first way

42 19 12
                                    

Hadirnya dia di semesta ga bakal buat kamu bisa memilikinya.

~•~

Tak ada yang bisa kulakukan saat ini, namun ada sesuatu yang akan kucapai nanti.

"Rara!" Panggilan seseorang membuat siswi berkuncir kuda itu menoleh. Mengernyit, lalu menutup bukunya.

"Apa, Dea?" tanya Rara menatap siswi yang kini mendekatinya.

"Lo nulis apa lagi? Surat cinta? Atau kata-kata mutiara?" tanya Dea sambil menyenggol lengan sahabatnya itu.

"Sembarangan." Rara menepuk bahu Dea dengan bukunya, tak peduli dengan Dea yang mengaduh kesakitan.

"Gue lagi nulis utang-utang lo, nih. Banyak amat kayak dosa-dosa lo," ledek Rara.

"Ah, lo, Ra. Napa malah ke utang gue, sih? Gue jadi tersanjung, nih."

"Serah lo, deh. Bangga banget punya utang banyak," ucap Rara sambil beranjak dari duduknya.

Lebih baik dia pergi dari awal. Jika tidak, ia harus menggunakan emosi dan logika untuk berbicara dengan Dea yang tak masuk akal. Entah mengapa dirinya bisa berteman lama dengan Dea si banyak bicara.

Sedangkan Dea kini mengikutinya dari belakang, sesekali ia bersiul menggoda Rara layaknya seorang cowok genit.

"Rara, piwit."

Rara hanya bisa bersabar, ia harus bisa menahan gemuruh itu hingga nanti keluar sendirinya.

Namun, sepertinya itu tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

Rara menghentikan langkahnya membuat seseorang yang dibelakangnya menabrak punggungnya. Terasa sakit memang, tapi itu tak terpikir oleh Rara saat ini.

"Astaga, Rara. Lo mau bikin kepala gue benjol?" tanya Dea dengan wajah menyedihkan.

"Bagus! Kalau bisa sampai otak-otak lo juga benjol," gerutu Rara, memilih pergi.

"Aelah, bilang aja mau lo jual, kan?"

~•~

"Ga ada guru atau gurunya ga ada?" tanya Rara menatap teman-temannya.

"Sama aja, Bambang. Lo mau dipukul, hah?" jawab salah seorang dari mereka.

"Tio! Udah gue bilang dari awal jangan nyebut nama Bambang!" gerutu seseorang berkacamata yang menatap Tio dengan kesal. Sesekali ia menaikkan kacamatanya yang merosot.

"Emangnya kenapa?" tanya Rara penasaran.

"Bambang nama bapak gue," jawab siswa itu dengan kesal.

"Lah, itu lo nyebut nama bapak lo sendiri. Gimana, sih?" balas Tio.

"Ya, kalau gue ga apa-apa. Tapi lo? Emang lo teman bapak gue?" tanya siswa itu menatap Tio kesal.

"Boleh-boleh. Minta nomor whatsappnya, dong?"

Siswa itu hanya membuang muka kesal. Jelas saja, siapa yang ia lawan saat ini. Tak akan ada manfaatnya dari pertengkaran itu, yang ada malah emosi.

Sedangkan Tio malah cengengesan sendiri hingga membuat Rara memukul lengannya.

"Lo ga boleh gitu, Tio. Ntar kalau yang lain pada tahu nama bapak lo, lebih parah." Terdiam. Raut wajah gembira tadi kini berubah menjadi gelisah.

Tio memajukan kursinya mendekati Rara sambil membisikkan sesuatu di telinganya.

Dea memilih menyimak keduanya. Ia merasa bergabung dengan pembicara keduanya tak akan bisa Dea cerna.

"Yaudah kalau gitu sebagai bayaran tutup mulut, gue mau lo ngerjain tugas gue. Mau?"

Inilah yang paling Tio tak suka. Rara selalu memanfaatkan keadaan dan juga kepintarannya. Namun, bagaimanapun ia harus melakukan itu demi nama bapaknya.

"Demi nama bapak gue," gumam Tio.

"Deal, ga?" tanya Rara menyadarkan lamunan Tio.

"Oke. Deal!"

"Haduh ... kenapa kesepakatan mereka seperti sedang berbisnis perdagangan manusia?" gumam Dea sambil menggelengkan kepalanya.

Tak berapa lama seorang guru masuk. Dengan rotan dan tentengan buku yang ia bawa, sorot matanya menandakan ketidaksukaan dengan kelas itu.

Ya, welcome to the Jungle. Dimana semuanya akan menjelma menjadi hewan ketika kelas jam kosong.

"Kalian jangan harap bisa bercanda lagi dengan saya. Paham!"

~•~

"Aish ... ribet banget jadi dia. Padahal bukan juga kelasnya malah ngatur," gerutu Rara sambil melempar kain lap itu.

"Namanya juga guru caper. Biar kepala sekolah sama guru lain itu salut sama dia," ucap Dea.

Hidup Rara tidak tenang saat guru itu masuk dan benar saja, kejadian ini terulang lagi.

"Lo berdua mending kerja daripada ngegosip ga jelas malah nambah dosa," ucap Tio yang sok suci.

"Dih, banyak bacot lo. Mending diam aja," tutur Rara.

"Eh, Ra. Lihat tuh ada Dito," bisik Dea sambil menunjuk ke arah siswa berjambul.

Seketika Rara melihat kearah yang ditunjuk oleh Dea. Matanya berbinar bercampur kagum melihat sosok yang mirip dalam bayangnya.

Sudah biasa jika Rara gugup dan terdiam. Dea hanya tersenyum, ia juga ikut senang ketika Rara sudah mulai membuka hatinya kembali.

"Tutup mulut lo bego! Ntar komodo masuk gimana?" ucap Tio mengusik Rara.

"Apaan, sih. Ganggu banget, lagian mana ada komodo bisa masuk ke mulut gue. Jangan ngaco," gerutu Rara.

Rara tampak lebih kesal ketika tahu bahwa Dito telah pergi dari sana. Padahal dirinya belum puas memandanginya.

"Dasar Tio. Gue bakal bikin lo kapok ntar. Awas aja."

~TBC~

Thank you jika kamu sudah membaca ini, aku harap dunia imajinasimu menyenangkan.

ARUNIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang