BAb 5. Laut

10 2 2
                                    

"Apa kamu yakin? Itu laut? Jangan-jangan kamu kaum Mer?" Gisya menyipitkan mata saat mengamati Rimei.

Rimei masih terpaku menatap laut, tidak menyadari kegusaran hati Gisya.

"Kenapa kita tidak mencari perahu untuk menyeberang ke pulau tempat tinggal Meri?" tanya Wira dengan polosnya.

"Pulau? Meri tidak tinggal di pulau. Dia tinggal di bawah laut yang disebut Ingo." Gisya menjelaskan dengan gemas.

"Jelas-jelas kita tidak akan bisa mengikuti Rimei ke sana." Gisya berkacak pinggang sambil berjalan mondar-mandir.

"Aku bisa menyelam dengan ahli," ujar Wira dengan kebanggaan yang tidak disembunyikan.

"Hello, kita tidak membicarakan tentang menyelam yang memakai berbagai alat pendukung. Kita bicara tentang menyelam langsung selama berjam-jam atau mungkin berhari-hari. Waktu di Ingo berbeda dengan waktu kita. Kadang kala lebih lambat, lebih cepat, atau kalau beruntung bisa sama persis dengan waktu kita. "

Wira membuka mulut hendak bertanya lagi tapi Gisya sudah melanjutkan pembicaraan. Cewek itu memang suka mendominasi pembicaraan.

"Aku kaum tanah dan kamu kaum udara jadi kemungkinan bertahan di Ingo sangat sedikit. Kita bisa mati kehabisan napas."Gisya menunjuk dirinya dan Wira bergantian.

"Aku juga kaum tanah." Rimei berkata lirih. Dia memeluk diri sendiri, merasa bingung sama seperti yang lain.

"Aku harus segera masuk ke Ingo sebelum matahari terbenam." Tanpa diduga, Rimei berlari menuju laut.

Wira dengan kecepatan penuh mengejar dan menghadang Rimei. Bunuh diri kalau Rimei nekat seperti itu.

"Kenapa harus cepat-cepat? Apa yang terjadi kalau matahari terbenam?" Gisya mendekati Rimei.

"Saat itu aku akan berubah menjadi kurcaci. Perubahan itu akan sangat menyakitkan. Menjadi kurcaci berarti kehilangan kelincahan untuk bergerak." Rimei memandang Gisya dengan tatapan putus asa karena harus mengatakan rahasia terbesarnya. Rimei tidak punya pilihan karena dia tidak tahu lagi bagaimana menghindari dua orang ini. Lambat laun mereka akan menyadari ada yang berbeda dari dirinya.

"Kurcaci? Ya ampun. Kamu kurcaci yang waktu itu memberi makan buat kami?" Gisya menatap kagum. Mengamati Rimei dari bawah ke atas dengan mata berbinar. "Ini membuatku merasa yakin untuk mengikutimu."

Rimei memutar bola mata. Pandangannya beralih menuju laut. Gisya menatap Rimei lekat. Rimei terlihat putus asa.

"Kita harus masuk laut waktu malam." Gisya membuat keputusan sepihak.

"Sekarang saja. Kalau malam nanti gerakanku jadi selambat siput."

"Kamu mau berubah di dalam air? Lagian saat malam kekuatan Ingo lebih besar. Apa lagi nanti maam bulan purnama." Penjelasan Gisya membuat Rimei mendapat pencerahan.

"Di sana ada gua yang aman. Lebih baik kita beristirahat sambil memikirkan rencana selanjutnya." Wira memecah kesunyian diantara keduanya.

"Wah, kamu pintar." Gisya mengapit lengan Wira, menyeretnya menuju gua.

Wira melambaikan tangan pada Rimei. Meminta pertolongan agar lepas dari Gisya. Wira tidak suka berdekatan dengan cewek cerewet. Rimei tersenyum simpul. Mungkin dia memang butuh teman perjalanan seperti mereka ini.

Gisya melompat riang dan melepasakan Wira. Dia takjub karena Wira juga sudah menyiapkan perapian, bahkan sudah ada beberapa ikan yang siap dibakar.

"Sejak kapan kamu menyiapkan ini?" Dahi Rimei berkerut.

"Sejak kalian mulai berbicara. Gisya kalau berbicara kan pasti lama. Dari pada menunggu lebih baik aku mencari makan."

Mereka bertiga makan dalam diam. Masing-masing berkutat dengan pikiran sendiri hingga tidak menyadari kalau matahari mulai terbenam. Rimei sudah mengambil ransel dan duduk di pojok, menyelimuti dir dengan selimut.

"Apa pun yang kalian dengar, tolong jangan mendekat. Selimut ini harus tetap menyelimutiku," pinta Rimei.

Rimei di Negeri ClobusowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang