🌵2

13 8 2
                                    

"Aku nggak bisa nggk cemburu liat kamu ketawa kea tadi sama cewe yang pasti kamu bilang cuma temen!"

"Aku cemburu, sangat git."lirihku sambil menundukkan kepala dengan tangan yang mengaduk-aduk mie ayam yang masih utuh.

Dia berdehem lalu membenarkan posisi duduknya. Aku menatapnya dengan ragu-ragu, dia balas menatapku lekat.

"Tapi yang tadi itu cuma temen aku seriuss sayangg " lanjutnya.

Aku malas menanggapinya, selalu saja seperti ini. Jawaban yang menurutku nggak banget.dia masih menatapku, Sedangkan aku sudah beralih menatap sembarang arah,rasanya ingin aku banting ini perasaan sekalian sama mangkuk mie ayam ini ke muka dia. Sigit menyadari kekesalan ku dengan ucapan terakhirnya.

"Aku tau batasan aku temenan sama cewe sa" ucapnya

"Kita juga awalnya cuma temen git, kamu pikir aku dulu nenek moyang kamu apa?? Nggk menutup kemungkinann kamu jatuh hati ke salah satu yang kamu sebut cuma temen itu"

"Kamu nggk mikirin perasaan aku apa?? Ini bukan yang ke satu ke dua kamu kea gini, kamu tau aku bakal cemburu tapi nggak ada yang berubah, tetep aja begini" jawabku menggigit bibir bawahku menahan tangis yang sudah aku tahan dengan sekuat jiwa.

Dia masih terdiam.

"Yu pulang dah sore" ucapku pada akhirnya.

🌵🌵🌵

Diperjalanan kami tidak mengeluarkan sepatah katapun,aku sibuk memikirkan apakah yang tadi aku omongin menyakitinya. Dia tidak berbicara semenjak beranjak dari warung bi Yuyun tadi,

Sampai di depan rumahku ,aku turun dari motornya.

Dia pun pamit pulang.

🌵🌵🌵

Sesampainya di rumah, aku di suguhi pertengkaran dari kedua orang tua ku yang udah biasa aku liat. Entah permasalahan apalagi yang mereka ributi. Yang jelas aku lelah dengan semua hal dihari ini. Semuanya tepat sekali.sangat tepat membuat runtuhnya pertahananku .  Aku melewati mereka dengan sebiasa mungkin, seperti yang biasa aku lakukan.

Mereka seakan tidak melihat kehadiranku, aku menatap mereka dengan wajah datar yang aku buat sebisa mungkin.

18 menitan aku menyaksikan mereka bertengkar, aku masih menatap mereka yang tidak memperdulikan aku.

Aku muak, aku banting tasku ke tembok.
Mereka menatapku.

"Tidak bisakah kita menjadi keluarga selayaknya keluarga, menjadi orangtua seperti yang teman-teman ku punya"

"Tidak bisakah semuanya baik-baik saja?"

"Aku tidak bisa menjadi sekuat yang kalian pikir, aku terluka hebat melihat setiap hari pertengkaran yang kalian lakukan"

"Kalian terlalu mementingkan pekerjaan"

"Tidakkah kalian rasa aku juga butuh kasih sayang seperti orang lain"

"Bahkan kalian tidak pernah menanyakan kabarku,tidak pernah menanyakan tentang sekolahku, tidak pernah menanyakan serapuh apa aku ketika melihat kalian bertengkar. Aku butuh kalian yang baik-baik saja"
lirihku dengan air mata yang sudah tidak bisa aku tahan.

Aku menggigit bibir bawahku menahan Isak tangisku. Aku menatap mereka yang sedang menatapku tak habis pikir. Bahkan aku juga tidak menyadari ucapanku barusan.

"Maap aku memuakan"  ucapku sambil berusaha tersenyum. Aku berjalan melewati mereka. Kulihat ibuku sudah berkaca-kaca. Aku berlari menuju kamarku.

Sesampainya di kamarku aku terisak di bawah selimut tebalku. Tak ingin aku mengeluarkan suara tangisanku yang pasti amat keras. Aku membekap mulutku berusaha agar tidak ada suara.

Menthem'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang