"Kasarnya Mama adalah hal yang bahkan Mama sendiri tak bisa kendalikan, akulah yang harus mengerti keadaan Mama."
―Cordelia
Setelah kepergian Papa, aku punya sebuah keinginan. Aku ingin terus menemani Mama, aku ingin Mama menyayangiku seperti Mama menyayangi Kakak dan Adikku. Namun sayangnya, Oma justru semakin melarangku untuk pulang.
Ini adalah perwujudan dari kata-kata mereka. Sering kali mereka mengatakan bahwa aku ini "anak bandel" dan hal itu akan jadi kenyataan. Bagaimanapun usaha Oma melarangku untuk bertemu Mama, aku akan tetap berusaha menemui Mama. Maafkan aku, Oma.
Hari ini adalah hari Sabtu, jam pelajaranku di sekolah baru saja selesai. Aku tahu jadwal kerja Mama, Mama selalu kerja setengah hari di hari Sabtu.
Aku melirik Ghattan yang sedang membereskan perlengkapan sekolahnya. Bagus! Ghattan sepertinya tidak mempedulikanku.
Kriingg
Bel pulang berbunyi, ketua kelas kami memimpin doa dan kemudian ditutup dengan salam. Kami berbaris bersalaman dengan guru dan satu persatu keluar dari kelas. Dari semua anak di kelas 1-B ini hanya aku dan Ghattan yang tidak diantar jemput orang tua. Aku tahu Ghattan itu selalu berjalan dengan cepat dan karena itu aku membiarkan Ghattan berjalan lebih dulu untuk memberi jarak cukup jauh di antara kami.
Aku melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada orang yang akan peduli jika aku tiba-tiba saja berlari ke arah yang berlawanan dari arah rumah Oma. Baru saja aku hendak berbalik arah seseorang menarik ranselku dari arah belakang. Aku memutar tubuhku, mencoba melihat siapa yang baru saja melakukan hal itu. Fajar! Dia menatapku dengan tatapan yang seakan hendak menginterogasiku.
"Mau kemana?" tanya Fajar padaku sembari menyunggingkan senyuman yang biasa dia tunjukkan ketika hendak memberiku masalah.
"Mau pulang, lepasin! Tuh, Attan udah jauh kan jadinya!"
Fajar melepaskan tangannya dari ranselku. "Oh, cepet pulang!"
Aku pun terpaksa harus pulang ke rumah Oma karena Fajar terus memperhatikanku hingga aku dekat dengan jalan ke rumah Oma. Huft, percobaan kali ini gagal!
*****
Sesampainya di rumah Oma, Oma sudah berdiri di pintu depan. Aku tahu, Oma pasti akan memarahiku, langkah pertama tentu aku tak boleh melupakan salam.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Oma.
Oma menarik tanganku dan membawaku ke ruang tengah.
"Duduk!" titah Oma padaku dengan tatapan tak menyenangkan.
Ya, kita akan mulai lagi. Aku duduk di sofa yang kini fungsinya sebagai kursi pesakitan dan meja di depanku berubah jadi meja pengadilan. Kita akan memulai sidang yang biasa Oma lakukan padaku, sidang dimana terdakwa tidak bisa memenangkan persidangan.
"Kenapa telat?" Pertanyaan klasik itu sudah bisa aku tebak. Padahal aku hanya terlambat beberapa menit dari Ghattan, tapi bagi Oma sepertinya aku terlambat hingga berjam-jam.
"Jawab," titahnya.
"Attan jalannya kan cepet Oma, Elia tadi juga ketemu Fajar dulu." Karena itu memang fakta, aku tidak salah, kan?
"Kenapa kamu ga minta Attan jalannya pelan-pelan tungguin kamu?" tanya Oma lagi.
"Attan emangnya mau jalan berdua sama Elia? Kalo Attan mau juga Attan pasti tungguin Elia, Oma." Bagaimana dengan jawabanku yang ini?
"Kamu ga usah banyak alesan, pasti kamu mau lebih lama di luar, kan? Semenjak kamu pulang ke rumah orang tua kamu, kamu jadi liar tahu!"
("Liar" disitu maksudnya "susah diatur, selalu ingin bebas")
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shackles(s) Soul
Teen FictionSeorang gadis merasa "terbelenggu" karena kebiasaan labelling yang dilakukan orang-orang padanya. Ia merasa sangat terkekang dan terbebani karenanya. Gadis polos tak berdaya itu memerlukan bantuan, tapi bantuan itu tak kunjung datang. Gadis itu kemu...