Kuasa Tangan Rahasia

8 1 0
                                    

Lelaki itu, Murad, terbangun dari tidurnya yang baru mendekap lelap hanya beberapa menit. Ia terkejut mendapati dirinya berada dalam ruangan gelap berukuran kurang lebih 2 x 1 meter ketika matanya mulai terbuka perlahan. Ruang kamarnya, jauh lebih besar dari ini. Ia sangat yakin itu. Entah kenapa setelah memekak kelopak matanya lantas Murad berada di tempat asing. Buru-buru ia mencari jalan ke luar untuk pulang. 

Sayangnya ia tak menemukan jalan apapun. Murad hanya berkeliling di seputar koordinat itu saja. Berkali-kali sepasang pandangnya menelisik lubang kecil yang barangkali tertinggal di ruangan, untuknya dapat mengintip barang sejenak, menoleh ke luar  yang mungkin masih ada tanda kehidupan di sana. Hasilnya tetaplah sama. Murad tak menemukan celah di manapun. Ia tetap berpijak di ruangan 2 x 1 meter itu. Suasananya pekat beraroma tanah basah.

Beberapa saat berlalu, sosok lelaki, atau mungkin wanita, atau apalah, bertubuh kekar dan mengenakan jubah hitam, menutup raut mukanya yang tak nampak, mendatangi Murad dengan membawa sepasang pelita di tangannya. Mirip lampu pijar yang begitu terang namun berukuran cukup kecil. Sepasang pelita itu diletakkan di tembok ruangan, sebelah atas kiri dan kanan ditilik dari pandangan Murad. Sosok berjubah itu membawa lampu untuk penerangan. 

"Supaya kau tak kegelapan di sini," katanya. 

"Kau siapa?" Murad bertanya. Dan, sosok itu menjawab bahwa ia adalah malaikat yang diciptakan sepasang untuk mengunjungi ruangan itu. Sementara, malaikat itu berkata bahwa temannya, pasangannya, sedang dalam perjalanan menyusul ke sini. 

Murad bahkan belum percaya bagaimana ia dapat bertemu malaikat. Tetapi waktu terus berlalu, ia mencubit kulit tangannya dan merasa sakit pertanda Murad tidak sedang bermimpi. Sepasang malaikat yang lengkap sudah, salah satunya tadi pun telah datang membawa banyak buah-buahan seperti pisang, apel hijau dan merah, anggur merah dan hitam, jeruk Semboro, jeruk Kepruk, salak Bali, salak Aceh, juga berbagai macam jenis buah lainnya dihidangkan di hadapan Murad. 

Murad amat paham tentang buah-buahan sebab dirinya memanglah pedagang buah. Pekerjaan itu diwariskan turun temurun oleh keluarganya mulai dari Kakek Murad yang awal mula merintis usaha tersebut. Berkat jualannya yang selalu laris, Murad bahkan mampu membeli rumah besar di kawasan perkotaan, terletak di pinggir jalan, dekat pertokoan, dan ia pun memiliki kamar yang besar. 

Beberapa cabang jualan pun mulai dibukanya mulai dari berjualan di depan rumah, menambah armada pick up di beberapa pasar tradisional dan kawasan ramai pengunjung di daerah perkotaan. Kian hari, makin bertambahlah karyawannya. Murad menyediakan asrama khusus untuk karyawan dari tanah rantau. Lengkap dengan makan gratis, tempat tinggal pun tak harus bayar setiap bulan. Ia betul-betul bos yang mementingkan kesejahteraan karyawannya. 

Tentu saja Murad pernah ditelan rugi. Beberapa waktu lalu, saat pandemi mulai mewabah di negeri tropis ini, Murad dan armada-armada buahnya kerap membawa pulang begitu banyak sisa buah yang termakan waktu fermentasi, atau mengalami reaksi oksidasi dan membusuk. Ia tak sampai hati melihat sisa buah itu berubah warna kecokelatan tanpa ada yang mengonsumsi. 

Akhirnya, ia memutuskan untuk membagi percuma pada tukang becak, tukang ojek, pengemis tua dan muda, pedagang es degan, es oyen, es krim keliling, pun pedagang nasi yang membuka warung kecil-kecilan di pinggir jalan sebelum buah-buahan itu membusuk. Ia terlebih dulu menyortir buah yang hendak dibagi-bagikan. Sementara yang tak pantas dimakan, ia antar pada peternak sapi di kawasan perbukitan, pun ternak kambing atau kuda. Ia berharap buah-buah itu dapat didaur ulang oleh para peternak, entah dibuang bagian busuknya atau apapun caranya, agar tetap aman dilahap hewan ternak. 

Ajaibnya, Murad tak pernah betul-betul mengalami kebangkrutan. Ia selalu punya cukup modal untuk kembali menyediakan stok buah-buahan setiap harinya. Padahal, tatkala Murad menghitung dengan kalkulator secara seksama, justru dirinya mengalami kerugian, meski tak terlalu besar nominalnya. Memang daripada menghitung untung rugi, Murad kerap kali abai pada laba yang diperolehnya, ia bilang, "yang penting anak-anak karyawan dibayar tepat waktu. Mereka makan teratur. Dan, kau, juga si kecil Alif masih dapat berbelanja kebutuhan sehari-hari." Begitu kata Murad pada istrinya. 

Mendadak ia merindukan keluarga, juga karyawan-karyawan yang rajin itu. 

Murad masih tak pindah koordinat. Ia tetaplah dalam ruangan 2 x 1 meter ditemani malaikat. Ia khawatir, jangan-jangan malaikat ini bernama Munkar dan Nakir. Ia pun khawatir sekaligus heran, nampaknya ruangan itu bertambah lebar. Mungkin 3 x 2 meter. Murad tak pandai menghitung. Benar, Murad merasa ruangan itu tak lagi sempit, nyaris bertambah lebar.

Setelah beberapa jam kemudian, seorang malaikat memberi Murad makanan-makanan primer seperti nasi dan aneka ragam jenis lauk semisal ayam goreng, ayam panggang, bebek pun beraneka resep, macam-macam sayuran, sambal goreng, juga minuman segar seperti yang sering dibelinya untuk menu buka puasa Ramadan, serupa takjil yang sering dibagikannya pada tetangga dan pembeli buah-buahannya.

Semua hidangan itu membuatnya merindukan suasana rumah, terlebih ketika Ramadan. Ia jadi teringat makan sahur dengan istrinya, juga ibu terkasihnya. Ia pun teringat saat buka puasa, Murad sediakan banyak makanan untuk keluarga besar, lengkap dengan karyawan yang diajaknya makan bersama. Begitulah Ramadan berlalu setiap tahunnya.

Murad merindukan semua komponen dalam ekosistem Ramadan di rumah besarnya. 

"Tapi kau sudah mati." Kata malaikat di ruangan itu.

Murad terkejut sekaligus heran, rasa-rasanya tadi ia hanya ingin tidur siang di kamarnya. Dalam sekejap, lantas sekarang ia berada di dimensi berbeda dan bertransmigrasi di ruangan ini dan tiba-tiba malaikat di hadapannya memberitahu bahwa ia telah mati.

"Kau kini tinggal di sebuah makam." Lanjut malaikat itu lagi.

"Jadi ini makam? Maksud Anda, saya sedang berada di bawh tanah?" Kedua malaikat itu mengangguk serentak. 

Ia terheran sebab di makamnya justru banyak sekali makanan dan buah. Harusnya, makam ini layaknya tadi saat pertama kali Murad membuka matanya, ruangan sempit dan gelap. Seolah tahu isi hatinya, malaikat itu pun menjawab, "inilah buah tanganmu sendiri. Selama hidup, kau tak henti memberi dengan tangan kananmu. Kini mereka menjelma penolong bagimu."

Jadi, pelita ini, makanan ini, buah-buahan ini, juga ruangan yang kini bahkan makin melebar melebihi ukuran 5x6 meter, lebih lebar lagi. Ruangan yang tak hanya memiliki dua lampu penerangan, melainkan berpuluh-puluh. Hidangan melimpah ruah yang bahkan Murad pun tak sanggup menghabiskannya. Tanpa sadar pula, di sisi ruangan yang lain terdapat ranjang empuk lengkap dengan fasilitasnya. Murad baru tersadar, bahwa perlahan ruangan ini memiliki kemiripan nyaris seperti kamar di rumah besarnya. 

"Saat ini, keluargamu sedang membagi-bagikan beberapa harta pribadimu seperti pakaian, beberapa sepatu, jam tangan, juga sebagian uang tabunganmu untuk para pengemis jalanan, masjid dalam komplek tempat tinggalmu, juga tetangga sekitar yang berkekurangan." Kata malaikat lagi.

"Itulah mengapa ruangan ini bertambah lebar dan mewah tanpa kau sadari." Imbuh malaikat satunya lagi. 

Dua tetes embun mengalir dari sepasang matanya. Murad bersyukur, sekaligus terharu atas apa yang dilakukan keluarganya . Tapi, jauh di lubuk hatinya justru ia ingin sekali pulang bertemu orang-orang terdekatnya. 

Murad pun tak kuasa menangis. Banyak hal yang ingin dilakukannya namun tak bisa lagi sebab ia sudah mati.  Ia telah merencakan ini dan itu, untuk Alif misalnya; ia ingin menyekolahkan anak semata wayangnya itu ke pesantren, ia ingin memberangkatkan haji ibuny, paling tidak umroh. Ia bahkan ingin membaw istri dan mertuanya juga. Banyak sekali rencana kebaikan yang tak bisa ditunaikannya sebab ia telah mati. 

Murad menangis sesenggukan sampai air matanya mengering, kelopaknya membengkak dan ia pun tertidur dalam ruangan itu. Sangat lelap. Berjam-jam lamanya. Mungkin karena ia kelelahan menangis sejak tadi. Hingga guncangan kecil menimpa sepasang bahunya. Dengan berat ia kembali terbangun, dan Murad pun terkejut mendapati istrinya yang membangunkan dirinya. Ia pun kini berada di dalam kamar yang sesungguhnya. 

"Mimpi apa sampai menangis begitu, Bang?" 

Murad tak menjawab. Ia bergegas menuju ke ruang tamu dan memeriksa teras rumah. Tak ada kerumunan juga prosesi pemakaman. Tampak karyawannya tengah menyiapkan buah, mengisinya ke dalam mobil pick up sebelum dijual. Murad lega. 

Sejak saat itu, bertambahlah ia berbagi dengan tangan kanannya. Secara diam-diam dan rahasia. Sebab, dalam mimpinya tadi yang terasa begitu nyata, ia tahu rahasia dari semua yang diperolehnya merupakan balasan atas tangannya. Tangan yang suka berbagi. Ia bertekad menjadi dermawan hingga mati nanti. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It's All Temporary: Kumpulan Cerita Pendek InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang