Pengacau makan malam

8 1 0
                                    

~pikiran buruk dapat memengaruhi, namun untuk pikiran baik jarang memengaruhi~

~•~

Ketukan pintu itu membuat Rara buru-buru menuruni tangga. Ia bisa menebak siapa yang ada dibalik pintu itu.

"Akhirnya lo datang juga!" Rasa senang hinggap dihatinya. Rara langsung mengajak masuk Dea menuju kamarnya.

"Gila, sih. Untuk pertama kalinya gue datang lagi setelah sekian lama," ucap Dea takjub.

Jelas saja, keduanya kini sudah jarang bermain di rumah Rara, bahkan sudah tidak pernah lagi semenjak mereka masuk SMP.

"Gue rindu banget sama kamar lo ini. Masih ingat banget gue tentang kenangan di sini," tutur Dea sambil menatap kamar itu.

Ingatan Dea yang tak gampang lupa dan juga tempatnya yang mendukung membuat ia gampang mengingatnya.

"Iya, apalagi saat kita rebutan guling. Malu banget ingatnya," ucap Rara.

"Tapi kenapa lo ingatin gue, padahal gue lupa yang itu. Miss banget." Menarik napasnya, Dea ingin mengulang kebahagian itu.

"Sama. Gue juga rindu, gue ga mau keluarga gue yang saat ini," lirih Rara.

Ini adalah hari spesial, Dea yang melihat raut wajah Rara yang berubah kini memikirkan sesuatu.

"Oh, ya. Bibi lo nginap di sini, Ra?" tanya Dea mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin jika malam ini ia melihat Rara sedih. Dea belum siap lagi.

"Nggak, cuma Pak Ahmad. Itupun di belakang," jawab Rara.

"Lo tiap hari gini mulu? Jujur rumah lo kelihatan lebih menakutkan daripada rumah hantu di pasar malam," ucap Dea, memerhatikan sekelilingnya.

Bukan maksud Dea menyakiti perasaan Rara, tapi ia benar-benar tak habis pikir dengan papa dan mama Rara.

Bisa-bisanya mereka meninggalkan anak yang butuh kasih sayang di sini, pikir Dea.

Rara mengangguk, ia tak marah dengan apa yang dikatakan Dea karena itu memang benar.

"Tapi tenang aja, Ra. Gue bakal sering-sering ke sini. Nyokap bokap gue juga udah izinin gue," tutur Dea.

Sudut bibir itu menarik ke atas menggambarkan bahwa ia kini merasa senang. Bersyukur jika Tuhan masih mengirimkan kepadanya seseorang yang baik.

"Oh, Dea. Gue mau cerita, tapi jangan kasih tahu sama siapa-siapa, apalagi kalau kedengaran sama Tio," ucap Rara, memperingatkan.

Sebelum Rara bercerita, ia harus menyuruh Dea untuk berjanji. Ia takut jika mulut bebek Tio menghancurkan semua imajinasinya bersama Dito.

"Oalah, kalau itu tenang aja. Selagi si Tio ga nanya-nanya pastinya." Rara lantas berdecak. Ia tak yakin jika rahasia ini aman dengan Dea.

"Emangnya lo mau cerita apa? Aneh banget sampai janji kayak gitu. Pasti ada sesuatu?" tanya Dea menebak.

Terkekeh. Rara mengangguk sekilas menjawab pertanyaan Dea. Jika tak ada sesuatu, buat apa Rara harus repot-repot membuat perjanjian dengan Dea?

"Ini tentang gue sama Dito," bisik Rara. Dea mengernyit, namun ia memilih untuk menjadi pendengar yang handal kali ini.

"Tadi gue sama dia ngomong, perdana lagi. Hebat banget ga, sih?" Wajah Rara tampak berseri.

Baguslah, Rara kini mulai membaik, Dea ikut senang. "Lo sama Dito ngomong apa aja?" tanya Dea.

Rara hanya mengangkat bahunya, tak banyak yang dibicarakan oleh keduanya tadi. Namun, bagi Rara hal itu sangat bermakna.

"Gue harap ini permulaan yang bagus."

~•~

"Dit, makan, Nak!" Seruan itu memaksa Dito keluar dari kamarnya.

Menyeret kakinya yang enggan keluar dari ruangan yang dominan bercat hitam, terkesan seperti ruangan spiritual.

Di meja makan, mama dan adiknya sudah menyiapkan hidangan. Sedangkan ia dan papanya hanya diam menyaksikan keduanya.

Lidah keluh yang membuat Dito membisu, termasuk papanya. Ia bisa merasakan aura negatif dari tatapan papanya itu.

"Kamu tuh, Dit. Dimana-mana pasti megang buku. Iya kalau buku pelajaran, lah ini malah komik. Papa ga suka lihatnya," ucap Bimo-Papa Dito-sambil menggeleng.

"Ya, kalau papa ga suka ya ga usah lihat. Ga perlu ngasih tahu juga," tukas Dito.

Mita, mama Dito yang melihat keduanya lantas melerai. Ia tak yakin jika situasinya akan membaik ke depannya.

"Aduh, sudah-sudah. Ini lagi makan malam jangan debat kayak gitu," ucap Mita.

"Papa, biarin aja Dito baca bukunya. Kalau itu kesukaannya," lanjut Mita.

"Masalahnya ini buku komik, Ma. Lihat Adez rajin baca buku pelajarannya ga kayak Dito," tutur Bimo.

Kini papanya malah berlanjut membandingkan Dito dengan abangnya itu.

"Pa! Udah dibilang jangan mancing lagi. Ini lagi makan malam, stop dulu." Mamanya selalu ada dipihak Dito, ck mungkin hanya sebagai pelerai.

Menyakar sampul buku komiknya, Dito memilih memundurkan kursinya. Berjalan cepat meninggalkan meja makan itu.

"Lihat, kan? Lihat ulah papa yang lagi-lagi mengacau makan malam. Gini aja terus," tutur Mita yang emosi.

Neya, adik Dito hanya terdiam menyaksikan perdebatan itu. Dirinya selalu bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa papanya membenci salah satu abangnya itu.

"Ney, ayo makan. Habiskan setelah itu kamu ke kamar," ucap Mita.

~•~

"Ra, kita ga ada tugas, kan?" tanya Dea yang sibuk merapikan buku-bukunya.

Sekilas Rara melihat kesibukan Dea, ia menggeleng dan mulai menyisir rambutnya.

"Kayaknya ada yang udah mulai mikirin penampilan, nih?" sindir Dea membuat Rara cengengesan.

"Baru mulai, Dea. Lo diam aja. Awas aja si Tio tahu, bisa hancur rencana gue," tutur Rara.

Dea mengangguk patuh dan menutup rapat-rapat mulutnya. Keduanya kini menuruni tangga untuk sarapan.

Tak ada perubahan signifikan dari rumah ini, Rara rasa papanya tidak pulang semalam.

"Bokap lo ga pulang? Gila betah banget di kantor," ucap Dea.

"Entah. Gue ga mau mikirin itu sekarang," ucap Rara malas.

Menghembuskan napasnya, Rara melahap makanannya tidak selera. Pikirannya melayang-layang entah kemana.

Semenjak peristiwa itu, kedua orang tuanya tidak pernah terlihat akur. Ia juga tak pernah melihat lagi kebersamaan keluarganya.

Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini?

~•~

"Dea, gue malas banget nih," ucap Rara ketika melihat siluet tubuh yang mulai mendekati mereka.

Tampak semakin jelas terlihat, Dea hanya terkekeh. "Udah lo tenang aja. Dia ga bakal ganggu, kok."

"Hello, guys! Kalian rindu aku? Oh, pastinya," celetuk Tio.

"Najis banget rindu sama lo, ga guna tahu," sahut Rara, Dea pun membenarkan sahutan itu.

"Ih ... sok banget sih, neng." Timpukan itu tak sempat membuat Rara mengelak. Gerutuan Rara kini terdengar sembari merapikan kembali seragamnya.

"Idih, sok rapi banget nih anak. Eh, Dea, ini teman lo lagi kesambet apaan?" tanya Tio.

Tak mempedulikan ucapan Tio, Rara hanya sibuk merapikan. Sedangkan, Dea memilih menaikkan bahunya sekilas.

"Udah, yuk masuk kelas. Udah mau bel itu," ajak Dea sambil menarik tangan Rara.

Tio yang tertinggal hanya menatap bengong, hingga jiwanya kembali tersadar.

"Eh? Kok gue ditinggal?"

~TBC~

Hai, jangan lupa klik votenya, dong (◔‿◔)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARUNIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang