Rumah Baru

3.6K 404 0
                                    

Hai semua, Apa kabar???
Ini book pertama aku yang udah lama di arsip, so bakalan ada sedikit revisi di setiap chapter.



Hecan mengangkat dua kotak besar ditangannya, terlihat wajah yang memerah karena harus menahan beban yang cukup berat. Setelah menaruh dua kotak tersebut, ia bernafas lega.

"Lebay, padahal cuman angkat kotak gitu doang," Si bungsu meledek kakaknya.

"Gitu doang katamu?! Heh mbak kasih tahu ya, ini juga barangmu, dasar bocah nakal!"

Sedari pagi keluarga ini memang sibuk memindahkan barang ke rumah baru mereka. Maklum saja bunda Yuna yang telah berhasil membuka cabang ketiga butiknya kembali membeli rumah dengan alasan dekat dengan sekolah para anaknya. Ucapkan terimakasih pada bunda Yuna, sebab Hecan tak kan merengut jika dibangunkan lebih pagi karna sekarang sekolahnya benar-benar sudah dekat dari rumah.

"Kalau gak ikhlas tuh ngomong dong, keluarin lagi barang Nana biar Nana sendiri yang angkat!" Memang ya bungsu bunda ini takkan menyerah sebelum menang.

"Naaa, Mbakkk," panggil si sulung.

Sudahlah dibandingkan berdebat dengan Nana yang tak ada habisnya, Hecan langsung menghampiri Ri yang baru saja memanggilnya.

"Mbak, mbak, mbak kok Nana ditinggal sih? MBAK!"

"JANGAN TERIAK NA!"

Peraturan nomer satu, tidak ada yang boleh berteriak di dalam rumah. Ini peraturan yang sudah diajarkan sejak mereka kecil, bunda Yuna sengaja membuatnya mengajarkan sopan santun yang bagus kepada tiga anak perempuan, walaupun kadang ada saja yang lupa.

Nana mencebikkan bibirnya, "Kak Ri, mbak nyebelin banget.." adu nya.

Kak Ri adalah penguasa rumah kedua setelah bunda, karna bunda jarang pulang dan lebih banyak menghabiskan waktu di butik jadi beberapa tanggung jawab rumah Kak Ri lah yang mengurusnya.

"Udah jangan berantem, barang sisa apalagi mbak? Sepeda udah belum?" Tanyanya.

"Baru sepeda kak Ri sama punyaku, punyanya Nana belum datang," jawab mbak Hecan.

"Siang siang gini enak nya minum es campur.." ntah apa konteksnya tiba-tiba si bungsu berujar sambil memegang tenggorokan bak orang kehausan.

"Es terus.. nanti diomelin bunda tahu rasa kamu,"

"Eumm kalau bunda gak tahu ya kita gak akan diomelin sih," oh rupanya si tengah juga ikut mendukung si bungsu.

"Kita juga udah mam nasi tadi,"

Es campur memang menggoda tapi masa hanya karna es campur dia harus bohong ke bunda. Matanya bertatapan dengan mata binar adik-adiknya, giliran seperti ini saja baru akur.

"Telpon bunda deh, kak Ri gak mau bohong," kak Ri langsung mendial nomer bunda mereka.

Hecan dan Nana bertatapan, apakah mereka akan gagal minum es campur?

"Halo, bunda?"

"Halo sayang, ada apa telpon bunda, nak?" Tanya Yuna diseberang sana.

"Kita udah selesai beres-beresnya Bun, ada yang mau diomongin Nana nih," mata Nana membulat, kok jadi dia sih."

Kenapa sayang? Kok gak langsung telfon bunda, kenapa malah minta kak Ri yang ngomong?"

Kak Ri menyodorkan telpon nya, dengan takut takut Nana pun akhirnya berbicara.

"Mau es campur.. tadi Nana liat ada yang jual disini," cicitnya.

"Bunda gak denger kalau Nana bicara nya sepelan itu sayang,"

"Mau es campur bundaaa,"

"Udah pada makan nasi memangnya?"

"Udah! Tadi mam ayam goreng terus Nana ambil ayamnya dua, hehehe,"

"Pintarnya, yaudah bunda izinin beli es nya, jangan sering-sering ya sayang. Terus nanti kesana nya naik apa? Sepeda kalian sudah sampai atau belum?"

"Sepeda kak Ri sama mbak Hecan udah sampai, tinggal punya Nana doang, Bun,"

"Yasudah hati-hati ya, jangan kencang kencang bawa sepedanya. Love you kak Ri, mbak Hecan, Nana,"

Setelahnya Yuna mematikan panggilan tersebut.

"Es campur, aku datanggg," Hecan berseru gembira.

"Nana juga datanggg," serunya.

Kak Ri tersenyum simpul melihat keduanya. Ketiganya berjalan ke luar rumah dan mulai mengayuh sepeda mereka ke tempat yang didambakan.

~

"Enyaaak,"

"Lebay," mbak Hecan memutar kedua bola matanya, meledek Nana.

"Apasih, rusuh deh," Nana ikut memutar kedua bola matanya.

"Kamu lebay, mbak gak suka," Hecan membalas dengan santai.

Kalau di rumah sudah kak Ri pastikan akan ada perang dunia ketiga.

"Abis deh, eh Nana mau keliling komplek, jangan pulang dulu," pintanya.

"Kamu aja sana, mbak capek. Kamu enak tinggal duduk, berat tau," protes Hecan. Sepeda Nana kan memang belum sampai jadi terpaksa Hecan yang membonceng si bungsu. Kak Ri? Yang ada keduanya gak selamat sampai ke tukang es campur.

"Hngg, mbak.. kak.." rengek Nana.

"Tanya mbak, kan yang capek bonceng kamu dia bukan kak Ri,"

Nana menatap Hecan persis dengan tatapan yang ia berikan ke Ri tadi, siapapun pasti luluh termasuk-

"Oke, fine." Hecan melirik Nana malas. Kak Ri tertawa, Hecan sebenernya sangat sayang pada adiknya itu cuman kalau Nana gak teriak kaya ada yang kurang aja rasanya.

Ketiga mulai berkeliling mengenakan sepeda masingmasing kecuali Nana yang duduk anteng di boncengan mbak kesayangannya.

"Ngebut dong!"

"Ini ngebut!"

Ri yang berada di belakang mereka punya firasat buruk ketika melihat sepeda Hecan melaju cukup kencang. Sebal sekali rasanya, ingin menarik keduanya yang malah terlihat bercanda di jalanan.

Bruk

Panik, Ri langsung turun dari sepedanya dan berlari ke arah adiknya yang baru saja terserempet mobil. Iya mobil.

"Ya ampun.. ada yang luka? Mau ke rumah sakit? Maafin suami saya dia gak sengaja."

"Dek, kalian mau ke rumah sakit aja?"

Pasangan itu menatap Nana dan Hecan dengan rasa bersalah.

SrikandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang