"Aku hanya manusia biasa yang mudah berburuk sangka. Semuanya terlalu janggal untuk diterima oleh akal."
-Laut Tengah-
Kejadian tadi membuat Haia kehilangan jejak Bhumi, tetapi ini bukan pertama kalinya dia ke luar negeri. Haia sudah pernah mengunjungi beberapa negara seperti Rusia, Singapura, dan Hongkong untuk mengikuti perlombaan mahasiswa tingkat internasional.
Tidak sulit bagi Haia menyusun logika berpikir di mana Teuku Bhumi Syam yang kaku itu berada. Dia pasti ada di lobi pintu kedatangan. Setelah berjalan beberapa meter, Haia melihat laki-laki itu berdiri sambil menelpon seseorang. Tak lama kemudian, ada seorang anak kecil perempuan berambut panjang dengan boneka kecil di tangan berlari menghampiri Bhumi.
"Abba!!!" seru anak kecil tersebut membuat Bhumi berjongkok dan merentangkan tangan.
"Suriah!"
Dalam hitungan detik anak kecil itu sudah berada dalam gendongan ayahnya.
Haia cukup terkejut melihat Bhumi yang dingin, kali ini memberikan ekspresi kebahagiaan terpancar tulus dari hati. Mata Bhumi yang agak sipit tertutup kacamata itu bahkan berbinar. Gigi-gigi yang nyaris tidak pernah Haia lihat karena saking jarangnya pria itu berbicara, kali ini terpampang nyata.
"Abba, bogoshipo!" (Abba, aku kangen!) seru Suriah mengecup pipi Bhumi.
"Jinja? Eolmana bogoshipo?" (Beneran? Seberapa banyak kangennya?) tanya Bhumi mencolek hidung kecil mancung putrinya.
Suriah merentangkan tangan membentuk lingkaran besar untuk menunjukkan rasa rindunya yang tidak terhingga pada sang ayah. "Manhi!" (Banyak—tak terhingga)
Bhumi yang gemas dengan tingkah Suriah segera mengecup pipi chubby putrinya. Mereka tertawa ringan sampai seorang perempuan dengan gamis warna cokelat tua yang dibalut jas musim dingin warna putih dan kerudung warna krem dengan motif kotak-kotak mendekati sepasang ayah dan anak itu. "Jal jinaeseyo, Yeobo?" (Bagaimana kabarmu, Sayang?) tanyanya lalu mencium tangan suaminya.
"Sejak kapan istriku menjadi orang Korea?" jawab Bhumi seraya mengecup kening, pipi, dan hidung perempuan itu.
"Hihihi." Wanita itu terkekeh geli membuat gigi putihnya yang rapi dan senyuman indah terukir jelas pada wajah tirusnya.
Haia hanya diam memperhatikan tiga orang yang saling melempar kerinduan. Dia seperti tamu tak diundang. Suasana ini sebenarnya membuat Haia canggung. Akan tetapi, Haia harus bisa bawa diri. Berpura-pura tidak lihat itu lebih baik. Bukan karena Haia sebal apalagi cemburu. Dia hanya ingin menenangkan hati agar tidak ada pikiran negatif yang melintas dalam pikiran.
"Kamu pasti Haia, 'kan?" sapa wanita dengan mata bulat dan iris warna abu-abu menghampiri Haia.
"I-iya eum ... Mbak—Ai—" Haia masih ragu mengucap nama perempuan di depannya.
Memahami kebimbangan itu, ibu dari satu orang anak ini segera menjulurkan tangan dan tersenyum ramah. "Iya. Aku, Aisa. Aisa Alexandria," ujar Aisa.
Haia segera membalas jabatan tangan tersebut dan menatap sepasang mata yang melengkung seperti bulan sabit. "Haia, Mbak. Ayla Hagia Sophia," jawab Haia.
Suriah yang melihat bundanya berbicara dengan orang asing segera minta turun dari gendongan Bhumi. "Tante ini siapa, Bunda?" tanya Suriah.
Aisa mengacak rambut putrinya. Dia tahu pasti anaknya belum paham kalau sekarang telah memiliki dua orang ibu. "Ini bukan Tante, Sayang ... ini—"
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT TENGAH
SpiritualNOVEL SUDAH TERBIT - "JADI ISTRI KEDUA DEMI KULIAH S-2 DI KOREA? LO GILA?!" ⚠️ Tenang. Ini bukan cerita tentang pelakor atau poligami dengan lika-likunya. Kisah ini milik Haia, seorang gadis berusia 22 tahun yang berjuang meraih cita di tengah duka...