Dari teras rumah, Lius bisa melihat mamanya sedang berbincang hangat dengan seseorang di ruang tamu. Wajah yang layu dan kurus itu berusaha tersenyum tegar pada Mama. Lius cukup iba menatapnya. Cukup lama ia bertahan di posisinya, berusaha untuk tidak mengusik kedua orang itu. Namun, ketika sepasang mata sayu itu menatapnya, Lius tidak ada pilihan lain untuk masuk ke rumah.
"Eh, Lius. Kamu baru pulang sekolah?"
"Iya, Tante."
"Lius, sini. Kasih salam sama Tante Rosa," ujar mama.
Lius masuk, kemudian menyalami mama dan wanita paruh baya itu. "Udah lama, Tan?"
"Belum lama." Rosa menggenggam tangan Lius cukup lama sambil tersenyum pahit. "Kamu sudah besar sekali, ya. Ganteng lagi. Seandainya ...."
"Tante, saya pamit masuk ke kamar, ya." Lius melepaskan genggaman tangan Rosa dengan sopan.
"Oh, iya. Ganti baju kemudian jangan lupa kerjakan PR."
Lius mengangguk sambil tersenyum, kemudian melanjutkan langkah menuju kamarnya. Ia sempat menghentikan langkah ketika meninggalkan ruang tamu. Ia menoleh kembali untuk memperhatikan dua orang di sana. Percakapan mereka masih terdengar jelas olehnya.
"Lius itu anak yang baik, ya. Semoga dia bergaul sama teman-teman yang baik juga. Supaya dia nggak terjerumus."
"Iya, Lius memang anak yang baik. Dia sopan sama orang tua."
Lius berbalik dan melanjutkan langkah menuju kamarnya. Perlahan ia membuka daun pintu kamarnya, kemudian menutupnya dari dalam.
Ia berjalan menghampiri sebuah gitar yang body-nya sudah tidak utuh dengan senar-senar yang putus. Disentuhnya benda itu sekilas, kemudian meraih sebuah buku catatan yang terbuka pada halaman yang paling baru. Ada beberapa bait kalimat tulisan tangan beserta kunci-kunci nada di sana.
Lius membacanya dalam diam. Meresapi tiap-tiap baitnya dalam hening. Kemudian ingatannya berputar pada kejadian tiga tahun lalu.
Seorang cowok seusianya membuka pintu kamarnya tanpa aba-aba. Lius menemukan sepupunya—Rama—muncul dari balik pintu kamarnya dengan membawa gitar dan sebuah buku. Cowok itu masih berseragam lengkap putih biru. Tidak seperti dirinya yang sudah berganti pakaian sepulangnya dari sekolah beberapa saat lalu.
Tanpa menunggu dipersilakan, Rama sudah beranjak naik dan duduk di sisi ranjang. Lius tidak terkejut. Kedekatan mereka memang sesantai itu.
"Gue mau tunjukin sesuatu sama lo," Rama mengawali percakapan tanpa salam pembuka. Ia merebut paksa ponsel di genggaman Lius, kemudian menggantinya dengan buku yang dibawanya.
"Ah rese! Gue lagi main game. Dikit lagi menang!" kesal Lius. Ia berusaha merebut kembali ponselnya, namun Rama makin menjauhkannya.
"Ini jauh lebih penting dari game!"
Perkataan Rama sukses membuat Lius penasaran. Ia mengangkat buku di tangannya, kemudian membaca tulisan tangan Rama di sana, berupa bait-bait kalimat beserta kunci nadanya.
"Apaan, nih?" tanya Lius masih tak mengerti.
"Ini lagu ciptaan gue." Rama menjelaskan dengan wajah yang berseri.
Lius mencermati tiap bait lirik lagu di buku itu.
"Gue mau nembak dia pakai lagu ini," lanjut Rama penuh semangat.
"Sekarang?" Lius menatap Rama tak yakin. Namun Rama mengangguk kuat-kuat, hingga menyingkirkan keraguannya.
"Gue mau latihan sekali lagi. Lo dengerin, ya. Trus kasih pendapat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undercover
Teen FictionMendapatkan titah untuk menjadi asisten guru BK membuat Chesa terlibat dengan geng brandal pembuat onar. Namun, setelah mengenal Aksa dan teman-temannya lebih jauh, Chesa sadar mereka tidak seburuk yang dipikirkan. Meski masa lalu yang belum tuntas...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi