Ruby tak pernah membayangkan akan berada di sini, duduk berhadapan muka dengan dua orang asing. Tampilan fisik yang berbeda karena latar belakang orang tuanya sebagai imigran membuatnya tak memiliki banyak teman di Paris. Terbiasa sendiri membuat keberaniannya mencelos tiap kali ingin menyapa orang yang baru ditemui hingga kebiasaan itu terbantahkan hari ini. Ruby pun tak habis pikir kenapa ia tergerak untuk mengikuti panggilan perempuan berambut merah itu, alih-alih mengabaikannya dan melanjutkan perjalanan. Tapi, entah bagaimana perkenalan itu juga menumbuhkan sebuah harapan dalam hatinya. Dua perempuan ini akan menjadi sahabat yang mengubah pandangannya terhadap orang asing meskipun hati kecilnya juga masih menyimpan kekhawatiran. Dentingan piano lagu Milonga del Angel mengalun lembut berpadu dengan bunyi hujan menciptakan nuansa makna yang ia terjemahkan sebagai sebuah kenyamanan.
Sebenarnya Ruby sedang ada janji dengan seorang juru dakwah di Grande Mosquée de Paris, masjid raya sekaligus tertua di sini. Hidup di tengah kota yang penuh gemerlap dunia membuat perjalanan spiritual memang lebih sulit. Melabuhkan suatu keyakinan, apalagi pada agama yang banyak dilabeli stigma negatif di Prancis membuat prosesnya lebih panjang hingga akhirnya memutuskan menjadi wanita muslimah sejak dua bulan lalu. Pergolakan batin dan pencarian kebenaran agama itu pulalah yang menjadi jalan pertemanannya dengan sosok perempuan berniqab, Aishah namanya. Kepadanyalah janji itu terpaut, menghadiri sebuah dialog keagamaan yang dipandu Aishah. Namun, rupanya Allah punya rencana lain hari ini. Ruby malah berada di tempat berbeda, di sebuah ruangan yang lebih terasa seperti ruang keluarga dengan sofa tua yang nyaman ditemani oleh dua perempuan bermata hijau dan biru, bersahabat, yang baru dikenalnya beberapa menit lalu.
Setiap orang yang kau temui mengajarimu sesuatu.
"Espreso atau coklat panas?" tanya pelayan yang berdiri di samping Lily.
"Macchiato dan croissant coklat," jawab Ruby lalu menyerahkan buku menu ke pelayan.
"Terima kasih," ujar pelayan kemudian meninggalkan tiga perempuan itu.
"Macchiato adalah pilihan yang tepat saat hujan," celetuk Nora. "Tapi, tadinya kupikir kamu akan memilih coklat panas."
Nora tersenyum ke arah Ruby lalu melirik gelas coklat di depan Lily yang terisi setengah.
"Aku penyuka macchiato, meskipun kini tidak sebanyak dulu aku meminumnya," jelas Ruby.
"Oh ya? Memangnya ada apa?" tanya Lily.
"Ada banyak yang berbeda sejak aku memakai kerudung ini."
"Begitulah hidup. Tak ada yang perlu disesali selama perubahan menjadi lebih baik. Iya, kan, Nora?"
"Benar, yang kulakukan hari ini pun berbeda dari biasanya. kemarin aku lebih memilih menantang hujan, hari ini malah berada di sini dan berbagi pembicaraan bersama kalian."
Nora tersenyum sambil melihat dua perempuan di depannya.
"Tapi, ada hal yang belum berubah dalam diriku sejak dulu, ini."
Lily menunjuk gelas coklatnya dengan gaya dibuat-buat kemudian tertawa.
"Aku yakin, pasti ada alasan tertentu bukan hanya karena rasanya."
Ruby menimpali kemudian tersenyum melihat tingkah lucu perempuan berambut merah itu.
"Yang pasti, coklat panas baik buat mood dan jantung."
"Sidecar lebih baik buat mood," tukas Nora.
"Tapi, minuman tradisional itu mana cocok saat hujan begini," jawab Lily ngotot sambil menunjuk jendela basah di samping mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris, Rain and Strangers
General FictionTiga orang dipertemukan secara tidak sengaja oleh hujan di sebuah kafe yang dipenuhi mawar, camelia dan mirabilis. Croissant dan espreso mendekatkan mereka hingga mereka berjanji untuk bertemu di tempat itu setiap rabu sore. Namun, akankah hubungan...