Bab 6. Desa Merah

6 1 0
                                    

"Wir, gigiku ngilu. Bulu kuduk juga ikut berdiri. Itu si Rimei nggak sakit apa waktu berubah? Suaranya seperti tulang-tulang yang dipatahkan. Ngeri banget," cerocos Gisya yang menempel pada Wira.

Bukannya Wira suka dipepet sama Gisya, tapi gadis yang satu itu sudah seperti lintah yang sulit disingkirkan. Diam-diam Wira bergeser menjauh.

"Apa kita perlu ke sana? Mungkin Rimei perlu bantuan," ucap Gisya yang mengangguk dengan mantap.

"Sebaiknya kita menunggu saja. Rimei sudah memberi pesan dengan jelas."

"Seperti kamu nggak tahu watak para gadis saja. Mereka bilang seperti itu agar cowok berpikir yang sebaliknya," cemooh Gisya.

"Itu watakmu, bukan watakku," ujar Rimei dengan kasar.

"Wow, kamu benar-benar berubah jadi kurcaci yang waktu itu." Mulut Gisya membuka lebar ketika memperhatikan Rimei yang menghampiri mereka.

"Sekarang bagaimana? Aku sudah selamban kurcaci dan sama sekali tidak bisa bernapas di dalam air."

Wira melirik sesosok kurcaci yang berwajah tidak ramah. Gadis itu melirik Gisya yang tersenyum dengan canggung.

"Karena kamu yang mengusulkan untuk menunggu malam, maka kamu yang harus mencari jalan keluar dari masalah ini," ucap Rimei yang balik badan untuk memunggungi Gisya.

"Ck,ck,ck, ternyata kamu berubah jadi gadis mengerikan ketika menjadi kurcaci. Coba aku pikir sebentar."

"Aku bisa berenang dengan ahli," tutur Wira yang merasa perlu untuk mendamaikan kedua gadis itu.

"Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku mengulangi perkatanku. Iya, iya, aku tahu kalau keahlianku tidak berguna di dalam laut," ucap Wira dengan kedua tangan terangkat, saat mendapatkan tatapan protes dari kedua gadis itu.

"Nah, itu tahu. Makanya jangan sombong," balas Gisya yang sekarang juga bersedekap.

"Waktu terus berjalan. Jangan menyia-nyiakan waktu, Gisya," ucap Rimei dengan nada rendah yang mencekam.

"Oh, aku rindu Rimei dalam wujud manusia biasa."

"Gisya!" desis Rimei dengan bibir hampir terkatup.

"Iya, iya. Aku sudah tahu solusinya. Tunggu sebentar."

Rimei dan Wira memperhatikan Gisya yang berlari menuju salah satu pohon kelapa kemudian berjongkok. Tak berapa lama, gadis itu sudah kembali lagi. Dia memamerkan tiga buah jamur kancing bergelembung.

"Ini apa? Aku baru pertama kali melihatnya. Apa ini aman untuk dimakan?" tanya Wira yang hendak menusuk gelembung dengan jari.

Namun, Gisya menepis tangan Wira kemudian menutupi jamur itu dengan tangan yang lain. Gadis itu perlahan-lahan membuka tangannya saat sudah yakin kalau Wira memahami isyarat pelototan mata darinya.

"Kalian akan bisa bernapas dalam air kalau makan jamur ini."

Rimei langsung menyambar jamur dan memasukkannya ke mulut sebelum bisa ditahan Gisya. Napasnya menjadi berat, membuat wajahnya memerah.

"Aku belum selesai menjelaskan, tapi kamu langsung makan saja," protes Gisya dengan dahi berkerut.

"Sepertinya dia tidak bisa bernapas. Apa kamu memberinya jamur yang salah?" tanya Wira yang memegangi kedua lengan Rimei.

"Salahnya sendiri karena terlalu ceroboh. Seharusnya kita makan jamur di dalam air."

Wira menyambar jamur kemudian memakannya. Setelah itu dia membopong Rimei dan berlari ke arah laut.

"Tunggu aku! Kenapa kalian begitu tidak sabar?"

Dada Rimei seperti terbakar ketika berusaha memasukkan udara ke paru-paru. Betapa terkejutnya dia ketika sebuah gelembung muncul saat kepalanya terendam air. Rupanya Wira sudah berhasil menyelam dengan membawa dirinya.

"Terima kasih," ucap Rimei yang berusaha lepas dari pelukan Wira.

Kali ini pipinya memerah bukan karena tidak bisa bernapas, tetapi karena perlakuan lembut Wira kepadanya. Harusnya Rimei tidak terlena dengan perhatian ini. Wira pasti sedang berusaha membalas budi baiknya.

"Kuakui, kamu memang pandai berenang," ucap Gisya yang sudah berhasil menyusul.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan. Arah mana yang harus kita tuju?" tanya Wira yang memutar tubuh untuk memperhatikan sekeliling.

"Merah, Meri tinggal di Desa Merah. Kita harus menemukan gerbang menuju desa itu."

Mereka bertiga terpisah ketika gelombang menghantam punggung.  Wira mendekati Rimei kemudian memegangi tangannya. Gisya bergabung tak berapa lama kemudian.

"Huh, kenapa kamu hanya menolong Rimei saja?" goda Gisya.

"Dia, dia sangat lamban. Kalau aku tidak menolongnya, dia pasti lama bergabung dengan kita," ucap Wira dengan terbata-bata.

Mata Gisya menyipit, tetapi Rimei tidak mau menanggapi godaan itu. Rimei malah mencolek Wira.

"Kita ke arah utara. Air itu terlihat berwarna merah."

Wira mengangguk dan mulai berenang dengan tangan yang masih memegangi Rimei. Gadis itu merasa seperti sebuah karung yang ditarik karena tidak perlu menggerakkan tangan untuk bergerak.

Kali ini Gisya tidak lagi memprotes karena melihat betapa lambat gerakan Rimei, kalau tidak dibantu Wira. Mereka bertiga meliuk menghindari terumbu karang dan semakin mendekati wilayah laut yang berwarna merah.

Namun warna merah itu hanya terlihat sejauh tiga meter karena setelah melewatinya, mereka melihat kaum Ingo yang berenang hilir mudik. Mereka serupa dengan putri duyung dengan rambut sewarna ganggang laut.

"Wow, ini menakjubkan." Gisya berputar dengan lambat untuk mengagumi sekitar.

Namun, mereka dengan cepat dikepung oleh sepasukan Ingo yang membawa senjata berupa tombak.

"Apa tujuan kalian memasuki wilayah Desa Merah?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rimei di Negeri ClobusowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang