8. Memori

16 6 9
                                    

Hari ini adalah hari Minggu, bukan berarti Thasya akan bermalas-malasan seharian penuh.

Hari ini, dia ingin membersihkan almari yang menyimpan banyak kenangan dengan ayahnya.

Butuh keberanian, dan mental yang kuat untuk Thasya membuka almari itu. Dan kini, kunci telah dia pegang.

Sedikit demi sedikit, kunci diputar dengan perlahan. Setelah berhasil membuka kunci sepenuhnya, Thasya membuka pintu itu dengan perlahan.

Pintu telah terbuka, barang-barang yang usang dan berdebu membuat Thasya bersin beberapa kali. Kenangan itu nyata, bukan hanya sebuah mimpi dan ilusi. Kini Thasya melihat kenangan itu, dengan mata kepalanya sendiri.

Tangannya mulai meraba dan memegang barang yang ada di dalam, setetes kristal meluncur bebas dari mata indah Thasya.

"Ayah," gumam gadis itu.

Dengan cekatan, Thasya mengambil kain lap dan mulai membersihkan dengan hati-hati.

Untuk mengusir kesedihannya, Thasya memutar musik dari ponselnya dengan volume yang kencang. Tidak akan ada yang terganggu, toh dia sedang di rumah sendirian.

Kadang Thasya merindukan kehangatan sebuah keluarga, mamanya yang dulu merawatnya, dan guyonan dari ayahnya. Namun, Thasya kini tidak memperdulikan hal itu.

Baginya, hidupnya sudah jauh lebih baik. Dari pada saat kepergian sang ayah dulu, masa di mana dirinya hancur dan terpuruk.

Thasya pun tidak ingin dirinya kembali pada masa itu, masa yang tidak bisa dijelaskan.

Setelah selesai membersihkan semua yang ada dalam almari itu, Thasya kembali menutup dan mengunci pintunya. Tapi ada satu yang tidak dia ikut masukkan kembali ke dalam, kalung dengan liontin bintang.

Di genggamannya kalung itu, sambil memejamkan mata. Teringat, bagaimana saat kalung itu diberikan. Tepat di ulang tahunnya yang ke sembilan tahun.

Memori itu masih terekam jelas di pikiran. "Gue mau pake kalung ini."

Dengan badan yang lelah, Thasya membaringkan tubuhnya. Tidak butuh waktu lama, kesadarannya telah hilang. Berlayar ke pulau kapuk.

****

Sebuah lorong putih bersih, terlihat panjang, dan tidak memiliki ujung. Langkah seorang gadis terus terpacu, maju. Dengan kepala yang menoleh ke sana ke mari, berharap melihat sesuatu yang jelas.

Setelah berjalan cukup jauh, terlihat sebuah taman yang terdapat berbagai jenis bunga yang warna-warni.

Di tengah-tengah taman, terdapat kursi yang diduduki oleh seorang pria yang membelakangi Thasya.

Karena penasaran, Thasya mendekati pria itu. Alangkah terkejutnya Thasya, saat melihat siapa orang yang duduk di bangku itu.

"Syela!" panggil pria itu.

Mata Thasya berkaca-kaca, ketika mendengar panggilan itu. Panggilan yang dulu diberikan oleh ayahnya.

"A--ayah!" Bibir Thasya bergetar, saat mengucapkan satu kata itu.

Dengan perasaan yang campur aduk, dan tidak percaya. Air matanya sudah berhamburan. 

Langkah kaki Thasya melebar, dia merentangkan tangan, dan berhambur dalam pelukan pria itu.

"Syela, kangen, Ayah!" ucap Thasya, ketika keduanya telah berpelukan.

Sudah lama keduanya tidak berpelukan seerat ini, setelah sekian lama, perpisahan yang mereka alami dengan paksa.

Hingga Thasya melupakan satu hal, ayahnya telah lama meninggal. Dia melupakan fakta itu. Larut dalam kerinduan yang dalam.

"Ayah juga," ucap pria itu.

Angin bertiup kencang. Seperti ditarik angin, keduanya dipaksa untuk melepas pelukan itu. Pelukan yang sarat akan kerinduan.

Jarak kembali terbentang. Semakin lama, tubuh ayahnya semakin menjauh dan mengecil, hingga hilang dari pandangan matanya. Perpisahan kembali terjadi, perpisahan kembali dirasakan oleh Thasya.

"Ayahh!"

*****

Pelajaran jam pertama hari ini adalah sejarah, pelajaran yang sebagian besar membuat siswa mengantuk.

Bu Saodah telah menjelaskan materi sejak satu jam yang lalu. Tapi, tidak seorang pun siswa yang berani menundukkan kepala. Semua terlihat senang, dan bersemangat mengikuti pelajaran yang dibawakan oleh Bu Saodah.

Cara mengajar yang asik, dan sengat energik. Membuat murid yang melihatnya juga bersemangat untuk mengikuti pelajaran sejarah itu.

"Pelajaran saya akhiri, pelajari kembali yang tadi, ya. Selamat pagi!" Bu Saodah membereskan buku yang ada di meja, meskipun buku itu tidak pernah dibuka selama mengajar. Tapi Bu Saodah masih tetap membawanya.

Saat Bu Saodah membuka pintu kelas, bertepatan dengan pak Niam yang juga membuka pintu itu.

"Eh, Pak Niam, sendirian aja nih," ucap bu Saodah dengan tersipu.

Sebagian siswa yang melihatnya terbahak geli, melihat tingkah guru sejarah mereka itu. Bukan rahasia umum lagi, Bu Saodah yang menyukai pak Niam.

Bahkan, mereka sering memberikan saran yang tidak masuk akan kepada bu Saodah, agar pak Niam menyukainya.

"Iya, Bu. Mau manggil Devita." Pak Niam tersenyum ramah kepada bu Saodah.

Bukan salah pak Niam yang tersenyum, tapi salah kan saja bu Saodah yang terlalu baper melihat senyum pak Niam.

"Ciee!" sorak anak satu kelas, menyoraki gurunya.

Dengan kepala menunduk, dan tangan meremas buku yang ada di genggamannya. Bu Saodah pamit pergi dengan wajah yang bersemu.

Pak Niam yang melihat hal itu, hanya geleng-geleng kepala. Ia hanya memaklumi hal itu, toh ia juga tidak mempermasalahkan.

"Devita! Ikut saya!" panggil pak Niam, dan berlalu keluar kelas.

Devita yang merasa namanya dipanggil, segera beranjak dari tempatnya, dan mengikuti pak Niam dari belakang.

Suara kelas semakin gaduh, banyak yang membuat lingkaran di mana-mana. Dari yang bergosip, main remi, bernyanyi, bahkan ada yang mencoba make up di kelas.

Thasya yang sedang melihat ponselnya, masih diam di bangku sendirian. Claudy sudah bercanda ria dengan Fikri, di bangku cowok itu.

Dia masih bingung, antara masuk ke grup yang direkomendasikan Rinda, atau tidak. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal itu.

Dengan memantapkan hati, Thasya memutuskan untuk bergabung. Tidak ada yang aneh, semua berbincang dengan ria di dalam grup itu.

083115786***
'Halloo new mem! Intro dong!"

Thasya merasa senang, kehadirannya disambut dengan baik. Dengan perlahan, Thasya mengetikkan sesuatu di ponselnya.

'Hallo, gue Thasya, semoga bisa kenal dengan baik'

Send✅

Setelah mengirim pesan itu, Thasya mematikan ponselnya, dan memutuskan menyusul Claudy yang berada di bangku Fikri.

Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya bermain monopoli yang dibawa oleh Fikri dari rumah.

"Lo beli di mana, Fik?" tanya Thasya, saat melihat monopoli yang Fikri dan Claudy mainkan.

"Ini punya adek gue, dari pada nganggur di rumah, mending gue bawa sekolah," ujar Fikri enteng, fokusnya masih tertuju pada permainan yang dia mainkan.

Seperti mengulang masa kecil, Thasya ikut bermain dengan mereka berdua. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Meskipun hanya permainan sederhana, tapi itu bisa membuat mereka tertawa, dan melupakan sejenak beban yang ada di pundak masing-masing.

Are You A Ghost? (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang