Chapter 3

37 27 12
                                    

Sebelum matahari terbit aku memilih untuk pergi, berkeliling memutari kampung, mencari spot baru yang mungkin menarik.

"Mau kemana, Van?" Tanya nenek dari dalam rumah. Aku sudah di depan pintu, memakai sepatu hendak berangkat.

Joging...

"Keluar sebentar nek,," jawabku singkat.

"Yakin, nggak bakal tersesat?" Tepat saat selesainya pertanyaan itu, aku merasa dungu. Kenapa tidak kepikiran sejak awal?

Tolol. Kamu belum tau daerah sini, kalau tersesat gimana vann??? Bodoh bodoh. Rutukku dalam hati.

"Jangan panik gitu,," lanjut nenek sembari tertawa terpingkal-pingkal. Umurnya sekitar delapan puluh tahunan kalau tidak salah, sudah hampir satu abad ia perjuangkan hidupnya.

"Pergilah sana, kalau lupa jalan tanya orang ya." Titahnya.

Sikap nenek berbeda banget dengan papa, padahal papa anak kandung nenek. Tapi papa begitu cuek dengan anaknya sendiri.

Aku mulai berlari dan melupakan tentang hal tadi, tersesat. Benar kata nenek, lagian kan masih ada google map. Data kemarin masih kusimpan historynya.

Ditengah perjalanan, dekat pasar tepatnya. Aku melihat ada seorang wanita yang tengah kesusahan, sepertinya ada masalah dengan motornya. Aku memilih menghampiri wanita itu.

Satu langkah dua langkah, hingga akhirnya sampai dihadapan wanita itu. Wajahnya terlihat tirus dan letih, ia sempat merutuki dirinya dan memindahkan barang belanjaannya tergeletak dipinggir jalan.

"Kenapa mbak?" Tanyaku sopan.

"Sialan. Nggak tau nih motor, perasaan kemarin baru diservis loh. Tapi udah macet lagi, padahal saya masih banyak pekerjaan pagi ini. Bisa bantu saya nggak?" Pintanya panjang lebar, tanpa melihat kearahku. Pandangannya fokus kearah motornya sambil berjongkok. Mungkin sangat frustasi.

"Coba minggir..."

Ternyata menghidupkan kembali motor ini tidak terlalu sulit, starternya normal. Cuma sekali coba langsung nyala.

"Ini bisa..." Ucapku.

"Kok dari tadi aku nggak bisa hidupin motor ini ya.." sesalnya, sekarang matanya menatap kearahku. Terlihat jelas bola mata yang terpasang indah disana dengan bulu mata yang lentik. Aku yakin itu asli.

Akhirnya aku coba matikan motor itu lagi, kemudian mendapat tonyoran epic tepat di dahi.

"Gilakk... Kenapa dimatiin lagi." Ucapnya setengah berteriak.

"Coba lo hidupin lagi motornya. Bisa nggak?"

Ternyata dugaanku benar. Didunia ini kalau mau hidupin motor matic harus diiringi dengan ditekan  tuas remnya. Baru bisa nyala, tapi dia tidak.

"Kalau kayak gitu caramu hidupin motor, kapan nyalanya?" Ejekku sembari menyingkirkan kedua tangannya dari setir motor.

"Nih, direm terus starter. Baru nyala, tuh kan." Jelasku, sedikit menyisipkan sedikit senyum simpul dimuka. Lucu sih, tapi tidak tega aku menertawakannya.

"Kamu bisa ngendarain motor sejak kapan?" Tanyaku penasaran. "Kok hidupin motor aja nggak bisa?" Kali ini aku tertawa lepas, kencang. Lebih tepatnya kelepasan.

"Dasar,, ihhh... Ngeselin banget sih!!!" Rutuknya sembari memukul-mukul pundakku. Pipinya mulai blushing, mungkin karena menahan malu.

"Beneran aku nanya, kamu bisa hidupin motor itu sejak kapan?"

"Udah lama kalikk, cuma sekarang lagi buru-buru aja. Jadi lupa deh." Alibinya yang tak masuk akal sama sekali, jelas gengsi dia. Tapi entah pernyataan itu memang real atau hanya karangan dia saja.

YOU'RE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang