Membuka Jalan

25 3 1
                                    

Di sebuah kafe dua wanita sibuk dengan laptopnya. Sesekali tangan mereka menyesap minuman di cangkir yang berada di samping laptop mereka.

Dua wanita itu adalah Mara dan Lili. Mereka sedang berada di kafe. Mengerjakan tugas dan menumpang wifi. Hal yang biasa dilakukannya di saat wifi di kos begitu lambat dipakai.

Mereka memesan secangkir kopi untuk menemani mengerjakan tugas. Sambil menikmati waktu sore setelah pulang kuliah.

“Apa Agas menghubungi kamu?” tanya Lili. Semalam Agas menghubunginya untuk meminta nomor telepon jadi Lili memastikan pada Mata.

“Iya.” Jari-jemari Mara menari indah di atas  keyboard laptopnya.
Namun, sejenak dia tersadar dengan pertanyaan Lili. Menghentikan jari jemarinya, dia menoleh pada Lili. “Apa kamu yang memberikan nomor teleponku?” 

“Iya,” jawab Lili tersenyum polos.

“Dia sepertinya suka denganmu,” goda Lili seraya memajukan wajahnya pada Mara.

Jari jemari Mara kembali menarik indah di atas keyboard. “Dia memang seperti itu pada wanita.” Tak mau terlalu berbesar kepala, dia meyakini jika Agas memang baik pada semua wanita.

“Lalu untuk apa dia mendekatimu jika dia tidak menyukaimu?”

Mara mengedikan bahunya menjawab pertanyaan Lili. Dia tidak tahu alasan Agas sebenarnya. Sejauh pembicaraan semalam, dia merasa nyaman saat bercerita dengan Agas. Namun, dia akan terus berhati-hati mengingat Agas adalah playboy.

Selesai mengerjakan tugasnya Mara dan Lili pulang. Lelah yang dirasakan oleh Mara membuatnya langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tempat tidur yang hanya muat satu orang itu, menampung tubuhnya. Matanya terpejam, merasakan kantuk yang tiba-tiba menderanya.

aat baru saja memejamkan matanya, suara telepon berdering. Dengan malas tangan Mara meraih ponselnya. Menjawab sambungan telepon dengan malas.

“Kamu sedang tidur?”

Mendengar suara dari seberang sana, mata Mara langsung terbuka. Bagian baterai yang baru saja diisi dayanya, dia sangat bersemangat. “Iya … em … tidak,” elaknya.
Agas tertawa mendengar suara Mara. Terdengar jelas gadis itu gugup.

“Kamu dari mana hingga lelah seperti itu?”

“Aku tadi dari kafe mengerjakan beberapa tugas.”

Mereka berdua saling bertukar cerita. Mara memancing pembicaraan tentang pacar Agas. Dia tidak mau sampai dia salah menilai orang. Dari pembicaraan, Mara mendapati jika Agas memang beberapa kali pacaran. Terbukti setahun kuliah di sudah berganti empat kali.

Bertolak belakang sekali dengan Mara yang belum sama sekali berpacaran. Mereka sudah bagai dua kutub yang berbeda.

"Kenapa berganti berkali-kali. Apa mereka tidak cocok denganmu?"

"Bukan tidak cocok, tetapi aku memilih dari yang terbaik dari yang baik." Agas beralasan jika dia sedang mencari wanita yang menurutnya pas, maka dari itu dia berganti-ganti pacar.

Mendengar alasan Agas, Mara memang tidak menyalahkan, memang begitu adanya jika memang ingin mengenal orang untuk dijadikan pendamping hidup.
Kini Mara tahu seperti apa Agas, dan walaupun berbeda prinsip dengannya yang ingin dekat dengan satu orang dan serius, Mara tetap menghargainya.

“Apa alasanmu berpacaran dengan mereka?” Satu hal yang membuat Mara penasaran.

”Kamu tahu, banyak wanita materialistis dan meminta banyak hal pada kekasihnya. Jadi aku berpikir, jika mereka sudah punya segalanya, untuk apa aku memberi.” Agas tidak mau harus bersusah payah menuruti apa yang diinginkan kekasihnya. Jadi memilih mereka yang sudah memiliki segalanya adalah pilihan tepat.

Mara tertawa mendengar jawaban Agas. Dia membenarkan ucapan Agas, karena beberapa temannya juga mencari pacar kaya agar bisa memenuhi kebutuhan mereka. Namun, tidak menyangka ada pria licik macam Agas.

“Tidak semua wanita berpikir seperti itu, masih banyak wanita yang berpikir jika mencintai yang diperlukan hati bukan harta.”

"Apa seperti dirimu?"

"A-aku, aku belum pernah jatuh cinta jadi aku tidak tahu.

"Apa orang tuamu melarangmu untuk berpacaran?"

Mara terdiam. Dia tidak pernah merasakan dilarang oleh orang tuanya. Neneknya yang selama ini mengasuhnya selalu menuruti keinginannya. "Orang tuaku tidak pernah melarang."

"Kenapa, bukankah orang tua akan sangat melindungi anak perempuannya?"

"Orang tuaku sudah tidak ada." Dengan menahan kesedihannya, Mara menjelaskan.

"Maaf." Agas tidak tahu jika ternyata Mara anak yatim piatu. Pasti sangat berat tumbuh tanpa orang tua dan Agas merasa sangat prihatin.

"Tidak masalah, lagi pula ada nenekku yang begitu menyayangi aku." Bagi Mara kehilangan orang tuanya bukanlah permasalahan besar. Selama ini, dia tak pernah kehilangan kebahagiaan. Karena sang nenek melimpahnya kebahagiaan.

Suara Mara yang tampak tidak menunjukkan kesedihan membuat Agas kagum. Wanita di sambungan teleponnya itu begitu hebat tumbuh tanpa ke dua orang tuanya.

Malam semakin larut, tetapi dua insan itu masih saling bertukar suara. Menceritakan hal seru yang terkadang membuat keduanya tertawa. Kedekatan memang tak bisa dielakkan lagi. Tak ada drama jual mahal karena pada kenyataannya seperti itulah adanya sebuah hubungan pendekatan. Saling membuka jalan untuk masuk ke dalam kehidupan masing- masing





Magnetic Love (Berlanjut Di KBM )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang