Arraz tersedak kecil karena terus-terusan tertawa. Tingkah Mamanya dan Jenny memang selalu mengundang tawa saat bersama. Memang karena Mamanya menginginkan anak perempuan sejak lama. Tapi apa daya, Tuhan sudah menyukupkannya dengan seorang putra saja, yaitu dirinya.Mamanya dan Jenny sudah akrab sejak lama. Orang tua Jenny juga sahabat dari orang tuanya. Jadi tak heran mereka sangat dekat. Bahkan Jenny memanggil mamanya dengan sebutan 'Mama' juga. Jenny sering pergi bersama mamanya. Karena mama Jenny sering sibuk dengan bisnisnya. Sedangkan Mama Mei hanyalah ibu rumah tangga.
"Arraz turun dulu deh, ambil minum. Kering tenggorokan gara-gara ketawa mulu." Arraz keluar dari kamar mamanya dan berjalan menuruni tangga. Hendak ke dapur.
Telinganya mendengar suara percakapan dari layar televisi di ruang keluarga. Seketika ia mengingat ada Milly di sana. Ia menepuk dahinya lalu berjalan cepat ke ruang keluarga. Ia melupakan kehadiran Milly. Sudah berapa lama ia meninggalkan tamu sekaligus temannya itu?
Arraz mendadak panik ketika tak mendapati siapapun di ruang televisi. Ia bergerak cepat melihat ke arah dapur, tidak ada siapa-siapa juga. Arraz mencoba memanggil Milly beberapa kali, namun juga tak ada jawaban. Satu pikiran terbesit dalam kepalanya. Milly telah pergi.
Arraz menghela napas, ia berjalan ke arah pintu utama. Tak lupa mengecek ponselnya yang tadi ada di saku celana. Tak ada pesan apapun dari Milly. Jadi gadis itu pergi tanpa pamit?
"Sialan." Desis Arraz pelan.
Ia menekan tombol hijau pada layar ponselnya. Menelepon Milly. Dan saat dering kedua ponsel, akhirnya sambungan terhubung.
"Lo di mana?" Tanya Arraz langsung.
"Di perjalanan, naik taksi online." Jawab dari seberang.
"Lo gak pamit." Nada bicara Arraz mulai kesal.
"Aku udah kirim pesan ke nomor Tante Mei." Jawab Milly masih dengan nada tenang.
"Oke, sekarang lo turun dari mobil. Kasih alamat ke gue lo di mana, biar gue jemput lo!" Ucap Arraz sedikit meninggi.
"Gak usah, Raz. Kan ada Jenny di rumahmu. Sebaiknya kamu nikmati momen sama Tante sama Jenny. Jarang-jarang kan?" Ucap Milly masih dengan nada bicara yang tenang.
"Gak, pokoknya lo turun. Atau gue bakal kejar lo sekarang. Gue udah di atas motor." Arraz bersikeras.
"Oke-oke." Akhirnya Milly memilih mengalah. "Aku share lokasinya."
Arraz memutuskan sambungan telepon dan menjalankan motornya setelah melihat lokasi yang dibagikan oleh Milly. Belum terlalu jauh juga dari rumahnya. Ia akan merasa berdosa kalau membiarkan gadis itu sedih sendiri.
___
Di tempat lain, Milly berdiri di pinggir jalan di depan sebuah toko. Ia melirik ke arah layar ponselnya. Berkali-kali ada pesan masuk, teror dan ancaman dari para fans Arraz untuknya. Ia sangat jengah dengan cacian dan hinaan yang sama sekali tidak berdasar. Ia hanya berteman dengan Arraz, tapi para fans Arraz selalu saja menyerangnya.
Milly memutuskan untuk menyimpan ponselnya ke dalam tas. Ia melihat sebuah tempat duduk dari semen dan memilih menunggu Arraz di situ. Memikirkan fans Arraz semakin menambah beban hidupnya. Padahal dia tahu bahwa dirinya benar-benar tidak memiliki hubungan khusus dengan Arraz. Dia masih memiliki status hubungan dengan Jerry. Dia orang yang setia. Ditambah lagi, dirinya memang tidak ada perasaan apapun terhadap Arraz. Dan Milly tahu bahwa Arraz sangat menyukai Jenny.
Milly mendengar deru motor berhenti di depannya. Ia mendongak untuk mengecek apakah itu Arraz, dan ternyata benar. Ia segera bangkit dan malas-malas menerima sodoran helm dari Arraz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Milikku [Telah Terbit]
RomanceTelah terbit di Gente Books! Novel Bukan Milikku dan Milik Kita terbit jadi 1 buku ya, Guys. Judulnya jadi Bukan Milikku (Milik Kita). Untuk info pemesanan bisa hubungi Author! 🧡 ___ Berawal dari sebuah hubungan yang toksik antara Milly dan Jerry...