"Selamat pagi, wahai bidadari tercantik selangit ketujuh ...."
"Selamat pagi juga wahai dakjal terjelek seneraka terdalam."
Pagi-pagi sudah disuguhi komedi romantis, walau sudah terbiasa, para mahasiswa tetap tertawa geli mendengar balasan yang selalu sengit dari Empressa Ratulangit untuk si playboy cap telur mata sapi, William Leandro.
Walaupun Empressa menyebut William sebagai dakjal jelek, sesungguhnya wajah William sangat jauh dari kata jelek. Jelas! Kalau dia jelek, bagaimana bisa dia menjadi playboy penakluk cewek di segala jurusan segala angkatan?
Jangan salah. William tidak sedang berusaha merayu apalagi menaklukkan Empressa. Salam seperti itu memang sudah menjadi ritual mereka setiap bertemu. Persahabatan mereka sudah sampai tahap saling menghina. Seakrab itu.
Usai tertawa geli mendengar balasan Empressa, William santai saja mengalungkan lengan ke bahu cewek yang lebih pendek darinya itu.
"Gimana? Berhasil dapetin Devi?"
William mengangkat bahu sekilas. "Gak. Itu cewek belakangan makin aneh. Wajah makin kusam, aura makin suram, bikin seram."
"Berirama."
"Dih, seriusan."
"Yang bener? Bukannya makin glow-up? Dua minggu lalu aku berpapasan sama dia di kantin, aroma parfumnya mewah gila! Mana wajahnya jadi kinclong gitu, flawless kalo kata majalah fashion."
"Nah, itu dia yang bikin gue ngerasa aneh. Jelas-jelas dia lagi cakep maksimal ye kan, tetiba aja jadi ... gimana ya, rasanya ada yang aneh aja gitu, terutama seminggu belakangan ini."
"Hmmmmmm ... kok bisa?"
"Mana gue tau, dih!"
Ekor mata melirik tajam, Empressa memasang ekspresi datar sebelum berucap dengan nada sebal, "Bisa gak sih kamu tuh gak pake 'dih-dih' kalo bicara sama aku?"
Wajah William seketika bersinar, senyum lebar menambah pesona wajah rupawan. "Gak!"
Justru karena William tahu kalau Empressa sangat tidak suka mendengar kata itu makanya William sengaja memakai kata itu.
"Gak ada obat!"
William dan Empressa boleh saja menganggap keadaan Devi sebagai angin lalu, tetapi tidak bagi sebagian besar warga kampus. Terutama para cewek.
Seperti halnya William dan Empressa, mereka juga membicarakan keadaan Devi. Bedanya, pembicaraan mereka tentu sudah diberi penyedap rasa.
"Susuknya lepas kali!" dugaan tanpa dasar yang segera disambut gelak tawa.
Empressa melempar lirikan dingin sekilas ke arah kelompok cewek centil bermake-up tebal.
Heran. Apa mereka tidak sadar sudah menconteng arang di muka sendiri? Jelas-jelas mereka tahu mereka ada di kampus, tempat untuk belajar, otak malah ditinggalkan di tempat sampah. Di kampus cuma buat mencari cowok kaya. Hanya setingkat lebih terhormat dibanding pelacur.
Sangat tahu apa yang sedang dipikirkan Empressa, William tersenyum samar. "Masa muda hanya datang sekali, nikmatilah selagi masih muda. Pacaran gih!"
Empressa memutar bola mata, menarik bibir hingga membentuk garis datar. "Tidak semua orang seperti kamu!" Tangan di bahu ditepis, Empressa berjalan anggun menuju ruang kelas.
"Ressa, jangan lupa pinjemin tugas lu!"
Jawaban Empressa berupa acungan jari tengah yang membuat William terkekeh.
Inilah sebabnya dia nyaman bersama Empressa. Di saat sebagian besar cewek berlomba-lomba menarik perhatian kaum cowok, Empressa malah terlihat tak suka didekati cowok, padahal wajahnya juga lumayan walau tidak bisa disebut luar biasa.
Kecantikan yang dimiliki Empressa terhitung unik. Meski tanpa riasan glamor, ekspresi juga tidak banyak berubah, akan tetapi, semakin lama dipandangi, wajah Empressa akan semakin terlihat menawan. Sepasang mata hitam yang berkilau itu seperti pusaran hitam yang mampu menyedot jiwa-jiwa manusia yang berlama-lama menatapnya.
Bersedekap menatap punggung yang perlahan menghilang di antara mahasiswa yang mulai memadati kampus, mata William baru beralih setelah pundaknya ditepuk pelan.
"Orangnya uda pergi, masih aja dipandangi."
Tara Swadiya, salah satu dari sekian banyak teman yang dimiliki William, sesama playboy di kampus.
"Emangnya ada bacaan dilarang mandang?"
"Ya ... gak sih, cuman heran aja. Napa kalian gak pacaran aja?"
"Pfft! Gak usah aneh-aneh deh."
"Aneh gimana? Bukannya lu suka sama Ressa?"
William mengangkat bahu. "Iya, gue suka ama Ressa, tapi gak lebih dari rasa suka sebagai teman. Buat pacaran, sama sekali gak kebayang."
"Yang bener?"
"Serius. Gue juga heran sebenarnya. Gue tuh seneng kalo liat dia, apalagi kalo dia cemberut. Tapi ya itu, hanya sebatas itu."
Sama sekali bukan omong kosong. William benar-benar tidak bisa membayangkan dirinya berpacaran dengan Empressa.
Pernah sekali waktu dia mencoba membayangkan bagaimana jadinya kalau hubungan mereka lebih dari teman. Baru membayangkan sampai saling berpegangan tangan saja, ugh ... William sudah merinding sendiri, sangat tidak nyaman dengan gambaran mereka saling bermesraan.
Sedikit banyak, walau tidak mengerti kenapa, Tara sepertinya memahami maksud William. Sekian lama mengamati interaksi antara William dan Empressa, pesona kecantikan sederhana yang dimiliki Empressa juga berpengaruh padanya. Dan sama seperti William, sekalipun suka, Tara tidak memiliki keberanian untuk mendekat.
Ini saja dia harus menunggu sampai Empressa menjauh baru berani menyapa William.
"Eniwei, gara-gara lu mau mendekati Devi, gue terpaksa pacaran sama Melly. Sekarang gue pusing mikirin cara mutusin dia."
"Halah! Gak usah bilang gara-gara gue. Elu aja yang emang gak bisa nolak cewek!"
Memasang wajah polos, Tara pura-pura tak memahami ucapan William.
"Uda lu makan berapa kali?"
"Baru---" sibuk menghitung dengan jari tangan, "sekitar sepuluh kali?"
"Ada rekamannya?"
"Ada dong!"
Keduanya tertawa penuh arti sebelum berjalan tergesa menuju toilet. Beberapa mahasiswa yang sudah hafal dengan tabiat mereka segera berlari menyusul, tak ingin ketinggalan tontonan menarik.
------
KAMU SEDANG MEMBACA
PELAKOR MUST DIE!!!
FantasíaIpen Akulturasi April PseuCom 2021 Perseteruan antara sesama wanita hingga harus menggunakan cara yang tidak biasa. Kala teluh bertindak, siapa yang paling merana? Warning : Mengandung unsur dewasa. Adegan 21+++