Day 5 : Bintang Fajar

436 59 6
                                    

Dari radio itu mengalun sebuah lagu lawas. Klasik beriringan akustik dan gumaman seorang wanita. Sengaja diputar sebagai pengiring suara angin dini hari dan Megumi menikmatinya bersama secangkir kopi.

Lantai dua bangunan ini adalah atap terbuka. Tertutup butiran salju yang Megumi sapu mulai dari dua jam sebelumnya. Ia mempersiapkan alunan musik, setermos kopi manis, serta teleskop yang mengarah ke langit lepas.

Dari atas sana hamparan salju tampak luas bersama kabut dingin yang membekukan. Ada bentangan hutan pinus di sudut jalan, dibelah setapak bata yang sering dilalui mobilnya. Megumi membangun rumah ini karena dekat dengan langit, dekat dengan sang kasih. Ia menyukai balkon yang hangat maupun atap yang dingin. Ia menyukai teras rumah yang ditimbun enam inchi salju maupun ruang tamu dengan perapian beserta nyala api perapiannya.

Di setiap akhir pekan ia menyusuri jalan dengan mobil, membeli kebutuhan, lalu pulang ketika petang, memasak apapun yang diinginkan. Makan malam berdua di meja kayu dengan brendi atau anggur merah, daging panggang atau hanya sup kentang. Bercakap-cakap tentang sebuah buku atau pengalaman berburu, lalu menanti suasana hangat sebelum beralih ke tempat tidur dan bercinta.

Megumi menyukainya.

"Aku masih mengantuk."

Suara itu datang dari arah tangga. Seorang pemuda dengan mantel kulit coklat yang menguap sembari mengucek mata. Tatapan malas beredar mengeksplorasi seluruh penjuru atap sebelum berhenti pada manik biru Megumi. Memenjarakan.

"Kau sanggup sekali terjaga dari tengah malam demi melihat bintang," ucapnya, "Terlebih di hari seperti ini."

Perlahan langkah mendekat, ia duduk di sebelah Megumi. Menerima sodoran kopi yang mengepulkan uap panas lalu menyesap perlahan.

Diam-diam Megumi tersenyum. Ia menanti hari berganti, menanti Sukuna di sini, berteman malam dengan langit berbintang yang sukai, dan berusaha menutupnya bersama Sukuna untuk menyambut pagi.

Bait demi bait yang dilantunkan radio itu berganti menjadi hembusan napas Sukuna pada tangannya yang membeku. Megumi memperhatikan. Ketika cahaya fajar mulai membelah malam dan rambutnya yang merah berkilauan biru, emas, dan jingga. Raut kantuk yang terpahat di rupa rupawan serta figur tegapnya. Matanya. Yang setia tajam dan bewarna api, menatap tumpukan tebal salju putih.

Andai saja bait itu berhenti di sana dan Megumi bisa senantiasa menatapnya lebih lama. Merekam sosok Sukuna yang bermandikan cahaya fajar.

"Kau menatapku," ucap pemuda itu menegur. "Aku tampan sekali memangnya?"

Wajahnya menoleh, membakar langit musim dingin di manik Megumi dengan nyala crimson dari sepasang rubi yang indah. Membuat seringai miring sambil mengaitkan jari-jemari pada helai-helai lembut di balik telinga Megumi.

Megumi ingin terbakar di nyala itu. Ia ingin segala dingin bulan desember menghilang dan menyisakan mereka berdua. Mabuk dalam cinta bahkan sendirian tanpa dunia.

"Kau tidak mau menciumku, Sukuna?"

Megumi terkejut atas ucapannya sendiri namun Sukuna malah terkekeh. "Kau mau kucium?"

"Tidak kalau bibirmu beku."

"Aku baru minum kopi," candanya sebelum meraup bibir Megumi. Menghantarkan rasa manis sekaligus pahit, membagi dingin udara pagi, lalu tersenyum di sela-sela kecupan sebelum kembali menyesap pujian.

"Rasa kopi juga." Dengan wajahnya yang dekat, Sukuna berkata. Hidung mereka bersentuhan, pun dahi yang ditutup helai-helai lembab. "Kau dingin?"

"Tidak." Ketika jarak terjadi, Megumi mencoba puas dengan membiarkan Sukuna mendekat hingga bahu mereka melekat. Ia kembali melihat teleskop. Meninggalkan Sukuna yang tidak memiliki ketertarikan pada apapun benda langit di atas sana selain cahaya matahari terbit.

"Bukannya aneh kalau mencari bintang di waktu fajar?" Setelah tegukan, Sukuna membuka suara.

"Tidak, karena aku ingin lihat bintang fajar."

"Memang ada yang seperti itu?"

"Sebenarnya bukan bintang," ucap Megumi, "Venus." Ada gumaman tertarik-tak tertarik dari pemuda bersurai sakura. "Aku sudah melihat yang lain semalam."

"Aku akan kerepotan kalau kau sakit, Megumi." Helaan napas yang Sukuna buat tidak main-main. Ia benar-benar seperti pria kelelahan sebab sifat nakal kekasihnya yang gila astronomi. Tapi ia tidak memiliki keinginan untuk mencegah Megumi melakukan apa yang ia sukai karena itu adalah alasan mereka tinggal di sini.

"Kenapa tidak lihat dari dalam?"

Megumi tidak akan mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan itu adalah sesederhana ia ingin menikmati matahari terbit di minggu pagi bersama Sukuna. Dengan seluruh titik-titik salju yang perlahan turun, dan tangan mereka yang sesekali bergenggaman dengan dalih saling menghangatkan. Ciuman manis pengawal hari, atau pujian Sukuna yang terkadang membuat geli. Ia tidak akan mengatakannya.

"Bosan." Hanya itu yang Megumi ucapkan.

"Bosan denganku?"

Ada lirikan terganggu atas candaan itu, namun Megumi memilih menjawab, "Kau mendengkur aku tidak fokus."

"Mana ada? Kau mengada-ada."

"Kau tidak tau, kau kan tidur."

Sukuna gemas.

Tiba-tiba ia menarik Megumi untuk terjatuh ke pangkuannya. Memeluknya dari belakang serta mengabaikan segala dingin yang melekat pada mantel biru muda si surai gelap.

"Sukuna, sesak."

"Sejak kapan Megumi-ku ini pandai berbohong?" Ia tidak berniat melepaskan. Mengabaikan teleskop yang hampir saja terjatuh karena gerakan Megumi, Sukuna lebih memilih membuat kekasihnya merasa nyaman duduk di sana. Merasakan rengkuhannya. "Pokoknya, aku akan marah kalau besok kau demam, oke?"

Tidak ada jawaban. Megumi sibuk mengurus wajah datarnya yang dipaksa menghalau rona merah hingga telinga. Angin dingin perlahan hilang berganti tautan tangan Sukuna di jarinya, dengus-dengus lembut di area leher, serta kaki mereka yang bersentuhan.

Megumi melupakan alunan radio dan mulai mendengar degup jantungnya sendiri. "Aku tidak bisa melihat bintangnya kalau seperti ini."

"Putar balik," Sukuna melakukan hal merepotkan lagi dengan membuat tubuh Megumi kini terpangku menghadapnya.

"Apa?" Ada nada protes, "Teleskopku di sana, Sukuna."

"Venus itu dan aku, siapa yang lebih indah?"

"Huh?"

Kekehan kecil meluncur dari bibir tipis Sukuna. Gigi-giginya yang rapih tampak, mengintip seakan ingin tertawa lepas namun enggan karena orang di hadapannya begitu membuat gemas.

"Megumi, kau pikir aku tidak tahu kalau untuk melihat bintang fajar di pagi hari tidak perlu teleskop." Bahu Megumi sedikit berjengat, bukan karena kaget melainkan karena tangan Sukuna secara ajaib mulai merapatkan tubuh mereka. "Jadi ayo mengaku, sebenarnya kau ingin melihatku, kan?"

"Tidak."

"Jangan malu-malu. Kau manis sekali.." Tawa Sukuna begitu lembut. Lembut hingga sepasang manik fajar itu tenggelam di balik kelopaknya. "Kau tidak ingin menciumku, Megumi?"

Pertanyaan itu adalah salah satu rayuan menggelikan Sukuna yang kerap kali membuat perut Megumi tergelitik. Ia begitu gugup mengambil langkah di tiap kali keadaan mendukung, namun pagi ini Sukuna begitu indah. Dengan helai rambutnya yang senantiasa membias cahaya fajar dan kurva bibirnya menarik Megumi untuk menyerah.

Dengan lengan melingkar di pundak, Megumi mendekatkan wajah. Pertemuan singkat, yang berlanjut lebih lama antara bibirnya dan bibir Sukuna berasa seperti kopi di bulan desember dengan manis dan pahitnya. Membuat Megumi kalap dan memilih menepis enggan untuk memeluk Sukuna lebih dalam. Tidak begitu lama. Tidak perlu begitu lama. Hanya hingga fajar meminta, atau hingga gulita sirna.

END

Prompt Free Day
Music : Afterglow by Ed Sheeran
27 April 2021
SeaglassNst


The way we used toTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang