Oleh: Sudirwan Naigeso
Kala sepi rintik hujan menaungi petang
Menghunuskan dinginnya desis angin pada hati yang bimbang
Menjalah kaki dengan jerat-jarat genangan
Sebab cita-cita hanya mejadi kenanganSiapa sangka pilu menggelut di awal perjuangan
Mimpi buruk hadir sebagai ketakutan
Mengusik jiwa yang tenang menjadi gelisah
Dihantui bisingnya ajakan untuk menyerahSetelah gagal Rahwana datang dengan topeng duka
Seolah-olah mereka yang paling terluka
Sedang aku adalah orang yang paling dipersalahkan
Dan diperolok-olokan oleh kegagalanKemana kalian dikala aku bergelut dengan lapar?
Bercengkrama degan realita yang sukar?
Kenapa gagalku kalian anggap sampah?
Hah, realita memang selalu salah arahLagi-lagi aku terpuruk dibuat terpuruk oleh hinaan
Ingin bangkit namun dihatui lagi oleh kegagalan
Bagai elang yang takut pada ketinggian
Tak percaya lagi pada sayap yang selalu ia kepakanDi antara cita-cita yang bernaung dalam harap
Semuanya berangsur lenyap
Karena diri yang tak lagi percaya pada intuisi
Semua berlalu tak bisa dipungkiriNamun mash terngiang suara lembut yang menyapa telinga
Motivasi yang membungkam duka dan nestapa
Suara ibu yang mengajak bangkit
Seketika aku percaya suksesku pasti kudapatRaguku seketika kusenyap
Kubiarkan ia terlelap
Sebab kutahu bunga tak mekar secara bersamaan
Raguku akan kuganti dengan kesuksesanKugenggam erat ucapan bunda kala itu
Yang berhembus menyapa lembut pada kalbu
Sebab kutahu, doanya tak mungkin berkhianat
Dan karena lisannyalah aku selamatAmbon, 5 Desember 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puisi
Poetrypuisi adalah caraku bercerita tentang indahnya kehidupan, ketika ku maknai dengan syukur. "Jejak17."