Day 4 : Your Hug

458 65 5
                                    

Rasa-rasanya Megumi ingin menangis.

Ia sudah melakukan apapun yang ia bisa dalam belajar, bimbingan, lomba, segala hal yang menguras suluruh tenaga untuk masuk ke universitas yang sama dengan sang kekasih. Namun semua gagal hanya karena kondisi tubuhnya yang telah dipaksa belajar tumbang di hari ujian.

Megumi sangat ingin menangis. Tapi ia tidak ingin menangis. Menengubur diri dalam selimut dan berpura-pura menjadi orang tidur sambil menghindari rasa sesal yang berapi-api.

Sampai akhirnya suara ketukan di pintu kamar terdengar. Megumi tahu siapa, namun enggan membuka.

"Megumi?" Ucapan orang itu begitu lembut, dan mata Megumi menjadi lebih panas ketika mengingat bahwa hanya untuk dirinya lah kelembutan itu ada. "Bisa buka pintunya, Megumi?"

"Tidak mau."

Fushiguro Megumi sangat ingin menangis. Tapi lebih dari menangis, ia sangat tidak ingin bertemu dengan orang itu— yang telah menyaksikan seluruh perjuangannya, yang menyokongnya dengan penuh kasih sayang, dan berdoa paling kuat untuk kebahagiaannya. Megumi tidak sanggup memberi kegagalan untuk orang itu.

"Megumi." Panggilan lagi, namun Megumi begitu lemah saat ini. Ia ingin mempersiapkan hati untuk meminta maaf. Ia ingin orang itu meninggalkannya sejenak untuk membereskan seluruh rasa putus asa. Namun tidak sekalipun Megumi mendengar suara langkah menjauh.

Orang itu tetap di sana. Di balik pintu, bahkan ketika senja bersinar, bahkan ketika cahaya bulan mulai menembus jendela kamar. Orang itu berdiri di balik pintu, menunggu kenop diputar dan Megumi menerima.

Maka Megumi membukakan pintu untuknya.

Ia menomor duakan rasa tidak pantas di bawah hasrat menatap manik rubi yang selalu menatapnya dengan lembut.

"Sukuna."

Yang disebut membuka lengan, meminta Megumi untuk masuk dan terjebak di pelukannya —maka Megumi terjebak.

Ia merasakan pemuda itu mengelus punggungnya sejenak, sebelum mengangkat Megumi di gendongannya. Membiarkan lengan Megumi melingkar di leher sementara kakinya melingkar di pinggul.

Megumi terisak.

"Kau sudah berusaha," Sukuna duduk di tepi tempat tidur dengan Megumi di atas pangkuan, memeluknya seperti bayi koala. "Megumi."

Tidak ada suara. Hanya isak dan belaian lembut Sukuna di surai malam yang tidak akan berhenti hingga isak itu hilang.

"Kemari, aku ingin menciummu."

Megumi mundur hingga tampak wajahnya yang berantakan dan memerah. Air matanya menetes kemana-mana dan membasahi kaos Sukuna. Rona merah dan sembab itu memancing kekehan kecil, Sukuna menangkup pipinya.

"Manisnya," ia berkata demikian sebelum memagut bibir Megumi. Memanggil semu yang berbeda dari tangis dan cengkraman kecil di tengkuk. "Kau sudah berjuang, tidak apa."

"Tapi aku gagal karena ceroboh."

"Ya," Sukuna tersenyum, "Makanya itu aku selalu bilang kau harus prioritaskan kesehatanmu, kan?"

"Maafkan aku..."

"Tidak, maafkan aku. Seharusnya aku lebih memperhatikanmu."

Demi garis-garis cahaya bulan yang menerangi wajah Sukuna, Megumi benar-benar bersyukur memiliki pemuda ini sebagai pengisi hatinya. Ia memeluk lagi, menenggelamkan wajah di leher Sukuna lagi, merasakan rengkuhan itu lagi.

END

Prompt Comfort
26 April 2021
SeaglassNst

The way we used toTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang