"Jangan paksa aku mengendalikan sesuatu yang di luar kendaliku, karena jelas saja hal itu mustahil."
―Cordelia
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi tak satupun guru datang ke kelas 4-B. Cordelia mulai gelisah, ia takut kejadian serupa terulang kembali. Ingatannya memutar kejadian hari itu.
Seorang guru yang biasanya dikenal ramah dan menyenangkan tiba-tiba saja masuk ke kelas mereka dengan ekspresi yang sangat garang. "Kalian ini mau jadi apa? Di sekolah teriak-teriak, kalau mau teriak di kebun binatang sana sama monyet! Bapak selama lima belas tahun ngajar belum pernah nemu kelas sekacau ini, baru kali ini! Kelas ini kelas terburuk, ga punya masa depan!"
Ingatan Cordelia cukup sampai disitu, kepalanya tak dapat mengingat bagaimana kelasnya dihukum oleh guru itu.
"Heh jempe barudak, tong garandeng!" Suara yang akrab di telinga itu membuat Cordelia berusaha kembali fokus pada kejadian yang sedang terjadi.
(Hei diam anak-anak, jangan pada berisik!)
"Beri salam," ucap ketua kelas mengintruksikan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam seluruh murid kelas 4-B.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Wali kelas mereka yang bernama lengkap Dina Mardiana itu.
"Yeuh nya barudak, kalian teh ayeuna geus dek ulangan, tapi masih keneh weh garandeng, lieur Ibu teh saeutik-saeutik aya laporan kelas ieu gandeng, haduuh!" Bu Dina bicara sembari memijat-mijat kepalanya.
(Hei anak-anak, kalian itu sekarang udah mau ulangan, tapi masih aja pada berisik, pusing Ibu dikit-dikit ada laporan kelas ini berisik, haduh!)
Bu Dina membuka amplop besar yang berisi soal-soal ulangan. Ia juga mengeluarkan banyak lembar jawaban ujian untuk diisi oleh para murid. Ia kemudian berdiri dari kursinya dan mulai membagikannya satu persatu. "Inget, soalnya jangan dicoret-coret. Mulai kelas empat ini kalian kalo ulangan pake yang gini, biar nanti kelas enam udah biasa."
Ulangan kenaikan kelas pun dimulai. Cordelia sesekali menengok ke arah Ghattan untuk memastikan apakah Ghattan serius dalam mengerjakan ataukah hanya ingin cepat selesai. Mengapa Cordelia melakukan itu? Ia harus melakukan itu agar ia tahu berapa banyak jawaban yang harus ia buat salah dalam lembar jawabannya.
Atiya sangat mengistimewakan Ghattan, karena Ghattan adalah cucu dari anak kesayangannya ditambah lagi Ghattan selalu lebih bersinar daripada kakaknya Fajar. Maka untuk membuat itu tetap terjadi atau mungkin dalam pikiran Cordelia agar Neneknya itu tetap senang ia harus selalu mengalah, membiarkan Ghattan tetap berada di depannya. Tanpa ia sadari senyuman simpul mengembang di wajahnya.
"Cordelia!" panggil Bu Dina.
Cordelia mengerjap, teman-teman sekelasnya menoleh pada gadis kecil itu. Aku ga suka cara mereka menatap, seakan aku ini habis melakukan kesalahan besar.
"A-apa, Bu?" tanya Cordelia gagap.
"Kenapa kamu senyum sambil lihatin Ghattan? Kalo mau nyontek itu jangan sambil senyum-senyum, eh tapi nyontek juga jangan!" tegur Bu Dina.
"Saya ga mau nyontek ke Ghattan kok, Bu," bantah Cordelia.
"Terus kenapa kamu senyum-senyum gitu? Kamu ini masih ada hubungan saudaraan kan sama Ghattan? Suka kamu sama dia? Kok bisa suka sama dia?" tanya Bu Dina lagi dengan memberondong.
Suka sama Ghattan, idih najis! Kelakuan jahanam gitu mana bisa aku suka!
"Saya ga suka Bu sama Ghattan dan bahkan ga mungkin suka," jawab Cordelia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shackles(s) Soul
Teen FictionSeorang gadis merasa "terbelenggu" karena kebiasaan labelling yang dilakukan orang-orang padanya. Ia merasa sangat terkekang dan terbebani karenanya. Gadis polos tak berdaya itu memerlukan bantuan, tapi bantuan itu tak kunjung datang. Gadis itu kemu...