Karena aku tahu, shalat adalah tiang agama. Jika shalat tidak ku kerjakan, berarti aku telah meruntuhkan tiang agama. Jika tiang runtuh, hanya perlu beberapa detik saja bangunan sebaik dan semegah apapun akan hancur. Hanya menyisakan debu. Begitupun dengan bangunan agama. Itu kata ustadzah di TPQ tempatku belajar mengaji dulu. Maka sejak itu, aku selalu berusaha agar bangunan spiritual yang ada dalam diriku bisa bertambah kokoh. Agar aku bisa membentengi diriku. Apalagi aku hidup di dunia yang hampir setiap harinya semakin menggila.

Perlahan aku menggelar sajadah. Mengangkat kedua tangan sambil mengucap takbir. Ada getaran aneh dalam hatiku yang membuatku merasa nyaman. Rasa nyaman yang tak pernah ku rasa, menelusup dengan sempurna saat itu. Selesai shalat, aku memutuskan turun ke lantai bawah menuju dapur.

"Pagi Non, tumben ke dapur. Mau dibuatkan sesuatu, ya?" tanya Bi Ani begitu melihatku mendekat ke dapur.

"Nggak, Kevin cuma mau lihat Bi Ani masak. Apa aja boleh, yang penting Kevin dibiarin lihat," jawabku sambil mendekatinya.

"Oh, iya iya. Non Kevin duduk aja di sana," ucap Bu Ani sambil menunjuk kursi yang ada di sebelah pojokan meja dapur.

Aku tahu dalam pikiran Bi Ani ada banyak pertanyaan. Namun, ia tak berani bertanya lebih memilih memendam saja. Aku mengangguk sambil tersenyum. Kemudian berjalan menuju kursi yang ditunjuk Bi Ani dan duduk di atasnya. Tangan Bi Ani gesit mengupas dan memotong bahan-bahan. Aku sampai takjub melihatnya. Seperti chef profesional saja.

Sambil menunggu masakan siap, aku kembali merekap ulang semua persiapan yang telah ku lakukan. Tentang kepindahan pun aku sudah hampir selesai mengurusnya. SMA bintang yang kutuju bersedia menanggung beasiswa ku yang tersisa. Sisa tabungan juga sudah dipindahkan ke tabungan yang baru. Dan kabar baiknya, minggu kemarin aku mendapatkan transfer uang dari mama dan papa dengan jumlah yang lumayan. Lalu tabungan lama juga sudah ku blokir agar tak ada yang bisa melacak keberadaanku. Kurasa itu sudah lebih dari cukup untuk bekalku pergi.

Sarapan yang di buat Bu Ani telah siap tepat saat aku selesai mereka ulang semua rencana pelarian. Bi Ani meletakkan sepiring besar nasi goreng sosis di depanku yang sudah pindah ke meja makan. Kemudian beliau menyendokkan nasi goreng itu ke piring yang lebih kecil untuk ku makan. Saat beliau ingin pergi, aku menahan tangannya.

"Bibi makan juga ya, kita sarapan bareng," ujarku sambil mengulas senyum.

Ku tepuk-tepuk kursi di sebelahku dan mempersilakan Bi Ani duduk untuk ikut menyantap nasi goreng sosis. Ada rasa pilu di hatiku saat aku sadar kalau Bi Ani begitu menyayangiku melebihi kedua orang tuaku. Aku bahkan bisa membayangkan Bibi yang kecewa dan sedih saat tahu aku tidak ada lagi di rumah besar itu. Dan tidak akan pernah kembali.

***
Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LangkahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang