~Lihat bagaimana aku akan menyadarimu bahwa aku adalah ratumu.~
~•~Ingin rasanya Rara menyapa, namun ia perlu memerlukan banyak tenaga. Takut jika saat ia menyapa nanti, jantungnya menjadi lemah.
Setelah meyakinkan dirinya, Rara mendekati orang itu.
"Hai!" sapa Rara.
Terlihat orang itu hanya terfokus pada bukunya dan earphone yang tergantung di telinganya.
"Pantas aja dia ga dengar, ternyata dia pakai earphone," gumam Rara.
Rara menoel-noel bahu orang itu untuk menyadarkannya.
Dito yang sadar akan sentuhan itu langsung mendongakkan kepalanya, menatap Rara yang tersenyum lebar.
"Hai!" sapa Rara sekali lagi.
"Hai," ucap Dito. Terkesan cuek, namun bagi Rara itu adalah hal lucu.
Oh, sungguh indah dunia percintaan ini, bukan? Apapun yang dianggap orang lain menyakitkan, namun tentu saja bagi orang yang masuk dalam perangkap cinta akan biasa saja.
"Kok lo di sini, sih?" tanya Rara. Ia mengulang lagi perkataannya dalam hati.
Merutuki dirinya ketika ia sadar akan sesuatu. Seharusnya ia tak perlu memakai kata 'sih' terkesan bahwa Dito mengganggu dirinya.
"Emang kenapa? Ini bukan halte punya bokap lo, kan?" tanya Dito, melihat sekitaran halte.
Rara dengan cepat menggeleng. Untuk apa bokapnya membeli sebuah halte?
"Bukan gitu. Tapi biasanya cowok-cowok famous kayak lo ikut ekskul. Biasanya ikut ekskul basket rata-rata," ucap Rara.
"Oh, ya?"
Rara menganggukkan kepalanya. "Ya. Dan lo ikut ekskul apa?" tanya Rara.
"Gue ga ikut apapun. Dan satu lagi gue bukan cowok biasanya, gue beda dari mereka." Setelahnya Dito memilih pergi dari halte itu, entahlah kemana perginya.
Setelah mendengar perkataan Dito, entah mengapa terselip rasa senangnya.
"Ga sia-sia gue suka sama dia," ucap Rara berdecak kagum.
"Eh, berarti cewek-cewek ga bakal cuci mata, dong, kalau Dito ga ikut ekskul manapun? Oh My Gosh."
Ingin rasanya Rara mengulang scene dimana mereka berbicara berdua untuk pertama kalinya.
"Kalau gini terus, bisa-bisa kupu-kupu dalam perut gue bakal terbang."
~•~
Bangunan itu tampak kokoh dari luar, namun sebenarnya ia rapuh. Berjalan masuk dengan menyeret tasnya, ia tampak kehilangan semangatnya sejak masuk ke rumah itu.
Dinding berlapis cat putih itu tampak menyilaukan matanya yang gelap. Gelap yang ia rasakan saat ini benar-benar menutup dirinya. Cahaya yang menyelinap masuk tak berani mendekatinya.
Berhari-hari dirinya hanya sendiri di rumah, untungnya malam ini ia tak kesepian lagi setelah Dea mau menemaninya.
Berharap datang malam lebih cepat dari biasanya, itu sangat ia tunggu-tunggu.
"Kapan keluarga gue bisa kumpul lagi?" tanya Rara pada dirinya sendiri. Berdiri, menatap sejenak potret keluarganya itu.
"Bodoh lo, Ra. Kehilangan itu mengubah semuanya," ucap Rara merutuki dirinya.
Ia memukul-mukul kepalanya, menghilangkan beban pikirannya. Jika bisa, ia ingin menghilangkan semua sisa kenangan itu.
Luka itu sampai saat ini masih menggores dibenaknya sejak kejadian yang tiba-tiba menimpa dirinya dan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA
Novela Juvenil"Dit, kalau lo ga suka sama dia bilang dari awal. Jangan bikin dia kehilangan nyawanya!" ••• Dia yang dulu ada, tampak berbeda. Semuanya menjadi semu saat senja datang. Terdiam beberapa saat menatap potret kehidupan lamanya yang kini tersimpan di se...