Bab 1 : Nine

741 123 7
                                    

Kelopak berbulu mata lentik itu perlahan terbuka, mengerjap-ngerjap beberapa kali sebelum pernik gelapnya bergulir lemah ke arah jendela; yang sudah terbuka lebar, entah oleh siapa. Hembusan angin dari luar mengibarkan tirai putihnya dengan gemulai, membuat helai kain tipis itu tak ayalnya tengah menari-nari menyambut pagi.

Apa sudah terjadi? Lino tak bisa mengingatnya dengan pasti, karena hal terakhir yang terekam dalam memori hanyalah suara tangis Mila dan Julian yang memeluknya erat di dalam gudang. Sisanya ... entah. Tak ada lagi yang bisa ia ingat.

"Errghh ..." erangnya pelan. Rasanya sakit sekali saat punggung itu berusaha bangun, duduk dan menegap dari tidurnya, karena hanya bergeser sedikit saja kulitnya kini terasa seperti dibakar.

Ia kemudian menyingkap selimut yang menutupi setengah tubuh, memerhatikan betis kirinya yang terlihat membengkak-lantaran kena hantam balok kayu kemarin-buah tangan yang diberikan sang ayah dengan dalih hukuman agar ia tak mengulangi kesalahannya lagi, katanya. Begitu jua dengan luka lain, semua sama saja alasannya.

Cklek!

Mendadak pintu itu terbuka dan memunculkan Mila dari baliknya. Ia datang dengan membawa nampan berisi sepiring roti bakar, serta segelas susu juga beberapa butir buah apel yang sudah dipotong-potong.

"Kamu sudah bangun, sayang?" tanyanya pelan sembari mendekat, meletakkan nampan bawaannya dan menyentuh kening si tengah dengan punggung tangan. "Ah, syukurlah demamnya sudah turun," ucapnya kemudian.

"Aku ... kesiangan," gumam si anak pelan dengan wajah pucat yang merunduk. Kepalanya terasa berdenyut, tapi ia berusaha mengabaikan.

"Gak pa-pa, tadi Bunda udah ngehubungin wali kelas kamu dan bilang kalau hari ini kamu ijin dulu gak bisa masuk, supaya gak dikasih alfa," tutur Mila.

Hening sesaat tapi setelahnya Lino kembali berucap, "Bunda kok ada di rumah? Emang gak ada jadwal praktek, ya?"

"Ehm ... hari ini Bunda tukar jadwal sama temen, jadi baru berangkat ke Rumah Sakit sore nanti kalau Juy sudah pulang," sahut ibunya.

"Oh ..." koor Lino pelan. Wajahnya masih merundukkan kepalanya dengan jemari tangan saling tertaut di atas selimut, merasa bimbang dan ragu dengan apa yang ada dalam pikirannya kini. Namun kemudian, "Bunda ...," panggilnya.

"Ya?"

Lino kembali terdiam cukup lama, membiarkan Mila memandangnya dengan bingung dan mengusap kepalanya lembut. "Ada apa? Ino butuh sesuatu?" tanya sang ibu kemudian. Tapi anaknya menggeleng pelan. "Bilang aja, gak usah ragu," cakap yang dewasa lagi.

"Aku ... aku minta maaf soal kemarin," ucap si anak dengan suara lirih, nyaris berbisik. Pun samar-samar Mila bisa melihat jika bahu ringkih itu kembali gemetar. "Aku udah bohongin Bunda sama Papa terus, karna setiap pulang sekolah aku gak ikut kelas tambahan, tapi ikut latihan di sanggar tari," tuturnya.

Wajah itu terangkat, menautkan pandangan pada sosok wanita yang duduk di tepi ranjang. Manik sekelam jelaganya nampak sayu, penuh pilu yang merasuk ke dalam kalbu sang ibu. Dipoles sisa lebam dan memar serta sudut bibir yang terluka, sungguh hati Mina meringis melihatnya.

"Bunda pasti kecewa 'kan sama aku?" tanyanya.

Tangan berjemari lentik milik sang dokter nampak terangkat, kembali mengusap surai kelam sang anak yang terasa lembut di telapaknya. Lantas ia tersenyum tipis dan menggeleng lemah mana kala bibirnya yang ranum menjawab, "enggak, sayang. Ketimbang kecewa, Bunda hanya merasa sangat menyayangkan aja karena Ino menutupi semuanya. Padahal andai saja sedari awal Ino mau jujur sama Bunda jika Ino ikut latirah tari, mungkin kejadian kemarin bisa sedikit Bunda cegah."

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang