Bab 4 : Sixty One

569 86 8
                                    

Ini bukan yang pertama Lino mimisan tiba-tiba, tapi meski begitu ia tetap terkejut tatkala tetes demi tetes darah itu jatuh merembes pada helai kain bajunya. Dan rasanya semakin panik saat pintu kamar terbuka serta Julian yang mendadak masuk dengan membawa nampan beserta sepiring nasi di atasnya. Buru-buru Lino singkirkan helai tisu penuh darah tadi dengan menyembunyikannya ke dalam saku celana.

"Aku gak mau kamu sakit lagi," katanya sembari meletakkan apa yang ia bawa. "Dan aku gak mau khianat dari amanat yang Bunda kasih ke aku sebelum berangkat praktek tadi," tambahnya.

"Tapi ak—"

"Makan, No. Sedikit aja gak pa-pa, asal perut kamu gak kosong."

Lino tertunduk, memandang sendu pada nasi putih dengan ayam goreng serta sayur tumisan di hadapannya ini. Terlihat menggugah selera di mata, tapi mulutnya justru menolak.

"Lino ...."

Suara Julian kembali terdengar, dan membuatnya mau tak mau akhirnya terpaksa memakan apa yang dibawakan si kakak.  Ia tak ingin membuat saudaranya itu sedih dan kecewa.

Satu suap, Lino masih bisa memakannya. Dua suap, tiga, empat, namun pada sendokan ke lima tangannya tiba-tiba berhenti dan wajahnya terlihat berubah tegang.

Bukan, bukan karena ia merasa mual di perutnya, namun justru karena tangan kanannya itu mendadak kaku dan sulit digerakkan. Membuatnya panik serta takut meskipun tak mengatakannya.

"No?" Kening Julian mengernyit bingung, memandang raut wajah adiknya yang terlihat begitu tegang.

Tak ada jawaban, Lino justru merundukkan kepalanya dengan bahu nampak gemetar.

Tak!

Sendok yang ia genggam mendadak jatuh menimpah piring kaca dan menimbulkan suara yang cukup nyaring di telinga. Bersamaan dengan itu suara cicitan kecil terucap pelan darinya.

"Ak-ku ... udah kenyang," katanya, terdengar begitu lemah dengan suara yang berat.

Sadar ada yang tidak beres, terlebih melihat sendok yang mendadak jatuh juga gelas air yang gemetar saat digenggam salah satu tangannya, Julian lantas mengambil piring yang isinya masih separuh lebih itu.

"Buka mulut kamu," titahnya seraya menyodorkan satu sendok berisi nasi dan lauknya ke depan Lino, pun tentu saja membuat adiknya itu termangu di tempat.

"K-Kak ...."

"Biar aku yang suapin, kamu buka aja mulutmu," tambahnya. "Ayo, nanti nasinya keburu dingin." Suaranya terdengar datar, namun sarat akan afeksi yang menjelaskan seberapa peka akan dirinya pada saudaranya itu. Dan Lino hanya bisa diam mematung dengan netra berkaca-kaca.

Ragu, meski demikian ia akhirnya mau membuka mulut dan membiarkan sang kakak menggantikan peran tangan kanannya untuk menyuapkan makanan.

Tidak ada yang berkata-kata sepanjang itu, sedari awal Julian menyuapi Lino hingga akhirnya isi piring yang ia bawa telah habis pun keduanya masih setia terdiam. Sampai sekembalinya ia dari dapur dengan membawa sebotol minyak kayu putih, saat itulah Julian akhirnya memberanikan diri untuk bicara lagi.

"Aku bener-bener gak bisa ngomong apa-apa lagi sama kamu, No," gumamnya. Ia ambil tangan kanan si adik dan membalurkan sedikit minyak kayu putih pada permukaan kulit selembut bayi itu. Memberikan pijatan pelan dengan begitu hati-hati. Sedangkan yang diajak bicara justru semakin tertunduk tanpa bisa berkata-kata.

"Jangan sembunyi, berapa kali aku harus memohon padamu agar gak lagi sembunyi?" Suara Julian terdengar memberat, meski demikian ia terus memijat tangan adiknya walau tanpa sedikit pun mau menautkan pandangannya.

"Kamu tuh keras kepala banget. Ada apa-apa gak pernah mau cerita sama aku dan nyembunyiin semuanya sendirian terus. Kamu ada perjanjian sama Papa, gak bilang ke aku. Kamu diem-diem cari kerja, gak bilang ke aku. Sampe kamu sakit begini juga gak bilang ke aku. Aku tuh harus gimana, No? Mau kamu tuh sebenernya gimana?"

Baiklah, Julian kuatkan hati untuk mengangkat wajahnya; memandang binar redup dari jelaga kembar yang nampak sayu tersebut. Sedangkan tangannya menggenggam jemari mungil si adik yang terasa semakin hari semakin terlihat meranting.

Dan benar seperti yang ia duga, Lino tak bisa menjawab selain diam membisu dengan linangan air mata.

"Jawab aku," tuntut sang kakak.

Lino semakin merunduk, linangan air matanya mulai turun mengalir ke pipi tirus tersebut. Sedangkan bibirnya nampak gemetar menahan suara isak tangis yang kian menyeruak keluar. Dan pada akhirnya yang sanggup diucapkan hanyalah suara mencicit kecil dengan kata, "maaf," berulang kali.

"Aku beneran ngerasa bingung, aku harus gimana habis ini buat kamu. Dan kalau mau jujur aja, aku tuh kangen sama kamu yang dulu, No. Aku kangen sama adekku yang ceria, yang bawel, yang rusuh, yang manja, suka ngadu sama Bunda kalau diusilin, suka ngerengek jelek soal tugas terus minta dibantuin. Aku tuh kangen," tutur Julian. Setetes air mata ikut jatuh saat ucapannya itu terurai ke telinga Lino tanpa bisa ditahannya.

"Tapi ... semenjak kejadian itu, aku ngerasa kalo Lino, adek kecilku itu mendadak hilang. Pergi gitu aja, ninggalin aku sama Lino lain yang asing. Lino lain yang dingin, yang gak mau ngomong, tertutup, penyendiri dan pemurung. Dan aku gak tau harus gimana biar Lino lama bisa balik lagi ke rumah ini."

"Kak ... hiks ... maaf ..." tangis Lino semakin pecah, pun disaat itu juga Julian segera menariknya ke dalam dekapan meskipun ia sendiri nampak mati-matian bertahan agar tak menangis lebih kencang dari Lino.

"Biar aku ... hiks ... biar aku aja yang sakit, jangan kamu. Kamu udah cukup lelah sama semuanya, kenapa Tuhan harus membebankan hal yang lebih lagi? ... hiks ... biar aku aja, jangan kamu," tangis si kakak terisak pedih dengan bahu berguncang, sedangkan adiknya hanya bisa menangis dengan gelengan kepala di bahunya yang bidang.

"Aku gak keberatan kalau Tuhan emang mau nyabut nyawaku sekarang ini, asalkan itu bisa bikin takdir-Nya yang kejam mau berhenti mainin kamu. Aku gak keberatan buat ngelakuin apa aja asal aku bisa liat kamu bahagia ... hiks ... aku juga pengen liat kamu bahagia, No. Aku sayang banget sama kamu."

Pecah dalam kata-kata yang ia uraikan. Dan Julian tak pernah berdusta dengan ucapannya. Ia begitu menyayangi adik-adiknya, terlebih Lino.

Saat ia mulai sadar jika Kenan tak pernah menaruh rasa sayang pada satu saudaranya itu, saat itu juga ia selalu menguatkan hatinya, bertekad jika ia akan menggantikan peranan sang ayah untuk selalu melindungi adik-adiknya.

Julian tidak bohong dengan ucapannya. Ia bahkan memohon pada Tuhan agar penyakit ganas yang menggerogoti tubuh Lino dipindahkan saja ke tubuhnya. Agar adiknya itu bisa hidup lebih lama. Agar adiknya itu bisa bahagia.



























 Agar adiknya itu bisa bahagia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Title song : Run Away —Txt

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang