Seorang Ibu dan Anak Gadisnya

44 4 0
                                    

"Nak, pastikan untuk tak meninggalkan komitmen salat lima waktumu seumur hidup!"

Itulah pesan terakhir yang selalu ia ingat dari ibunya, sebelum waktu membawanya pergi dari sisi anak gadis itu, Wida, namanya. Wida kini telah sendiri. Ayahnya sudah pergi sejak ia dalam kandungan sang ibu. Kini usianya genap 18 tahun, waktu yang paling pas untuk remaja merasa dewasa, merasa punya pikiran dan pendapatnya yang mesti didengar, tapi tidak dengan Wida. Ia sendiri tak tahu bagaimana harus mengutarakan pikirannya, pada siapa ia bersandar, dan bagaimana minta tolong yang baik pada kerabat dari mendiang ayah dan ibunya.

Selama ini Wida hanya bersama ibunya. Di rumah yang tak pernah lagi direnovasi, tembok masih sama tanpa kulitan semen, lantai tanah dan genting yang terlihat jelas dari dalam ruangan, tersangga kayu akasia. Ibunya tak pernah lagi mampu memperbaiki rumah, alih-alih membuatnya selesai, yang ada malah rumah Wida makin mendekati kalimat "remuk termakan usia".

Ia dan ibunya sudah hidup bersama  selama belasan tahun. Ibunya sendiri yang dulu mengantarnya ke pesantren dan bilang: "kamu harus belajar di pesantren. Jadilah perempuan berilmu dan beragama". Wida setuju. Ia hanya punya seorang ibu, dan tak ingin menentang kemauan sosok tersayangnya itu. Baginya, kemauan ibu adalah nomor satu.

Selama Wida di pesantren, ibunya bekerja sebagai buruh tani di sawah Pak Mul. Luas sawah Pak Mul mencapai puluhan hektar. Tak sedikit orang yang bekerja pada juragan beras dan tembakau itu. Sang ibu turun ke ladangnya tiap pagi, beristirahat saat siang nan terik, kemudian melanjutkan pekerjaannya hingga sore atau jika tak ada lagi yang akan dikerjakannya, ia diperbolehkan untuk pulang.

Di rumah, ia punya dua ekor sapi milik Pak Har yang dirawatnya. Di Madura, jarang sapi diternak dan dibiakkan, bila telah cukup berisi, entah setelah perawatan selama setahun atau lebih, maka sapi-sapi itu pun dijual dan dibagi rata antara si tukang merawat dan si empunya sapi, tentu setelah dipotong modal awal membeli hewan ternak tersebut. Begitulah sederhananya sistem merawat sapi di pulau ini.

Bila sapi tersebut laku mahal, lumayan perolehan untung sang ibu. Bila tidak, tentu tak banyak pula yang ia dapatkan. Meski demikian, ibunya adalah perempuan yang selalu bersabar dan bersyukur atas berapa pun pemberian Tuhan.

Wida bersekolah di pesantren tiga tahun lamanya sejak mendaftar SMA. Pesantren adalah yayasan swasta yang tentu biayanya juga tak bisa dibilang murah. Tapi, ibunya selalu bersemangat, tak pernah berpikir macam-macam karena baginya: memprediksi rejeki Tuhan sama halnya dengan tak mengimani adanya Tuhan. Rejeki dan uang adalah pemberian Allah, maka jangan perkirakan berapa yang kamu dapat. Bersikaplah tulus! Begitulah ia berucap pada Wida.

Seringkali Wida gamang akan kondisi kesehatan ibunya bila kelelahan bekerja. Beberapa bulan terakhir sang ibu kerap mengeluh sakit pada bagian belakang telinga. Ia ingin pulang dari pesantren, sementara ibunya tak mengizinkan. Sang ibu selalu berkata demikian, "jangan pulang! Ibu tidak apa-apa." Begitulah ia menjawab meski rasa sakitnya telah menusuk tulang.

Waktu pun berlalu begitu cepat, secepat virus yang mereplika dirinya dalam tubuh sang ibu. Wida mendengar kabar, bahwa ibunya mengidap penyakit kanker dan sulit untuk disembuhkan meski harus operasi.

Nyatanya, kanker kelenjar getah bening yang diderita ibunya makin parah. Berkali-kali dibawa ke rumah sakit, namun tak pernah menunjukkan hasil yang betul-betul baik. Reaksi kepulihannya hanya bertahan beberapa hari, paling lama dua minggu, setelah itu, ibunya kembali pada masa sakit yang luar biasa.

Masih begitu diingatnya lepas ujian akhir sekolah sebulan lalu, ia tergesa-gesa mengemas beberapa barang di kamar asramanya dan bergegas pulang dijemput paman. Pamannya bilang; ibumu kini memintamu pulang. Wida paham, kali ini mungkin ibunya betul-betul kesakitan. Tak pernah ia meminta Wida untuk pulang dari pesantren. Dengan segenap perasaan yang mencoba dikukuhkannya sendiri, Wida pulang membawa hati amat tegar yang dibangunnya selama di perjalanan.

Wida menatap ibunya, matanya telah terpejam, napasnya mulai cepat, mengisyaratkan bahwa tenggorokan tak lagi mampu jadi jalur udara untuk masuk dan ke luar. Begitu tersengal.

Ia memanggil ibunya, lirih sekali: "Ibu! Wida pulang." Kemudian si anak gadis itu meraih tangan ibunya yang beku, terasa dingin dan senyap seperti bibirnya tak bisa berkata apa-apa lagi.

Sang ibu mencoba membuka kelopak matanya yang rapat. Ia menatap Wida dan menyentuh pipi anak perempuan satu-satunya. Sang ibu berucap pesan, kalimat yang persis seperti di paragraf awal dalam cerita ini.

Wida mengangguk. Mengiyakan. Menanamkan kalimat itu dalam hati dan pikirannya.

"Wida minta maaf. Tak bisa menjaga ibu selama sakit."

Bulir bening merekah dari kelopak mata perempuan paruh baya itu. Seperti sedang bilang bahwa, "tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa."

Bibir ibunya pun bergeming seraya berucap, "ini hanya sementara, Nak. Kelak, kamu dan ibu akan bertemu lagi."

Wida menangis sambil terus mencium tangan ibunya. Kondisi napas ibu kian sesak dan sempit. Seperti memang sudah hari ini ia benar-benar akan menarik diri dari kehidupan puteri semata wayangnya. Wida mengusap ubun-ubun wanita yang dicintainya itu. Ia pun kerap berucap kalimat iman paling magis: Laailaaha illallah... Berkali-kali. Sampai ibunya mengucap kata yang sama. Mereka berdua membahasakan nya bersama-sama.

Wida tahu betul, inilah hari terakhir menatap wajah ibunya. Ibunya pun tahu benar, inilah hari terakhir menatap wajah anak gadisnya. Sepasang ibu dan anak gadisnya saling menggenggam tangan, berucap tahlil, menunggu kepulangan sampai malaikat benar-benar memisahkan mereka berdua. Inilah pulang yang sebenarnya.

***

Seorang anak gadis tengah berkunjung ke makam ibunya. Sudah seminggu sejak ibunya pergi, semalam adalah peringatan tujuh harinya, anak gadis itu kini tengah duduk di samping pusara ibunya. Tadi, sebelum datang ke sini, Wida telah membaca setiap kata demi kata yang sudah dituliskan ibunya lewat secarik surat.

Anak gadis itu bicara lirih; "Bu, Wida diterima di salah satu kampus di Surabaya. Jurusan kedokteran. Di pesantren kemarin, Wida telah mengikuti beberapa tahap seleksi dan diterima lewat jalur beasiswa."

Ia mengusap air matanya lekas-lekas. Dadanya persis seperti napasnya yang sesenggukan. Seolah udara memenuhi tenggorokannya sampai ia kelelahan bernapas.

Anak gadis itu ingin sekali bilang: andai ibu masih ada, mungkin berita baik ini akan terdengar lebih dramatis dan mengharukan. Ibu pasti memelukku. Karena memang ibu selalu berharap aku tak putus sekolah, terus belajar hingga pendidikan tinggi melebihi lulusan sekolah menengah.

Anak gadis itu juga ingin sekali bilang: andai ibu sakit setelah aku jadi dokter nanti, bisa jadi takkan ada kata terlambat untuk melakukan penanganan. Pelayanan terbaik untuk ibu yang terbaik.

Anak gadis itu pun teramat ingin bilang: aku tak ingin ibu pergi secepat ini. Aku ingin ibu melihatku mengenakan seragam dan toga kelulusan, memakai jas putih sebagai identitas dokter, membuka praktik, menikah, dan tentu ibu akan ikut bersamaku.

Segala waktu yang dibayangkannya, hanya ingin tetap bersama ibunya. Ia ingin sekali bilang. Berkata banyak hal. Bercerita banyak hal. Tentang apa-apa yang tak sempat diceritakannya karena harus tinggal di pesantren. Perasaan sesal sekaligus sedih menyatu seperti partikel larutan yang homogen dalam hatinya.

Seorang anak gadis yang sejak tadi duduk sambil menangis di makam ibunya, buru-buru mengusap kembali air matanya yang basah, seraya ia menengadah. Memulai berdoa. Ia tahu, segala ingin ini dan itu yang tadi hendak dikatakannya, akan kalah dengan doa penuh kebaikan yang dipanjatkannya. Ia yakin, semua ini benar-benar hanya sementara. Ia pasti akan bertemu kembali dengan ibunya. Juga ayah yang tak pernah dilihatnya. Ia tahu, Tuhan maha mendengar.

Kini anak gadis itu hanya ingin bilang: Tuhan, tempatkan ibuku di sisimu yang paling dekat.. Dekatkan ia dengan ayahku. Dekatkan kami bertiga di surgamu kelak.

Ia lalu berucap: Amin... Tentu dengan hati yang mantap.

It's All Temporary: Kumpulan Cerita Pendek InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang