Awal Mula

5 0 0
                                    

"Zukrufa Nabilah, mohon rapikan seragammu dengan baik." akhirnya lelaki bertubuh tinggi kurus itu sampai di bangkuku. Alfa Bastian Ivander, ketua OSIS masa bhakti tahun ini. Hari kamis ini memang menjadi jadwal pengurus harian yang memeriksa kerapian kelas kami. Di hari kamis pula, aku harus selalu berdebat dengan salah satu dari mereka.

"Apa penampilanku sekarang masih kurang rapi?" tanyaku datar. Dia tersenyum tipis, setipis kedua matanya yang ikut menyipit ketika ia tersenyum.

"Jika berdasarkan peraturan sekolah, iya. Untuk siswi berkerudung, kerudung tidak boleh menutupi atribut seragam yang ada. Bukankah kau sudah paham dengan peraturan ini? Sepertinya OSIS juga tidak sekali dua kali mengingatkanmu akan hal ini,"

"Iya. Sudah beberapa kali kalian memperingatkanku tentang peraturan itu. Tapi sudah berulang kali pula aku mengajukan banding tentang peraturan ini pada OSIS dan MPK. Kenapa nggak ditindak juga?" timpalku. Sungguh, aku sudah malas berdebat, bahkan ini sudah ketiga kalinya dalam minggu ini. Biasanya memang begini sih. 

"Maaf, bil. Itu agak susah karena ini sudah peraturan sekolah. Kalau kamu mau peraturan yang seperti itu, bukan di sini tempatnya. Poin pelanggaran dan hukuman bisa saja langsung kami berikan jika bandingmu benar-benar tidak diterima, loh."

Alfa masih ingin melanjutkan perkataannya, namun tertunda ketika salah seorang anggotanya menghampirinya seraya berbisik sesuatu kepadanya. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan si anggota, tapi berkat hal itu Alfa tidak lagi mempermasalahkanku dan langsung beranjak dari tempatku. Meski begitu, mataku masih mengekor ke arah yang Alfa tuju.

"Kamu.. Anak baru?" 

Sudah kuduga. Anak baru itu pasti menjadi mangsa empuk OSIS hari ini.

"Iya," jawab Naufal dengan entengnya. Seperti tidak tahu ada bahaya besar yang mengancamnya, bahkan bahaya itu tepat ada dihadapannya sekarang.

"Meskipun kamu anak baru, pasti kamu tahu kan kalau berseragam rapi dan sesuai jadwal itu ada di tiap sekolah?" tanya Alfa lagi.

"Iya, tahu."

Dahi Alfa tampak sedikit berkerut, "Lalu? Ada apa dengan seragammu ini? Kenapa kamu tidak memakai seragam batik khas SMA kita sesuai jadwal seragam hari ini? Sepatumu juga. Selain jam olahraga, hanya diperbolehkan memakai sepatu hitam. Tanpa corak ataupun warna lain."

Sejenak Naufal menghela napas, sebelum akhirnya menjawab semua perkataan Alfa. "Iya, aku tahu. Dengarkan aku baik-baik, karena aku mulai muak menjelaskan hal ini beberapa kali ke teman-temanmu. Semua peraturan sudah dijelaskan guru BK sebelum aku masuk di sekolah ini, termasuk izin jika memang terpaksa tidak mengenakan seragam atau atribut lengkap karena sekarang sudah memasuki musim hujan. Kalian tahu jika kemarin hujan, kan? Aku kehujanan, bajuku basah, dan masih belum kering hingga tadi pagi. Masalah izin? Sudah. Kalau pun memang aku tidak izin, tentu aku sudah mengakuinya sejak tadi!"

"Tapi dia tidak menunjukkan kartu izin dari Bu Adila, Al! Dia ngotot cerita gitu tapi gak ada bukti. Gak mau dihukum juga!" begitu kalimat Naufal selesai, salah satu bawahan Alfa langsung menyela.

"Lah emang nggak dikasih apa-apa habis izin. Ya gimana lagi? Aku juga nggak terima dong dihukum semau kalian sendiri. Kan aku nggak salah,"

"Nggak salah? Kamu bilang, kamu nggak salah?" ucap Alfa yang hanya dibalas Naufal dengan mengangkat bahunya.

"Ya jelas kamu salah! Nggak pake seragam sesuai jadwal, sepatu juga pake sepatu hitam putih yang jelas dilarang di peraturan. Sekalipun kamu punya alasan, kamu nggak punya buktinya!! Bagaimanapun kamu sudah pantas untuk dihukum, walaupun kamu hanya akan mendapat poin pelanggaran karena ini adalah hari-hari pertamamu di sekolah ini." nada Alfa sedikit meninggi. Tatapannya pun kini menjadi lebih tajam, seolah tak mau kalah dengan tatapan dingin dari lawan debatnya kali ini.

"Cih, daritadi kalian hanya fokus ingin menghukumku ataupun meminta buku kendaliku. Kenapa kalian tidak fokus bertanya pada guru BK terlebih dahulu tentang izinku yang memang fakta atau hanya alasan belaka?"

Beberapa menit berlalu dan perdebatan itu belum juga menunjukkan titik akhir, bahkan setelah ketua kelas kami ikut menengahi. Atmosfer kelas terasa ikut berubah dengan memanasnya situasi ini. Pak Arya yang harusnya mengisi jam pertama di kelas ini pun tak kunjung datang. Membuat situasi tak nyaman ini tak kunjung usai.

Sebenarnya aku sudah tidak terlalu menyimak perdebatan di belakang sana, hingga Zaid bangkit dari bangkunya dengan keras sampai mendorong bangku ku dari belakang dengan cukup kuat. Bukan tanpa sebab, itu adalah refleksi badannya ketika melihat Ezra menarik kerah baju Alfa lalu mendorongnya dengan kuat. Perdebatan itu hampir menjadi perkelahian jika Zaid tidak menengahi antara Ezra dan Alfa.

"Cukup ya, Al. Udah, emang paling bener kalo sekarang kalian cari tahu dulu Naufal beneran izin apa enggak. Daripada kamu ngotot di sini, buang-buang waktu. Ini udah masuk jam pelajaran, si paling peringkat satu paralel seharusnya paham maksudnya kan?" ucap Ezra ketika sudah berhasil mengendalikan emosinya. Tatapan matanya tak bisa berbohong, ia sudah muak dengan Alfa beserta teman-temannya.

Aku heran. Semua ini berawal dari si anak baru itu yang tidak memakai seragam khas hari ini. Harusnya masalah hanya sampai di situ. Tapi sekarang kenapa Ezra yang hampir terlibat adu hantam dengan Alfa? Bahkan si biang masalah masih tetap santai duduk di bangkunya. Untuk sekedar melerai pun, Zaid yang harus bertindak.

"Loh? Ada apa ini?"

Suara berat itu sontak mengalihkan arah fokus kami semua. Pak Arya datang, dengan membawa speaker dan laptop andalannya.

"Loh? Inspeksinya belum selesai? Kok tumben lama?" tanya beliau lagi.

Alfa lebih dulu beranjak dari posisi awalnya. Mendahului Ezra yang ingin melakukan hal yang sama. Mereka saling mendahului start, berebut kesempatan untuk menjelaskan kronologi dari situasi yang baru saja terjadi.

"Oh. Kan bisa langsung konfirmasi ke ruang BK, nak Alfa. Nanti jam istirahat kalian bisa panggil anak itu. Kalo gini pelajaran kalian terkorbankan, kan?"

Alfa dan kawan-kawannya sontak diam. Pak Arya memang salah satu guru ternetral dan tegas di sekolah ini. Itulah yang membuatku menyukai jam pelajaran Pak Arya sekalipun kurang minat dengan pelajarannya.

"Ya sudahlah. Nanti kalian selesaikan sendiri ya sama si anak itu. Siapa namamu, nak?" lanjut Pak Arya seraya menunjuk pada Naufal.

"Naufal Zikrillahi Anggara, pak."

Setelah mendengar jawaban Naufal, mimik wajah Pak Arya nampak berubah. Kepanikan itu nampak tergambar jelas di wajahnya. Namun tak lama, hingga beliau mendekati Alfa dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu, gurat kepanikan juga tersirat di wajahnya. Tak lama setelahnya, Alfa dan kawan-kawannya pamit dari kelas kami.

Akhirnya. 

"Hadeh, ada-ada saja ya kalian ini.  Baiklah, kita mulai pelajarannya."

***

Bersambung dulu, lanjutinnya gatau kapan :v 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang