Prolog

50 2 0
                                    


"Maaf ya, kak?"

Lelaki itu sudah melajukan motornya. Meninggalkan diriku bersama senyuman tak berdosanya. Aku hanya menghela napas ku, memperhatikan sosoknya yang perlahan mengecil, lalu menghilang di tikungan jalan.

Sekali lagi, aku menghela napasku. Menjajaki area sekolah yang sudah mulai ramai, dipenuhi para siswa yang berlalu lalang kesana-kemari. Ini benar-benar terlambat dari jadwal kedatanganku biasanya. Bahkan lima belas menit lagi, bel masuk sekolah akan dibunyikan.

Senyuman tak berdosa yang ditinggalkan sepupu lelakiku tadi masih menyisakan kekesalan, juga penyesalan. Walau sebenarnya, menyimpan kesal pun percuma. Bahkan penyebab keterlambatan ku sekarang mungkin sudah sampai di rumah dan asyik bermain game favoritnya. Iya, siapa lagi? Fauzan!

Sepupu lelaki yang serumah dengan diriku itu memang punya jadwal mingguan. Jika ia sedang tidak ada jadwal kuliah pagi, maka ia akan menjadi sopir pribadi yang akan mengantarkanku berangkat ke sekolah. Namun karena semalam ia begadang untuk menunggu update terbaru dari game kesukaannya, ia jadi terlambat bangun di pagi harinya. Yah, dan akhirnya hal itu berimbas pada diriku juga.

"Wah wah, bisa datang bersama dengan siswi ter-rajin seperti ini adalah pencapaian terbesar ku!!" suara datang dari belakang tubuhku, bersamaan dengan diriku yang mulai memasuki ruang kelas.

Aku menatap tajam siswa yang datang bersamaku. Sekali lagi, aku menerima senyuman tak berdosa dari dua orang yang berbeda. Kali ini, senyuman yang lebih seperti cengiran kuda itu ku dapat dari lelaki dengan kantung matanya yang begitu menggantung. Tanda jika ada satu malam lagi yang ia habiskan dengan mata terbuka.

"Jangan gitu dong, Dy!" balas ku dengan menahan rasa kesal yang mulai kembali terasa. Aku yang memang terbiasa berangkat di awal kini bahkan bisa datang bersama siswa yang memiliki julukan "telatan".

"Santai, Zuf. Telat dari jadwal kebiasaanmu bukan akhir dari dunia. Lagian kamu nggak telat sampai kekunci di gerbang, kan?" siswa bernama lengkap Zaid Aldyansyah itu kembali menyahutiku. Yah, setidaknya sampai saat ini dialah yang paling banyak melakukan interaksi di kelas bersamaku. Letak bangkunya yang ada di belakang ku menjadi salah satu faktornya.

Seperti biasa, sisa waktu sebelum bel masuk sekolah dibunyikan akan ku habiskan dengan membaca buku yang sudah ku bawa dari rumah. Yah, selain waktu kedatanganku, tak ada yang berubah. Tak ada yang berbeda. Tetap seperti biasa. Kurang lebih, begitulah yang ku rasa.

Selamat datang di sekolahku. Sekolah dengan ribuan prestasi, juga milyaran misteri. Di bawah kilauannya yang menyilaukan mata, kebusukan dapat leluasa menjadi bayangan gelap yang tersamar. Tempat dimana kuantitas dengan alibi kualitas dibesarkan dengan baik oleh para pejabatnya.

. . .

"Apa benar-benar tidak ada yang bisa menjawabnya?" teriakan Bu Mei mulai menggema di dalam ruang kelas XI IBB 1. Atau lebih tepatnya, ruang kelasku.

Saat ini, jam pelajaran akutansi tengah berlangsung. Walaupun sebentar lagi bel istirahat kedua akan berbunyi, dari teriakan Bu Mei tadi nampaknya kami takkan dibiarkan semudah itu untuk keluar dari kelas ini. Sekalipun jam nya sudah berakhir.

Semenjak tahun kemarin, ada kebijakan baru yang ditetapkan oleh kepala sekolah. Yaitu berupa penetapan beberapa pelajaran sebagai mata pelajaran utama, salah satunya ialah akutansi. Aku tak terlalu paham dengan detailnya, karena pada dasarnya aku pun tak terlalu peduli. Sebagian orang tentu akan menentang kebijakan ini, karena menyamakan pelajaran akutansi dengan matematika yang identik dengan perhitungan. Tapi, siapa yang bisa melawannya? Semuanya hanya bisa menggerutu dibalik sorak persetujuannya.

Bad RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang