~Pakai filter jangan di wajah aja, gunakan juga di mulut.~
~•~
"Iya. Maaf. Gue salah," tutur Tio.
"Lain kali sebelum ngomong, difilter dulu mulutnya. Kita ga tahu gimana isi hati seseorang yang mendengarnya," ucap Dea, mengingatkan.
Baginya, Rara bukan bergantung pada orang lain, ia tahu jika Rara masih berusaha menerangkan kegelapan yang ada di hatinya saat ini.
"Yaudah, kita makan aja. Keburu masuk nanti," ucap Rara menyudahi pembicaraan itu. Rara langsung mengambil bangku dekat meja Dito.
"Kenapa harus di sini? Kan, meja kosong masih banyak." Tio memajukan kursinya sambil memegang botol kecap. Menatap heran manusia di depannya.
"Serah gue. Kalau lo ga mau, yaudah sono," ketus Rara. Tak berniat mengusir, namun manusia itu cocok diusir.
"Lo berdua mau pesan apa?" tanya Dea menatap keduanya bergantian.
"Gue yang biasa aja, deh. Lagi diet soalnya," celetuk Rara. Dirinya tak benar-benar sedang diet saat ini.
"Dih. Najis banget lo diet. Mau sekurus apa lagi lo? Sekurus semut?" sindir Tio sambil memajukan wajah songongnya.
Sialan memang, seandainya saja Tio bukan temannya, Rara pasti sudah melenyapkan mulut lemes milik Tio.
Oh, ayolah. Siapa yang akan menolak sebuah makanan, apalagi jika itu gratis. Oh, nikmat dunia.
"Ehm ... jadi ini mau pesan apa kalian?" tanya Dea dengan rasa sabarnya. Ia masih heran dengan segala hal yang harus diperdebatkan oleh keduanya.
"Gue capuccino aja, Dea. Siang-siang gini enaknya ngopi," celetuk Tio dengan tawa renyahnya.
Dea kini pergi, membuat keduanya harus menunggu untuk beberapa menit ke depannya.
Sembari menunggu, Rara menyempatkan dirinya untuk sesekali melirik cowok kesayangannya.
'Ayo, Ra. Kesempatan kayak gini ga boleh di sia-siakan.' Suara hatinya berkata demikian.
Tentunya Tio mengetahuinya. Ia berusaha menahan tawanya, namun usahanya cukup sia-sia.
Rara kini menatap sinis manusia gila itu. "Lo udah bertukar profesi jadi orang gila sekarang?"
Menghentikan tawanya, kini Tio menatap balik Rara dengan ketajaman matanya. "Lo? Kerjaan lo ngawasin anak orang?"
"Lah? Ga nyambung banget. Pantas aja ga ada cewek yang dekat sama lo," ejek Rara.
Tio tertawa, rasanya Rara harus tahu sesuatu yang hot. "Daripada lo? Suka tapi ga berani ungkapin. Pas ga ada orangnya, lo cari. Eh, pas ada di depan mata malah diam membeku."
Damn!
Lidah itu kini terasa berat, tak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Melihat lawan bicaranya terdiam, Tio tersenyum kemenangan.
"Tapi bukan berarti pada suatu hari nanti gue masih sama seperti sekarang," pungkas Rara dengan tenang.
"Karena perjuangan itu butuh alur untuk mencapainya. Entah baik atau buruk endingnya, kita harus terima." Kini berbalik Tio yang terdiam.
Tio mengangguk. Ia akui bahwa Rara adalah orang kuat, ia tahu cerita kehidupan Rara dulu. Dirinya dan juga Dea akan selalu mendukung apapun yang dilakukan Rara.
"Eh, tapi lebih ganteng gue daripada dia, kan?" gurau Tio garing.
Tio yakin Rara masih kesal, namun ia melihat Rara mengangguk setuju. "Iya, umur ga ada yang tahu soalnya," tutur Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA
Teen Fiction"Dit, kalau lo ga suka sama dia bilang dari awal. Jangan bikin dia kehilangan nyawanya!" ••• Dia yang dulu ada, tampak berbeda. Semuanya menjadi semu saat senja datang. Terdiam beberapa saat menatap potret kehidupan lamanya yang kini tersimpan di se...