Nora melangkah tergesa-gesa keluar dari Taschen Store, toko buku tempatnya bekerja setahun terakhir ini. Sebenarnya shift-nya telah selesai setengah jam lalu, tapi tertahan karena Ibu Maureen butuh bantuannya. Seorang perempuan imigran paruh baya yang hidup seorang diri di Paris dan menjadi rekan kerja Nora di toko buku ini.
Musim panas tahun ini tampaknya tidak akan secerah tahun lalu. Sudah dua minggu berlalu sejak musim panas tiba, matahari lebih banyak bersembunyi dibalik langit kelabu. Bahkan nyaris setiap hari hujan mengguyur kota Paris. Seperti hari ini, matahari tak menampakkan diri lagi dan mendung menguasai langit kota.
Nora mengeluarkan payung biru dari goodie bag-nya lalu mempercepat langkah menyeberang jalan Rue de Buci menuju Rue Grégoire de Tours. Tepat di depan kafe Maison Sauvage, hujan tiba-tiba menggempurnya tanpa ampun. Nora mau tak mau harus berteduh di sisi luar kafe itu karena derasnya hujan tak mampu dilawan oleh payungnya. Nora mengibas-ngibaskan rambut ikal coklatnya yang basah. Derasnya hujan membuat beberapa pejalan kaki yang melintas juga ikut berteduh di sisi luar kafe itu.
Taschen Store dan Maison Sauvage berdiri saling berhadapan. Meskipun berdekatan, belum pernah sekali pun Nora singgah di tempat ini. Jangankan menikmati espreso atau croissant yang terkenal di Paris, Nora bahkan tidak menyadari bahwa kafe ini ternyata sangat indah dengan bunga Camelia merah muda dan Mirabilis berwarna merah cerah merekah manis merambat dari atas balkon dan menjuntai di atas pintu menyambut setiap tamu yang datang.
Mata hijau hazelnya mengamati sisi dalam kafe dari balik dinding kaca besar tak jauh dari tempatnya berteduh. Wajah-wajah asing duduk bercengkrama bersama dengan teman kerja, sahabat, atau mungkin pacar.
Nora tergerak untuk menjadi bagian dari orang-orang asing itu. Menikmati secangkir espreso dan sebuah croissant hangat sambil menunggu hujan reda. Ia melangkahkan kakinya melewati pintu dan rangkaian bunga di atasnya lalu duduk di sebuah kursi dekat jendela dengan pemandangan jalanan yang lengang.Seharusnya ia telah berada di trem, perjalanan pulang ke WG - tepatnya sebuah kamar murah yang ia tempati bersama seorang room mate dari Spanyol bernama Maria. Tapi, hujan mencegatnya. Mungkinkah ia akan membawa cerita lain dari kota Paris yang selama ini dijalaninya?
"Permisi, kursi ini kosong?"
Sebuah suara tiba-tiba menyadarkan Nora dari lamunannya. Perempuan berambut merah berdiri dengan memegang sebuah gelas di tangan.
"Boleh aku duduk di sini?"
Perempuan itu kembali bersuara berharap kursi di sisi kanan Nora masih tak bertuan. Sebuah senyum terukir di bibirnya yang tipis.
"Silakan, kursinya kosong, kok."
Lalu perempuan itu duduk kemudian meletakkan gelasnya di atas meja kaca yang dihiasi dua tangkai mawar merah dan putih.
"Halo, Aku Nora."
Tangan Nora terulur dan disambut oleh perempuan itu.
"Aku Lily."
"Nama yang indah, itu bunga favorit ibuku," seru Nora.
"Terima kasih, aku juga suka bunga itu," jawab Lily diikuti tawanya yang berderai renyah.
"Tau, nggak, tempatku bekerja di seberang jalan sana dan aku baru pertama kali di sini. Maksudku..."
"Taschen Store, serius? Aku selalu ke sana."
"Oh ya? Jangan-jangan kamu pelanggan terbaik yang dibicarakan bosku."
keduanya lalu tertawa.
"Kamu suka espreso?" tanya Lily sambil melihat cangkir putih di depan Nora.
"Ya, aku suka. Tapi, hanya akan kuminum bersama dengan croissant. Terlalu pahit jika diminum sendiri, cobalah." Terang Nora
"Aku lebih suka coklat panas apalagi saat hujan seperti ini, bahagiaku sesederhana itu." Jelas Lily
"Nora, sudah lama kamu tinggal di Paris?"
"Kurang lebih setahun."
"Sebelumnya kamu dimana?"
"Indonesia, Jogja. Pernah dengar?"
"Ayahku tinggal di Jakarta. Beliau bekerja di Kedutaan Prancis. Tahun lalu aku menghabiskan musim panas di Bali, Jakarta dan Makassar."
"Apakah ini sebuah kebetulan?"
Lagi, keduanya tertawa.
"Maksudku, kamu asli dari Indonesia, Nora? Mata hijau hazel sepertinya kurang lazim untuk orang Indonesia. Kecuali dengan softlens."
"Ha..ha..maksudmu aku menggunakan softlens? Ayahku Prancis dan Ibuku Indonesia-Jawa." Jelas Nora sambil menyeruput espresonya.
"Bagaimana denganmu, Lily?"
"Kedua orang tuaku Prancis, tapi ayahku menghabiskan waktunya lebih banyak di luar Paris. Sedangkan Ibuku meninggal saat usiaku 12 tahun."
"Aku turut bersedih..."
"Nggak apa-apa, itu sudah lama. Aku juga sudah terbiasa dengan sendiri."
Lily berusaha mengusir rasa canggung yang tiba-tiba menyerang mereka.
On me dit arrêtes, tu te fais du mal
Mais si j'ai mal à la tête c'est que tout m'ramène à toi
Et j'en ai marre de voir tes yeux quand je ferme les miens
On a pas pris d'retard, juste un autre cheminSuara Oscar Anton dan Clementine mengalun lembut membawakan lagu Nuits d'été memecahkan sepi yang menghinggapi percakapan mereka.
"Ah, aku suka lagu ini!" seru Lily sambil menggoyangkan badannya mengikuti irama musik.
Nora tersenyum melihat kelakuan perempuan yang baru dikenalnya itu. kurang dari setengah jam lalu mereka saling berjabat tangan dan mengenalkan diri namun seolah-olah telah kenal bertahun-tahun. Ia nyaman dekat perempuan itu.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris, Rain and Strangers
Художественная прозаTiga orang dipertemukan secara tidak sengaja oleh hujan di sebuah kafe yang dipenuhi mawar, camelia dan mirabilis. Croissant dan espreso mendekatkan mereka hingga mereka berjanji untuk bertemu di tempat itu setiap rabu sore. Namun, akankah hubungan...