BAB 3 - Second Encounter

852 147 37
                                    

"Tapi kalau hobi lo udah jadi pekerjaan, maka lo nggak bisa seenaknya mencampuradukan tanggung jawab dengan perasaan. Karena kerja itu sesuai perintah bos, bukan hati."

~~0o0~~

Kata orang, masa SMA adalah masa-masa terindah. Namun bagi Kiya kini, masa SMA adalah mimpi buruk. Diselingkuhi pacar pertama, lalu berakhir dengan menangisi sang mantan setiap malam selama dua minggu tanpa henti. Kenyataan paling kejam, River dan Vanessa sering menjadi buah bibir anak-anak SMA Bangsa karena dianggap sebagai couple goals.

Pasangan selingkuh itu, woy! Batin Kiya meronta setiap kali menemukan gerombolan cewek yang berdecak iri karena hubungan River dan Vanessa.

Dan seminggu terakhir, keadaan semakin memburuk saja. Mendadak pasangan selingkuh itu pamer kemesraan di publik selayaknya orang kasmaran. Jika ada River di satu tempat, maka akan ada Vanessa yang senantiasa dia gandeng. Menjijikan!

Sekarang yang Kiya bisa lakukan adalah melupakan River dan seluruh perasaannya pada cowok itu. Agung, ketua redaktur Bangsa Magazine dengan senang hati menambah beban kerja Kiya di Nuansa—rubrik jalan-jalan. Dengan banyaknya perjalanan dan kesibukan yang akan cewek itu lakukan, Kiya berharap bisa menghapus kenangan dirinya bersama River.

Sambil memasang headset-nya, Kiya berjalan menuju ruang jurnalistik. Jujur saja, dia malas ke sana karena headline masih berkutat pada River dan Vanessa. Hanya saja, dia tidak bisa menolak saat Agung tiba-tiba menyuruhnya datang bersama kamera kesayangannya.

Begitu masuk ruangan berukuran tiga kali tiga ini, mudah saja menemukan Agung yang tinggi-besar. Cowok itu langsung beranjak dari kursinya, lalu berjalan mendekati Kiya. Tak ada senyum lebar dengan dua lesung pipi di wajahnya untuk Kiya. Aneh.

"Gung!" sapa Kiya, mencoba tampak tak curiga.

"Kamera lo sini!"

Kening Kiya mengernyit bingung. Namun, cewek itu tetap mengambil kamera dari lehernya, lalu menyerahkannya pada Agung. "Kenapa sama kamera gue?"

Bukannya menjawab, Agung malah mengutik kamera Kiya. Tak lama cowok itu menggeleng. "Foto apa-apaan ini, Kiya?"

Refleks, Kiya mengintip foto-foto yang tengah Agung lihat. Kening cewek itu semakin berkerut lantaran tak menemukan keanehan di dalam potretnya. "Kenapa sama foto-foto gue? Perasaan B aja, Gung."

Agung mendesah panjang. Segera saja cowok itu menunjukan layar kamera dan memamerkan tangkapan gambar karya Kiya. "95 persen foto-foto di sini, hitam-putih. Jarang banget gue menemukan foto berwarna di sini."

"Ya ... hitam-putih kan bagus, Gung," ucap Kiya jujur. Baginya, pasca patah hati, warna kesukaannya berubah menjadi warna monokrom.

"Gue akui bahwa tone warna hitam-putih ini bagus, tapi Kiya, foto-foto yang lo ambil ini rasanya gelap banget, sedih, suram, dan sejenisnya." Agung mengembalikan kamera Kiya, lalu melanjutkan ceramahnya, "Kiya, Nuansa itu rubrik jalan-jalan. Tujuan rubrik itu adalah menggambarkan dengan nyata suatu tempat lewat tulisan dan juga gambar. Kalau foto-foto lo sesuram ini, museum yang harusnya terkesan antik malah jadi serem dan angker, Kiya. Merinding!"

"Serius?"

"Gue tahu lo habis patah hati, Kiya," ucap Agung seraya menepuk pundak Kiya. Ketua redakturnya itu tahu semua hal tentang hubungan Kiya dan River, mengingat Agung adalah pacar Maria. Dan semua rahasia yang Maria pegang akan otomatis Agung ketahui. "Putus emang nyakitin, gue paham itu. Cuma kan bukan berarti lo ajak semua orang merasakan kesedihan lo, Kiya. Gue tahu, lo suka fotografi. Tapi kalau hobi lo udah jadi pekerjaan, maka lo nggak bisa seenaknya mencampuradukan tanggung jawab dengan perasaan. Karena kerja itu sesuai perintah bos, bukan hati. Sekarang, lo ke rumah kaca dan foto-foto bunga di sana. Gue mau, tempat yang biasa aja dan terkenal serem itu terlihat menarik. Sana!"

#MoveOn - Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang