⏳Halaman Kelima Belas⏳

101 32 0
                                    

💎Happy reading💎

Rara benci saat di mana ia berbicara, orang-orang seolah menulikan pendengarannya. Maka, Rara hanya diam saja saat dua orang itu menyeretnya ke tempat yang dulu pernah didatanginya. Tempat ini adalah tempat mengerikan yang Rara sendiri sudah berjanji tidak akan menginjakkan kakinya lagi ke sini, tapi orang-orang sialan ini justru kembali membawa Rara ke sini.

"Ingat tempat ini?" Suara dingin Rael membuat Rara memfokuskan penglihatannya ke arah lelaki itu.

Gelapnya malam membuat Rara kesulitan melihat wajah lelaki di hadapannya, tapi dingin suaranya sudah bisa mewakilkan bagaimana ekspresi yang lelaki itu tunjukkan kini. Mata gelapnya seolah bercahaya di antara pekatnya malam.

"Aku enggak ngebunuh Felisia," jawab Rara dengan nada rendah.

"Gue juga enggak bilang lo ngebunuh adek gue, tapi kenapa tiba-tiba lo bahas masalah pembunuhan? Gue cuma nanya. Lo ingat, enggak tempat ini? Lagian adek gue itu menghilang, bukan dibunuh."

Tentu saja Rara ingat tempat ini. Tempat paling mengerikan yang pernah Rara tapaki. Bukan karena rimbunnya daun-daun dari pohon yang tinggi, bukan pula dengan jurang yang entah seberapa dalamnya di sebelah kiri. Namun, karena tempat ini adalah tempat di mana Felisia, Kinan, dan Ratu menghakiminya karena masalah sepele. Waktu itu Felisia menarik paksa Rara menuju tempat ini dengan amarah yang sudah menguap di kepala. Kotak ingatan itu harus kembali pecah dan isinya menguar ke segala arah. Rara benci mengingat kejadian mengerikan itu kembali, ia benci saat ia mencoba melupakan sesuatu, dengan kurang ajarnya ada orang lain yang memaksanya untuk mengingatnya kembali.

⏳⏳⏳

Saat itu Rara baru akan menghubungi Bima yang entah kenapa belum datang ke kelasnya. Padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Tak biasanya Bima seperti itu. Sampai suara keras Felisia membuat Rara menghentikan aksinya dan segera meletakkan ponsel di atas meja.

Saat Rara mendongak, ia bisa melihat bagaimana mata Felisia menatapnya dengan tatapan marah, seolah api bisa saja ke luar dari sana dan membakar Rara hingga habis tak tersisa. Tepat di belakang Felisia pun masih ada dua pasang mata lain yang menatapnya dengan tatapan tak suka. Itu mata milik Kinan dan Ratu yang dari dulu tak pernah menyukai Rara.

"Lo ikut kita," kata Felisia sambil bersedekap dada.

"Ke--mana?" tanya Rara ragu-ragu.

"Ke tempat yang bakal lo suka."

Kemudian tanpa aba-aba Felisia menariknya ke luar kelas dan membawa paksa Rara ke mobilnya. Tiga lawan satu bukanlan perlawanan yang sepadan, jadi saat mobil itu bergerak meninggalkan pekarang sekolah, Rara hanya bisa menurut sambil diam-diam menggingit bibirnya kuat-kuat.

"Kita mau ke mana, sih?" tanya Rara sekali lagi saat di depan sana Rara melihat banyak batang pohon di kanan dan kiri jalan.

"Bawel banget," komentar Ratu, kemudian mengangkat satu sudut bibirnya.

Rara masih diam saat jalanan yang dilalui mobil Kinan tampak jauh lebih lengang dari jalanan yang biasa Rara lalui. Namun, siapa sangka diamnya Rara harus dibalas dengan hutan belantara yang di dalamnya pasti banyak bahaya. Karena saat mobil Kinan berhenti, mereka menarik paksa Rara dan membawanya masuk ke dalam hutan. Dinginnya angin yang berhembus membuat pikiran buruk terus berkeliaran dalam kepala Rara. Sampai akhirnya tangan Felisia mendorong bahunya dan tanpa sengaja batang pohon di belakang menjadi tempat sempurna bagi punggung Rara terbentur.

"Lo suka sama Bima?" tanya Felisia dengan tatapan tak terbaca. Tangan kanannya masih setia mencengkeram kuat bahu Rara.

"Kenapa? Kita 'kan bisa bahas ini di sekolah. Ngapain harus ke sini segala? Di sini seram tau," balas Rara dengan mata bergerak lincah menelusuri pepohonan tinggi disekelilingnya.

Wait a Little Longer [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang