1

1 0 0
                                    

"ILAAAA DIAMMM"

"APAA MASS AKU CAPEKK, KAMU AJA GAK MIKIRIN AKU DISINI"

"AKU KERJA UNTUK KITA"

"KITAA, YANG SELAMA INI AKU TAHU KAMU GAK PERNAH PERDULIIN KELUARGA INI"

Hampir setiap hari Arini mendengar ayah dan ibunya bertengkar seperti ini. Lagi lagi mereka tidak memikirkan anaknya, Arini dipaksa untuk mengerti dengan semua keadaan yang tidak pernah ia minta. Salahkah kalau ia pernah berpikir harus mati saja, agar semuanya berjalan dengan baik, tidak seperti sekarang.

Dari dulu sampai Arini berumur 17 tahun, keadaan tetap sama, bahkan tidak ada perubahan sama sekali. Mereka yang masih bertengkar, Arini yang bahkan mungkin tidak pernah dipedulikan. Dan rasanya hampa, tidak ada gunanya lagi menjadi anak yang harus membagakan orang tua.

Arini Kanandiya, ia juga mempunyai kakak kandung bernama Rasa Feriditya. Tapi kakaknya itu sudah lama pergi dari rumah ini, karena sudah lelah melihat orang tua mereka yang sering bertengkar. Arini benci Rasa, karena dia pergi tanpa membawa Arini, kenapa dia harus meninggalkan Arini dengan orang yang tidak pernah peduli sama keadaannya. Seharusnya dia membawa Arini juga pergi dari neraka ini.

Arini juga sudah mencari Rasa, tetap saja tidak menemukannya. Seperti ditelan bumi Rasa menghilang tanpa ada kabar apapun. Semenjak Rasa menghilang, tidak ada lagi yang menenangkan Arini disaat keadaan semakin menyulitkan. Arini butuh kakaknya itu.

Kalau ditanya apakah orang tua mereka khawatir, mungkin iya atau mungkin tidak. Arini juga kurang tahu, yang pasti dihari dimana Rasa pergi, ayah benar benar shock dan dia menjadi semakin pendiam. Dan ibu juga sering menangis diam diam di kamar Rasa. Tapi itu hanya berlangsung selama tiga bulan. Bulan berikutnya mereka bercerai, lebih parah bukan. Arini jadinya harus memilih diantara mereka berdua. Ia tidak tahu mau berpihak ke siapa. Dan akhirnya Arini memilih tidak mengikuti siapa siapa. Ia bilang kepada orang tuanya, bahwa dia ingin tinggal dirumah ini saja sendiri, mereka juga boleh datang kalau khawatir terhadap putrinya nantinya. Tapi nyatanya sampai sekarang mereka tidak datang, hanya mengirimkan uang itu saja.

Rasanya lebih tenang tanpa ada suara pecahan gelas yang dilempar, suara teriakan, makian. Arini benci mendengar suara itu. Hidup tetap harus berjalan, mungkin Arini saja yang tidak beruntung mendapat orang tua seperti mereka. Awalnya ia kira mereka akan terus bersama, saling bercerita tentang hari hari yang dilalui, bercengkrama dan menonton film di akhir pekan. Nyatanya itu hanya keinginan Arini saja.

***

"Azkaaa"

"Cepetan, pagar udah mau ditutup" jawab Azka diseberang jalan.

"Sabar, ayoo Dar cepat"

Untungnya Arini mempunyai mereka, mereka bertiga sudah berteman sejak smp, hingga sekarang. Dengan adanya mereka, setidaknya membuat ia masih kuat hingga detik ini. Walaupun mereka satu sekolah, tapi Arini beda kelas dengan mereka berdua. Disini letak masalahnya. Arini tidak mempunyai teman di kelas ini, terkadang kalau ada tugas kelompok, ia seperti anak ansos yang tidak pernah bergaul sama sekali. Arini membenci situasi ini. Mereka bahkan jarang mau berbicara dengannya, bayangkan saja betapa seringnya Arini berpikiran untuk berhenti sekolah.

Tapi untungnya Arini selalu juara satu disini. Karena itulah saingannya selalu menyebarkan gosip gosip tentangnya yang membuat semua anak di kelas ini tampak membenci dirinya.

Disaat Arini memasuki kelas, sudah disuguhi dengan pandangan mata yang penuh dengan kebencian. Sudah terbiasa sih, tapi kadang masih saja menyakitkan. Kali ini gosip apa yang sudah tersebar di telinga mereka. Masih pagi dan ia sudah mengeluh, apa mereka tidak capek berbicara bisik bisik di belakangnya. Mereka pikir perkataan mereka tidak akan didengar, nyatanya itu terdengan dengan jelas. Atau memang mereka sengaja menguatkan suara agar didengar.

Tepat saat Arini baru saja beranjak dari tempat duduk, gulungan kertas melayang di depan wajahnya. Dilempari seperti ini sudah biasa, Arini hanya perlu menahan saja agar tidak lebih parah lagi.

"Kenapaa??? Sakit???" ucap seorang anak yang baru saja melempar Arini, dia adalah Sekar yang merupakan juara dua dikelas. Tidak heran kenapa dia sangat membenci Arini karena dia selalu nomor dua.

Arini menggeleng dan dia berjalan menuju pintu kelas berada. Tapi naas tangannya malah ditarik.

"Mau kemana sihh buru buru amat, gue belum selesai ngomong"

"Lo mau apa lagi, belum puas ganggu gue"

"Jelas dong belum, kalau gue udah puas gak bakal ganggu lo lagi sampe sekarang"

"Kapan lo puasnya, gue capek pliss"

"Kapan? Sampe gue bisa ambil tempat juara lo" ucap sekar setengah berbisik di telinga Arini.

"Gak bisa dong gitu, kalau lo mau dengan cara yang adil, dan gak kek gini"

"Ini belum seberapa Rin, liat aja ntar"

"Asal lo tau, lo itu hanya anak kecil yang mau mainan tapi gak bisa dan lo marah dengan lakuin kek gini, kekanakan tau gak"

"Kekanakan...oke kalau lo mau begitu"

Keinginan untuk menjambak Sekar semakin menjadi, tapi Arini harus menahan emosinya, kalau tidak, bisa bisa dia semakin dibenci teman sekelasnya. Lelah, jelas sekali. Siapa yang tidak akan lelah jika dibully satu kelas. Arini tidak pernah bercerita kepada dua temannya, karena ia tidak mau semua itu semakin parah dan bisa saja orang tuanya nanti dipanggil jika diadukan ke guru. Percuma memberitahu ke Orang tuanya, mereka juga tidak pernah peduli dengannya. Palingan orang tuanya akan menyuruh Arini untuk meminta maaf.

Sekarang mereka bertiga berada di kantin, menyatap makanan disana cukup membuat Arini sedikit lega dengan permasalahan yang ada, walapun jika dia kembali ke kelas, tetap merasakan hal yang sama.

"Rin ntar malem nonton yuk"

"Malesss" jawab Arini dengan wajah pura pura lelah.

"Ayokk Rinn, lo mau kan Ka" Dara memberi kode Azka agar membantunya.

"Kalau Rini gak mau, nobar dirumah dia aja gimana Dar?"

"Nahh itu bagus juga, boleh kan Rin?" dengan wajah memelas Dara.

"Emmm iyaaa iyaa"

Setelah selesai mereka makan, mereka segera masuk ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi. Melanjutkan belajar dengan tenang, itulah yang diharapkan Arini, tapi ada saja gangguan gangguan yang membuat kelas jadi tidak bisa diatur. Mungkin bagi sebagian siswa menyukainya, namun bagi Arini percuma jika kesekolah tidak mendapatkan apa apa. Yaa benar sekali Arini memang dikenal dengan keambisannya, itu juga salah satu alasan mengapa dia dibenci teman sekelasnya.

Biar gimanapun jika waktunya belajar ya harus belajar, jika bermain ya bermain. Semua itu ada waktunya, itulah yang ada dipikiran Arini. Akhirnya dengan terpaksa Arini hanya menenggelamkan wajahnya pada kedua tanggannya di atas meja seperti sedang ingin tidur.

Ketika Arini menegakkan kembali badannya matanya beralih pada seorang cowok yang baru saja lewat di depan kelasnya. Cowok jelangkung dengan badan tegap, kulit putih, dan rambutnya berwarna hitam pekat. Dia Zino seangkatan dengan Arini, kelasnya berada di lantai dua. Sedangkan kelas Arini berada di lantai satu.

Memandangmu dari kejauhan saja, hati ini sudah tidak karuan
Aku ingin dilihat olehmu pangeran
Peri kecil ini tidak berani untuk maju ke arahmu
Bisakah kamu berhenti sebentar saja, agar aku bisa mengejarmu

AriniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang