Untitled Story Part 6

150 7 0
                                    

Pulang dalam keadaan mabuk, begitu tiba di rumah, Tara menghempaskan tubuh beratnya ke sofa di ruang tamu.

Kepala semakin berat, Tara malas untuk beranjak ke kamar. Memejamkan mata, adegan yang terjadi di kampus kembali terbayang. Sesungguhnya, Tara bukanlah penyuka hal-hal menjijikkan seperti itu. Hari ini, entah kenapa, pikiran itu melintas begitu saja dalam pikirannya. Bukan hanya melintas, sekarang bahkan membuatnya ketagihan. Terutama ketika mengingat kembali tatapan nyalang dari sepasang mata Melly yang membara penuh dendam, membuatnya menyunggingkan senyum miring tanpa sadar.

"Ngapan Kakak senyum-senyum gak jelas gitu?" Latan, adik Tara yang masih SMA berdiri menjulang, menatap aneh padanya. Tangan dikibas-kibaskan, mengusir bau alkohol yang menguar dari tubuh Tara.

"Bocil gak usah banyak tanya. Mama mana?"

Latan mengangkat bahu, membuat ekspresi tidak acuh, "Gak tau. Katanya sih ada acara reunian."

Memijat pelipis yang tiba-tiba berdenyut luar biasa, Tara mengembuskan napas kuat-kuat.

Ibu yang selalu keluar rumah, ayah yang jarang pulang. Keluarga macam apa ini?

Melirik jam mahal yang menempel di dinding, dahi Latan mengerut. Sudah pukul sepuluh, kenapa mama masih belum pulang? Tadi katanya paling lambat pukul sembilan sudah akan tiba di rumah.

------

Pukul sepuluh malam. Padahal masih ingin lebih lama bernostalgia dengan teman-teman SMA, bunyi telepon membuat Yuni teringat dengan janjinya untuk pulang awal.

"Aku duluan, ya. Kalau ngumpul lagi, jangan lupa hubungi aku."

Tersenyum manis sambil berpamitan pada teman-teman yang melambai sambil mengucap hati-hati di jalan, Yuni melirik resah ponselnya. Sepuluh panggilan tak terjawab, semuanya dari pemanggil yang sama. Latan. Anak bungsunya.

"Halo? Latan? Sorry, mama lupa waktu. Iya, ini mama segera pulang." Buru-buru menelpon kembali, dalam hati Yuni merasa sedikit bersalah pada anak-anaknya.

Apa boleh buat. Yuni menikah di usia yang terhitung masih sangat muda, belum sempat menikmati masa muda sudah harus mengurus anak. Sekarang anaknya sudah lajang, apa salahnya dia menikmati hidup. Suaminya juga bersenang-senang dengan wanita muda di luaran sana.

"Yuni! Tunggu!"

Suara panggilan membuat Yuni menoleh, menatap Hari yang berjalan cepat menyusulnya.

"Ada apa, Har?"

Hari tersenyum. "Aku antar, ya?"

Tadi Hari sempat mendengar kalau sopir Yuni sedang pulang kampung menjenguk orang tua yang sakit, sedangkan Yuni tidak bisa mengemudi.

"Oh, tidak usah. Aku naik taksi saja."

"Sudah malam banget, lho. Bahaya wanita naik taksi sendirian malam-malam. Apa tidak pernah baca berita?"

Terdiam sesaat, Yuni teringat berita-berita mengenai kejadian mengerikan yang belakangan sering terjadi, membuatnya bergidik tanpa sadar.

Mata Yuni mengerjap, mempertimbangkan tawaran Hari. "Apa tidak merepotkan?"

Tangan Hari dikibaskan, tertawa pelan. "Enggaklah! Mana mungkin merepotkan. Rumahku masih sejalur dengan rumahmu."

"Yakin?"

"Seratus persen."

"Istrimu ...."

Tawa Hari semakin keras. "Astaga, Yuni! Hanya mengantar teman lama pulang, mana mungkin istriku cemburu. Lagi pula, kita sudah tidak muda lagi, bukan lagi masanya cemburu-cemburuan."

"Yah, bukan masalah cemburunya, Har. Sebagai sesama perempuan, aku bisa memahami perasaan istrimu kalau suamiku membawa wanita lain." Suami Yuni bukan hanya memberi tumpangan dalam mobil, tapi juga di atas kasur. Memang benar, tajam pisau karena diasah. Yuni semakin pintar berbohong menutupi kebobrokan dalam rumah tangganya.

"Apa perlu kita telepon minta izin pada Lia?"

"Bener gak apa-apa?"

"Yuk!"

"Baiklah. Makasih sebelumnya."

Yuni yang naïf, mana mungkin menyadari kilatan di mata Hari. Tanpa rasa curiga, menerima 'niat baik' Hari untuk mengantarnya.

Baru lima belas menit mobil berjalan, Yuni sudah tertidur pulas. Tentu saja bukan karena kelelahan, melainkan karena aroma dalam mobil Hari.

Mencari tempat yang sepi untuk menepi, Hari pun dengan penuh suka cita menikmati tubuh yang sejak lama ingin dia sentuh.

Dimulai dari meremas dada yang masih saja kencang, hingga mengulum dan mengisap puting. Kemudian bergerak hati-hati agar goyangan mobil tidak terlalu menarik perhatian.

Sentuhan di tempat intim, juga rasa nikmat yang belum pernah dirasakan membuat Yuni terus mendesah dalam tidurnya. Ketika terbangun, tubuh Yuni sedikit bergidik oleh sensasi yang masih tertinggal, ditambah denyutan di bagian selangkangan, membuatnya bergerak resah.

"Kenapa, Yun?" Berpura-pura fokus pada jalanan yang sudah mulai lengang, Hari melirik sekilas pada Yuni yang terus menggerakkan kaki.

"Ng-enggak apa-apa."

"AC-nya kurang dingin, ya? Kamu sampai keringatan begitu."

Tubuh Yuni memang terasa panas, rasa panas yang berpusat di selangkangan. Rasanya gatal dan geli. Ingin sekali Yuni menyentuh daerah yang entah kenapa terus berdenyut itu.

Menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Yuni menggeleng kuat-kuat. "Ma-maaf, tadi aku ketiduran. Sudah sampai mana?"

"Ah, tadi macet, jadi aku mengambil jalan memutar yang agak jauh."

Pantas saja jalanan terasa asing. "Masih jauh?"

"Lumayan. Kalau lelah, tidur saja lagi. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai."

Bukan masalah lelah. Masalah siksaan di bagian yang tidak bisa disentuh di tempat umum!

Memelankan laju mobil, mengulurkan tangan berpura-pura memeriksa kadar dingin penyejuk mobil, siku tangan Hari menyenggol dada Yuni 'tanpa sengaja'. "Ah, maaf."

Sudah pasti tubuh Yuni bereaksi keras. Putingnya masih luar biasa sensitif usai dikulum sekian lama oleh Hari saat dia tidak sadarkan diri tadi. Yuni bahkan harus menggunakan tangan untuk meredam agar suara aneh tidak sampai terdengar oleh Hari.

Sekali lagi menepikan mobil, Hari memasang wajah khawatir. "Kamu gak enak badan?"

Rasa-rasanya seluruh syaraf di tubuh Yuni menuntut untuk disentuh, menumpulkan akal sehat, membuat Yuni tidak menolak saat tangan kokoh mulai mengelus pipinya.

Seiring napas yang semakin memburu, tatapan Yuni kian nanar. Tangan yang mengelus pipi dituntunnya menuju area di antara kaki, mata terpejam, mendesah menikmati sentuhan di tempat yang menuntut sentuhan ....

------   

PELAKOR MUST DIE!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang