Hi(m)!

17 3 0
                                    

"Terjebak karena hujan, nona?"

Aku langsung menolehkan kepalaku begitu mendengar suara seseorang dari arah samping. Benar saja, seorang laki-laki yang tak ku kenali tepat di sampingku saat ini.

"Kau mungkin salah satu korban penipuan cuaca yang diperkirakan di televisi tadi pagi. Katanya sih cerah. Tapi nyatanya? Masih ada Tuhan Yang Maha Berkehendak untuk menurunkan hujan bahkan tanpa aba-aba,"

Aku hanya diam mendengarkan celoteh lelaki asing ini. Tak ada niatan dari dalam hatiku untuk membalas perkataannya. Ya karena aku tak mengenalnya, walau merasa pernah melihatnya. Jika melihat penampilannya yang cukup berantakan, juga ekspresi wajahnya yang terbilang sangat datar.

"Mau ku bantu pulang, nona?"

"Tidak, terima kasih."

"Mau terjebak di antara hawa dingin ini? Keluargamu yang sudah menunggumu di rumah pasti akan mengkhawatirkanmu,"

"Rumahku jauh,"

Akhirnya, lelaki ini diam setelah hampir membuatku kesal dengan mulutnya yang tak bisa diam.

"Rumahku juga jauh, jika kau tahu. Lagipula itu bukan alasan yang bagus untuk mengelak jika keluargamu pasti sedang mengkhawatirkanmu,"

Tepat setelah ucapan lelaki itu berhenti, ponselku bergetar. Nama Bibi Ham tertera di layar ponselku.

Belum selesai menjawab salam, dari seberang pertanyaan Bibi Ham langsung memotong begitu saja.

"Nabil, bisa pulang kah?"

"A-Ah, iya. Bibi nggak usah khawatir. Ini Nabil juga lagi nunggu bus,"

"Dari tadi bibi nunggu kamu nggak pulang-pulang. Fauzan juga nggak bisa pulang gara-gara hujan, sampe nginep di kost an temennya ini. Nggak bisa jemput kamu juga jadinya. Udah, bibi jemput aja, ya?"

"Nggak usah, bi. Beneran tinggal nunggu bus aja, kok,"

"Beneran, Bil?"

"Iya, bibi,"

"Hahh. Ya udah deh kalo gitu. Kamu yang hati-hati loh, ya? Kalo emang busnya gak dateng-dateng, kamu telpon aja. Biar bibi jemput,"

"Siap, Bibi Ham!"

Seusai berhasil meyakinkan Bibi Ham dengan sedikit dibumbui bumbu kebohongan, telepon itu terputus. Aku tahu, meskipun aku bukan anak kandung Bibi Ham, tapi naluri keibuan memang tidak bisa dilawan. Apalagi selama di kota ini, dia adalah waliku. Aku bisa saja mengiyakan tawaran bibi yang ingin menjemputku. Tapi ku pikir, itu hanya akan merepotkannya untukku yang sudah menumpang hidup di sini.

"Maaf, aku tak sengaja mendengarkan pembicaraanmu dengan bibimu. Tampaknya keluargamu benar-benar sedang mengkhawatirkanmu,"

Aku tak membalasnya. Untuk apa?

"Hari sudah semakin petang. Kau harus segera pulang,"

Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang terpasang di kepalaku. Aku segera mengambilnya, "Jaket?"

"Melihat kau yang menolak bantuanku di awal, juga caramu berbohong pada bibimu jika kau sedang menunggu bus padahal di halte saja tidak, sepertinya kau orang yang tidak ingin merepotkan orang lain selagi kau merasa ingin menyelesaikannya sendiri. Yah, walaupun itu bagus tapi itu terhitung keras kepala, loh,"

"Hah?" aku benar-benar tak mengerti dengan lelaki asing nan aneh ini. Apa yang dia inginkan?

Yah, aku lebih tak paham ketika aku hendak memberikan kembali jaket yang ku yakini ini miliknya, ia malah berlari keluar gedung. Membiarkan tubuhnya bernasib sama dengan tanah yang dihujani rintikan air dari atas langit.

Bad RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang