Anak-anak yang Berpesta di Dasar Sungai

36 1 0
                                    

Telah lama kemarau nampak kering dan tandus. Serupa luasan gurun yang hanya dikepul angin tanpa tersentuh hujan. Banyak mata air mendadak ringkus, tak ada luapan apapun. Apalagi suara alirannya yang tak kunjung terdengar, sampai di hari ketujuh Ramadan, akhirnya hujan pun jatuh dari langit.

Para petani di kampung Dukuh terlihat amat riang dan bersorak pasca kedatangan hujan. Begitu lebat. Begitu deras. Hingga air sungai mulai meninggi nyaris menyusuri tepi jalanan. Keadaan inilah yang begitu ditunggu-tunggu oleh anak-anak desa yang gemar mandi di sungai. Mereka telah bersiap untuk pesta.

Mukin, Juhri, Sodib, Azam, dan Iko adalah sekelompok kecil yang membangun pondasi pertemanan sejak Taman Kanak-kanak. Mereka dipertemukan oleh sekolah yang membuat hubungan kelima anak tersebut menjadi lebih dekat tatkala mengetahui bahwa rumah mereka pun tak berjauhan. Hanya tempat tinggal Mukin yang letaknya di perbatasan desa sebelah.

Hobi yang sama; mandi di sungai saat aliran air sedang deras-derasnya, atau ketika Ramadan tiba (mereka bersepakat untuk puasa penuh begitu menginjak kelas 2 SD), siang harinya membuat janji bertemu di tepian sungai, lalu berendam berlama-lama hingga pukul 3 sore. Tepat sebelum jadwal mengaji dimulai.

Begitulah mereka perpesta dalan air. Melupakan haus di kerongkongan. Entah adakah atau tidak yang tak sengaja menelan air saat sedang berpuasa. Hanya mereka sendiri yang tahu. Tapi, hingga petang nanti kelimanya berkomitmen untuk tidak membatalkan puasa.

Hari itu, mereka membuat janji untuk yang sekian kalinya. Namun, siang begitu mendung. Langit cukup murung di pukul tiga belas. Suasana yang mencekam, seperti malaikat maut akan datang.

Konon, katanya, jika langit teramat sangat mendung melebihi biasanya, malaikat datang dengan daftar beberapa orang yang akan mati bersamaan. Tapi, banyak yang bilang itu hanya mitos. Tak banyak yang percaya. Karena mendung tetaplah mendung, pertanda akan hujan. Bukan pertanda kepulangan beberapa orang.

Kelima anak yang sudah membuat janji tadi pun nampak lengkap berkumpul di tepi sungai. Satu persatu melepas pakaian, menyisakan hanya celana dalam. Mereka pun melompat seperti roket meluncur dari angkasa. Begitu girangnya memulai petualangan. Sebab, hari ini Ramadan, maka jadwal mengaji tak lagi di pukul tiga sore, melainkan pukul 12 hingga tadi, berakhir sebelum pukul satu siang. Sesudahnya mereka bertemu di tepian sungai ini.  

Sementara mendung tetap saja gelap. Gemuruh terdengar bak suara petir teramat dahsyat. Kelima anak itu bukannya tidak menyadari bahwa akan turun hujan. Mereka justru berharap hujan turun selebat mungkin agat pesta dalam sungai berlangsung lebih mengesankan. Mereka berenang-renang serupa ikan yang berpesta menyambut hujan.

Kedatangan hujan pun sesuai ramalan anak-anak itu, mendadak jatuh sangat deras. Maka, ketika hujan pun turun dengan riuhnya, seorang anak laki-laki, Mukin, bergegas naik ke tepian demi mengamankan pakaian teman-temannya. Dibungkusnya semua pakaian itu dengan kantong plastik hitam berukuran besar yang memang sengaja dibawanya kalau-kalau turun hujan. Ia tak menghiraukan teman-temannya yang berteriak-teriak, seolah kalah dengan gemuruh yang lebih nyaring menyambar.

Aliran air kian deras, kian bertambah volumenya hingga meluap-luap. Ritme aliran air itu pun mirip lagu bersemangat, ibarat senandung yang dinyanyikan dengan cressendo. Semakin kuat. Sampai-sampai keempat anak lelaki yang tengah mandi pun tak tampak batang hidungnya.

Mukin, baru saja selesai memasukkan semua pakaian. Ia bergegas hendak melanjutkan pesta mandi dengan teman-temannya. Tapi, tatkala ia menoleh kembali ke sungai, bahkan tak satu pun teman-teman Mukin mandi di sana.

Ia terkejut sekaligus ketakutan. Ia panik sekaligus kebingungan. Ia memanggil teman-temannya berulang-ulang. Ia bahkan berteriak begitu lantang supaya suara Mukin tak kalah dengan suara hujan. Ia menoleh ke sekeliling yang sepi. Pada keadaan seperti ini bisa dibilang takkan ada orang ke luar rumah. Sementara belum satu pun orang lewat untuk dimintai tolong. Ia memutuskan lari sekuatnya menuju rumah. Tentu dengan hanya mengenakan celana dalam saja.

Orang-orang mulai ramai di tepian sungai selang satu jam kabar itu tersebar begitu cepat. Kabar tenggelamnya empat orang anak lelaki yang bersahabat. Kabar itu menyebar melebihi kecepatan kilat, seluruh kampung pun mendengar, berbondong-bondong pergi ke lokasi kejadian. Tak terkecuali para orangtua dari empat anak lelaki yang diduga tenggelam atau terbawa arus sungai itu pun hadir dengan perasaan carut marut memikirkan anak mereka yang belum juga ditemukan. 

Mukin masih tepekur sendiri, ia menangis, sesekali berteriak entah karena apa tepatnya. Sebab kehilangan teman-temannya? Atau karena ia sendiri pun takut setelah menyadari teman-temannya itu tak pernah kembali lagi. Ia terpikir bahwa teriakan tadi, saat Mukin sedang mengemas pakaian, barangkali adalah teriakan minta tolong, bukan sorak kegirangan. 

Beberapa orang yang bertanya padanya, ia hanya bilang: "aku tak tahu. Tadi aku mengumpulkan pakaian agar tak kena hujan. Mereka tiba-tiba menghilang."

Begitulah kalimat itu diulanginya lagi ketika orang lain datang dengan pertanyaan yang sama.

*** 

Sudah setahuan kejadian, tak ada satu pun jasad yang ditemukan. Semua orang telah membantu menyusuri sungai dan sekitar, kalau-kalau ditemukan potongan tubuh, atau jasad utuh dari empat orang anak lelaki yang kini dipastikan hilang karena tenggelam atau terbawa arus sungai. 

Pelan-pelan, satu persatu para orangtua mulai merelakan kepergian anak-anak itu. Mereka tak tahu lagi hendak minta tolong sebab polisi pun sudah membantu. Kejadian itu mulai terlupakan. Orang-orang sudah melakukan aktivitas layaknya dulu di tepian sungai. Mencuci baju, mandi (untuk beberapa tetangga yang tak punya kamar mandi sendiri), juga anak-anak mulai berani kembali berpesta di sungai itu. Tak terkecuali Mukin. 

Mukin yang dulunya memutuskan cuti mandi hingga setahun lamanya, tak mampu melupakan kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya itu, kini ia mulai mandi dengan teman lain tentu setelah mulanya hanya sering menonton saja. 

Ia masih dilanda murung dan sedih tatkala mulai membuka pakaian menyisakan hanya celana dalam. Setahun sudah berlalu. Ini Ramadan berikutnya tanpa ada acara pesta dengan teman yang dikenalnya sejak Taman Kanak-kanak. Tidak sedang hujan sekarang. Hanya mendung yang tak begitu mencekam. 

Untuk pertama kalinya Mukin kembali mandi di sungai. Berpesta sembari mengenang ingatannya bersama teman-teman yang hilang di tempat itu. Ia menenggelamkan seluruh wajahnya berharap lupa akan segalanya. Janji bertemu, pukul satu siang, berendam lama-lama hingga jelang petang, esoknya mereka akan mengulang rutinitas yang sama. Mukin teringat segala hal. Ia tak ingin lupa, juga tak ingin kembali pulang. Ia berharap dapat berkumpul bersama teman-temannya lagi. 

***

Sejak hilangnya Mukin beberapa hari lalu. Ramadan di kampung Dukuh terasa cukup menakutkan, terutam bila berjalan di dekat sungai tempat anak-anak yang bersahabat itu hilang tanpa jejak. Baik Mukin, Juhri, Sodib, Azam dan Iko, tak satu pun jejak tubuh yang ditemukan di sekitar lokasi sungai. Begitu misterius. 

Konon, jika kau melewati sepanjang jalanan sungai di siang hari hingga jelang petang sebelum tiba waktu berbuka, terdengar suara anak-anak yang tengah tertawa, begitu girang dan senang, seolah mereka sedang berpesta dan mandi bersama. Suara itu, begitu nyata terdengar dari dasar sungai. 

It's All Temporary: Kumpulan Cerita Pendek InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang