BAb 4. Meri

34 3 2
                                    

Rimei meringkuk dalam ceruk yang tersembunyi dari jalan saat terpeleset. Dia merapatkan kembali selimut sambil menunggu matahari terbit. Rimei mengambil sebuah apel merah dari dalam ransel lalu menggigitnya.

"Aaa..." Sebuah teriakan lolos dari bibirnya padahal dia sudah berusaha untuk meredam dengan menggigit apel keras-keras. Rasa sakit akibat perubahan akan mencapai puncak saat akan selesai.

Rimei menutupi mata dengan tangan saat selimutnya dibuka paksa oleh seseorang.

"Kamu nggak papa? Lho, kamu kan yang kemarin menyelamatkanku?"

Rimei berteriak kesakitan, apel yang digigit jatuh terguling saat kaki Wira tidak sengaja beradu dengan kakinya yang sakit.

Wira dengan sigap membuka selimut yang menutupi kaki Rimei. "Hanya lecet kecil."

"Tapi sakit," rengek Rimei.

Suara gemerisik dedaunan kering terdengar saat Rimei berusaha bangun. Gisya memegang lengannya agar gadis itu bisa berdiri.

"Terima kasih." Rimei mengucapkannya dengan tulus. Dia sedikit membungkuk untuk mengambil selimut. Melipatnya dan memasukkan kembali ke dalam ransel.

"Aku harus melanjutkan perjalanan." Rimei mencangklong ransel dan berjalan tertatih meninggalkan mereka.

"Tunggu! Kamu tidak bisa berjalan jauh dengan kaki terluka seperti itu." Wira membentangkan kedua tangan untuk menghalangi jalan.

"Hanya lecet kecil," jawab Rimei sinis. Membalikkan perkataan Wira tadi.

"Maaf, maaf sudah menyinggungmu ternyata kamu butuh perawatan. Lihat! Darahnya masih keluar."

"Aku bisa sendiri." Rimei menyingkirkan tangan Wira. Baru dua langkah berjalan, dia sudah terjatuh. Ternyata kakinya semakin sakit.

Wira dengan sigap menangkapnya dan membantu duduk di atas batu besar. "Ijinkan aku mengobati."

Gisya mendekat. Dia meremas pelan bahu Rimei untuk menunjukkan dukungan. "Sebaiknya kamu menyetujuinya."

Rimei mengangguk pasrah. Wira menggulung ujung celana Rimei dengan hati-hati agar tidak menyentuh luka.

"Ternyata lukamu dalam juga." Wira mengambil salep untuk dioles.

Rimei meremas tangan Gisya dan berteriak keras-keras saat Wira menekan luka itu dan membebatnya dengan perban.

Gisya menghapus keringat yang muncul di muka Rimei. Rimei menyandarkan kepala di bahu Gisya. Dia lemas, karena kehabisan tenaga.

"Minum dulu." Wira menawarkan bekal padanya.

Rimei tidak membantah kali ini. Dia meneguk air dengan rakus. Menahan sakit terbukti membuat lemas dan kehausan.

Gisya menawarkan apel merah yang mengkilat. Bau harum itu membuat perut Rimei berbunyi nyaring. Rimei tersipu malu.

Gisya juga memberikan apel yang sama pada Wira. "Sepertinya kita harus beristirahat sejenak sambil menunggu tenaganya pulih."

"Kalian tidak harus menungguku."

"Bagaimana kami bisa pergi kalau kamu terluka seperti ini." Wira berjongkok menatap Rimei.

Pipi Rimei bersemu merah. "Tapi mengapa?"

"Karena kamu sudah menolong dan aku harus membalas budi." Gisya juga ikut duduk bersandar pada pohon besar tempat Rimei beristirahat.

"Kalian sudah menolongku, anggap sudah impas." Rimei berpegang pada batang pohon saat berdiri.

"Kalian pasti punya tujuan sendiri jadi kita berpisah di sini."

Rimei di Negeri ClobusowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang