SATU

55 7 4
                                    

Bulan purnama, Sammy senang menatap bulan sambil menikmati angin malam di halaman rumah. Tetapi malam ini ia terpaksa menatap bulan dari balik jendela ruangan yang terpaksa ia tempati.

Sang ibu menghukumnya karena terlambat pulang sementara tugas memindahkan sayuran untuk dijual esok hari terpaksa diambil alih oleh saudaranya. Bukan bukan perkara besar namun sayang, hanya Sammy yang selalu mendapatkan hukuman meskipun kesalahan yang ia lakukan bukan hal yang fatal.

"Semoga Dante tidak jadi datang," gumamnya. Kini Sammy mendudukkan diri pada lantai kayu, bersandar pada dinding gudang tempat ia dikurung. Malam ini Sammy berencana pergi ke alun-alun bersama Dante, di sana sedang ada festival untuk merayakan panen besar di kota Naori. Sammy tidak ingin Dante dimarahi ibunya seperti beberapa waktu yang lalu.

Ia kembali menatap bulan yang masih bersinar terang sebelum kemudian mendesis ketika merasa panas secara tiba-tiba di bahu kirinya. Sammy menyentuh bekas luka yang ia dapatkan saat masih kecil.

"kenapa tiba-tiba terasa panas? Apa di gigit serangga?"

Sammy sedikit menyingkap kerah pakaian yang ia kenakan untuk memastikan apakah ada serangga yang menggigitnya atau tidak, penerangan yang ia dapatkan hanya dari celah ventilasi serta dari cahaya bulan. Namun, betapa terkejutnya Sammy ketika mendapati sebuah gambar seperti tato yang tiba-tiba muncul di bahunya.

Rasa panas itu semakin menjadi ketika ia menyentuh tanda tersebut, seperti terbakar dan disayat disaat yang bersamaan. Sammy kembali mendesis ketika rasa sakit itu terasa lebih parah. Peluh bahkan sudah membasahi tubuhnya, ia berusaha untuk tidak berteriak dan menahan rasa sakit tersebut hingga saat kesadarannya semakin menipis, Sammy seperti melihat cahaya berwarna kebiruan menembus kaca jendela. Cahaya tersebut menyorot kearahnya, kemudian gelap menyelimutinya bahkan rasa sakit dan panas itu hilang begitu saja.

***

Brak!

"Sam, bangun! Bantu kami mengangkut sayuran untuk dijual!"

Suara seorang wanita samar-samar terdengar, seolah menarik Sammy dari kegelapan. Ia terbangun dan mendapati wajah murka ibunya. Pagi hari yang buruk.

"Hei pemalas, cepat bangun dan bantu kami!" ibunya kembali berucap, kali ini sambil menarik lengan Sammy agar anak itu lekas bangkit dari posisinya.

"Iya, Bu. Aku sudah bangun," ucap Sammy setengah mengantuk. Ia terpaksa bangkit dan mengikuti langkah sang ibu yang membawa mereka ke halaman belakang. Di sana sudah ada ayah dan kakaknya yang sedang memindahkan peti-peti serta beberapa karung berisi sayuran hasil panen di ladang kemarin.

"Tidur di gudang apa sangat nyenyak sampai kau terlambat untuk bangun?" Itu suara kakaknya, pemuda yang hanya satu tahun lebih tua dari Sammy.

"Maaf, apa masih ada yang bisa kubantu?" Sammy menatap sang ayah, merasa tak enak karena tidak bangun lebih awal seperti biasanya.

"Sudah, tak apa. Nanti kau bisa ikut Ayah ke pasar untuk menjual sayur-sayur ini. Sekarang cuci wajahmu terlebih dahulu," ucap sang ayah penuh perhatian. Sammy bersyukur meski kakak dan ibunya kasar, sang ayah selalu berlaku lembut padanya.

"Baik, aku tidak akan lama."

"Kau ini selalu membelanya, lihat saja suatu saat dia akan menjadi semakin sulit diatur," ucap Yuasa—ibu Sammy—menatap kesal pada suaminya.

"Bagaimanapun dia adalah putra kita, dia tidak sepantasnya diperlakukan kasar."

"Ayah memang selalu memenangkan anak itu, lihat ini! Aku sampai harus mengangkat peti dan karung sayuran. Badanku bisa sakit jika begini terus." Halei—kakak Sammy—bersungut-sungut. Wajahnya nampak kesal karena harus bekerja di pagi hari seperti ini.

MOONLIGHT || THE ROSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang