Day 6 : Safe And Sound

447 53 9
                                    

Pagi ternyata datang lebih cepat dari biasanya. Dingin yang selalu terhalang oleh pelukan hangat tangan Sukuna kala itu entah mengapa tidak terasa. Megumi kehilangan rasa nyaman yang selalu menjaganya aman dan membuka mata hanya untuk mendapati bagian futon yang kosong di sisi lainnya.

"Sukuna?" Yukata putih melekat apik di badan, menyatakan bahwa Sukuna telah membersihkan dan merawatnya setelah apa yang mereka lakukan kemarin malam. Terombang-ambing dalam gairah sambil melihat perak bulan musim panen di langit malam. Ia selalu merasakan sejuk itu tiap Sukuna ada. Tanpa takut, tanpa beban, tanpa hal yang harus dikhawatirkan. Hanya sebuah perasaan bahwa ia diinginkan sebagai dirinya, bukan sebagai apa yang ada di dalamnya.

"Sukuna?" Megumi memanggil, berkali-kali mengedar pandang, berkali-kali pula mendapati ruang kosong dan rasa sunyi karena Sukuna tidak ada di sana.

Ia bangkit berdiri. Langkahnya mendentingkan derit-derit lantai kayu sementara degup jantungnya mulai riuh ketika membayangkan Sukuna tidak akan ia temukan. Kesendirian membuat Megumi takut. Takut pada dunia dan takut pada dirinya. Hanya keberadaan Sukuna yang selalu meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Hanya belaiannya yang membuat detak Megumi melambat dan mengalun bahagia.

Namun kini rasa putus asa mulai mengepul di kepala ketika satu persatu ruang yang dibuka hanya berisi kekosongan selalu menjadi jawaban. Megumi cemas.

Sukuna tidak akan pernah pergi tanpa mengatakan apapun. Ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan Megumi yang terlelap— tanpa kecupan dan bisikan lembut. Sukuna selalu meyakinkan bahwa ia akan ada setiap Megumi memanggilnya. Tapi kemana dia sekarang?

Megumi takut kesepian. Ia takut sendirian. Ia takut Sukuna menghilang bersama hari-hari menyenangkan mereka. Tapi lebih dari apapun, Megumi tidak punya keberanian untuk membuka pintu itu dan melangkah ke luar rumah.

Ia hanya duduk di beranda, menekuk lutut dengan mata penuh cemas sembari menatap pintu dengan harapan akan ada suara kayu berderit ketika terbuka. Membayangkan Sukuna akan pulang dan berkata, "Kau lapar, Megumi?"

Megumi sangat merindukan suara itu memanggil namanya.

Satu menit, satu jam, lebih lama, ia menunggu dalam keheningan. Seperti boneka mati dengan bibir terkatup dan mata kosong, menanti-nanti sosok yang telah menjadi dunia baginya.

Perlahan cahaya di mata Megumi timbul ketika suara seorang pria terdengar dari luar. Hatinya begitu senang karena berpikir bahwa itu adalah Sukuna, namun kemudian Megumi terpaku tatkala suara itu menguat bersamaan puluhan langkah kaki.

Itu bukan Sukuna. Itu orang jahat yang akan melukai lagi hidup Megumi.

Megumi meninggalkan sepinya dan berlari. Sukuna selalu bilang padanya untuk menjauhi orang lain, jangan sampai terlihat, jangan sampai diketahui. Sukuna juga sering mengatakan Megumi harus bersembunyi jika seandainya ada orang selain dirinya yang datang ke rumah mereka. Megumi tahu itu dengan pasti. Karena dunia membencinya dan selalu ingin menyakitinya. Hanya Sukuna yang membagi senyum dan canda, mengajarkan Megumi cara tertawa dan bahagia.

Degup jantung Megumi berpacu. Ia berada di tempat yang sering Sukuna katakan sebagai tempat persembunyian terbaik.

Megumi percaya sepenuh hidup dan mati pada Sukuna, pada tempat yang mendapat jaminan aman dari Sukuna. Namun rasa takut masih mengendap dalam pikirannya. Ia ingin mendengar Sukuna berkata, "Semua akan baik-baik saja."

Hari ini ia bangun tanpa Sukuna dan kini ada banyak orang berada di sekeliling rumah mereka. Dalam hati ia memanggil-manggil nama itu, nama orang yang memberinya arti hidup setelah bertahun-tahun merasakan mati dalam hampa.

"Sukuna." Megumi berbisik pada dirinya sendiri. Mencoba tenang setiap mendengar nama itu dari suaranya sendiri. "Sukuna."

Berkali-kali ia berbisik menenangkan degup yang berderu, namun ketenangan itu tidak bertahan lama karena akhirnya pintu terbuka dan jantung Megumi hampir melompat keluar. Deru itu berhenti, seluruh napasnya seperti direbut dari paru-paru, ketika melihat orang-orang mulai menggeret Sukuna yang penuh darah ke atas futon yang tadi malam mereka tiduri bersama.

"Sukuna..." Mata Megumi memerah, bahkan bisikannya terlalu sendu untuk didengar. Ia mengunci mulut rapat-rapat dan berharap orang-orang itu segera pergi. Ia tidak mau melihat Sukuna terluka. Ia ingin pergi ke sana dan memeluk Sukuna.

"Dimana dia?" Seorang pria memulai dengan menendang tubuh Sukuna. "Beritahu dimana dia!"

Diam adalah jawaban, Sukuna tidak melakukan respon apapun selain napas yang bercampur aliran darah. Ia memilih menerima apapun yang membuatnya remuk daripada memberikan apa yang membuatnya bangkit. Mata yang merah menatap hampa langit-langit kamar ketika orang-orang masih memukulinya dengan tongkat kayu sambil meneriakkan pertanyaan yang sama.

"Dimana?!"

Air mata Megumi jatuh tanpa suara. Karena mata Sukuna melihatnya, bertemu dengan safirnya, di sepersekian detik sebelum menutup lemah. Meninggalkan cahaya di udara dan menguap bersama dengan jiwanya. Dia meninggalkan Megumi.

Sukuna terjatuh di atas futon yang kini bewarna merah dan Megumi tidak punya lagi alasan untuk bersembunyi di sana. Janjinya sudah hilang bersama dengan lenyapnya keberadaan Sukuna.

Orang-orang terlihat begitu bahagia ketika Megumi keluar dari tempatnya, bangkit, dan berjalan lunglah. Namun kesedihan ini hanya milik Megumi. Ketika ia mencapai tubuh Sukuna yang masih hangat dan penuh memar. Ketika ia menenggelamkannya di dalam dada. Ketika ia terisak dan meminta maaf pada seluruh yang tersisa dari mereka.

Megumi kehilangan apa yang selama ini menjaganya.

Dan mereka semua, yang merenggut satu-satunya milik Megumi, tidak layak mendapat maaf.

.
.
.
—Xx0xX—
.
.
.

Rumor beredar lebih cepat daripada aliran sungai di bawah jembatan yang menghubungkan lembah dan ladang gandum.

Berawal dari kalimat, "Kau sudah lihat berita?" Lalu mereka akan melanjutkan, "Pembantaian para prajurit di rumah kayu pinggir hutan."

"Oh, yang katanya dibunuh manusia setengah iblis?"

Berita itu hangat beberapa musim ini sebab seluruh prajurit kepercayaan Kaisar ditemukan kehilangan bagian-bagian tubuh mereka seakan digigit monster atau yang lebih jahat.

Untuk mengisi, orang-orang yang hanya mendengar akan mulai berani memelankan suara, "Hushhh..." kemudian, senyum mekar di bibir mereka seakan berbicara tentang candaan. "Jangan katakan itu. Dia masih Pangeran."

Akan ada tawa yang membalas sebelum beberapa orang dari meja arak sebelah datang untuk bergabung, "Karena itulah Kaisar masih mencarinya setelah bertahun-tahun menghilang."

"Ah iya," wajah mereka tampak setuju sebelum salah seorang menyangga. "Kenapa Pangeran dulu menghilang?"

Pasang-pasang mata melirik, seakan mereka tidak percaya ada orang yang tidak mengetahui tentang hal itu. Kasus yang begitu panjang, tanpa jejak, tanpa aduan, tanpa laporan. Seperti Pangeran ditelan oleh dunia itu sendiri.

Tidak ada yang berinisiatif menjawab pertanyaan itu, kecuali satu orang.

"Diculik," katanya sembari bangkit dari kursi seakan tidak lagi tertarik pada percakapan. "Pembantaian, penghukuman itu terjadi karena mereka membunuh penculiknya— penyelamatnya."

END

Prompt : Mind Break
28 April 2021
SeaglassNst

.
.
.


Note:
Ini kayaknya kurang pas dibuat Mind Break. Awalnya aku pingin buat lebih dark tapi ternyata Skfs emang cocok diuwu-uwu kan. Jadi yah sudahlah begini saja.
Btw buat yang ga paham, di sini ceritanya Megumi itu Pangeran titisan iblis terus dia diculik ama Sukuna. Tapi Sukuna terbunuh terus Gumi ngamok. Dih gaje banget ceritanya ya?
Ya sudahlah. Pokoknya itu.

Dan dengan ini, SeaglassNst mengakhiri buku ini.

Thanks you and see ya all. ~

The way we used to

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The way we used toTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang